Pemimpin
yang Peduli dan Mengayomi
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 12 November 2014
Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini
yang menaruh peduli pada sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan
tampil memberikan perlindungan dan pengayoman? Ini perkara sulit.
Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu? Dapatkah dunia
bisnis, yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan
idealisme? Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan
kombinasi cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan
wawasan yang meluhurkan nilai-nilai nonmateri?
Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan
batin? Pada umumnya, para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis,
idealisme ya idealisme. Bisnis dan idealisme itu dua dunia yang terpisah dan
berseberangan secara dia netral. Orang yang memandang uang di atas segalanya
hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan mencapai kepuasan jika impiannya
menghimpun sejumlah besar uang terpenuhi.
Jenis orang seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya
melalui wujud materi. Dengan kata lain, kepuasan batin akan muncul hanya jika
ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi nyata, yang meningkatkan
akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam genggamannya.
Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil. Ibaratnya,
bumi dan langit mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran yang tak
kita kehendaki? Ya. Tapi ini bukan satusatunya dalil yang bisa masuk di akal
kita.
Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi
bisnis kecil, yang masih bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama,
belum punya prestasi, dan dengan begitu juga belum punya rekam jejak yang
meyakinkan di dalam dunia bisnis. Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala
besar mungkin lain lagi ceritanya.
Organisasi bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang
mapan, yang mencatat caring, credible,
competent, competitive, serta
customer delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa
dilanggar, tampaknya tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan
mengawinkan bisnis dengan idealisme.
Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis
hanya empat: credible, competent,
competitive, dan customer delight.
Ini prinsip-prinsip bisnis murni. Caring
itu lebih menampilkan aspek sosial, dan sisi kemanusiaan dari sebuah dunia
bisnis, daripada mewakili kepentingan bisnis itu sendiri. Di dunia bisnis,
watak care itu problematik. Bagi
sebagian kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis.
Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis
besar, yang menolak prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang
wajib ada, terutama bila kata itu berarti ”jiwa yang penuh peduli” pada
sesama, atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk bederma. Dua pemimpin
bisnis dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi caring bisa
berbeda.
Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan
dijalankan sesudah tokoh yang selama ini menganggap caring sebagai kebajikan dan
kemuliaan dunia bisnis, tak lagi memegang kendali perusahaan. Jarak generasi
sering mewujud dalam jarak pemikiran, sekaligus pertentangan cara pandang
tentang apa yang dianggap sikap penting untuk mengembangkan bisnis.
Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha
keras menghapus watak itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak
produktif, karena terlalu sosial, melainkan merupakan pemborosan yang tak
perlu. Tapi di mata seorang pebisnis besar & mdash;yang secara intern
dikultuskan sebagai ”the living lagend”
jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha memperbesar dukungan, dan
mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan pemborosan.
Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak
dipensiunkan, dan masih dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini
watak care yang indah secara kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan
pemborosan. Watak care di sini menggambarkan fungsi pemimpin, dan
kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk mengayomi mereka yang
membutuhkan pengayoman.
Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk
kalangan orang luar. Tapi watak care bukan hanya itu. Berorientasi pada
profit dan hanya profit yang berarti akumulasi kekayaan dalam bentuk uang,
bisa memb u a t pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care seperti itu
merasa bersalah secara sosial.
Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis,
karena direstui oleh logika yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli,
murah hati, dan mengayomi. Dunia bisnis murni tidak salah bila di dalamnya
ada sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi pelayanan, sebagai ungkapan
rasa syukur yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit” yang sudah
begitu melimpah.
Tapi caring, bukan
keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk menjadi bagian dari corporate culture dalam sebuah dunia
usaha. Mungkin caring lebih
merupakan watak bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan
dialektis antara kemurahan hati pribadi, kemuliaan ajaran agama, dan sikap
etis yang dalam, subtle, dan yang
mungkin, lalu menjadi sejenis kearifan hidup pribadi.
Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan
jejaknya, karena sikap atau wataknya, yang tak mudah ”dicopy-paste” untuk menjadi suatu cultural legacy yang ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah.
Warisan kepemimpinannya bukan benda yang siap pakai. Sikap hidup bukan
sejenis keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan seutuhnya, apa
adanya.
Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang
kepemimpinannya dianggap legendaris tadi, terdapat suatu kualitas moral
tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau karisma yang luhur,
yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk
”memuja”, dan begitu beratnya untuk diamalkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang
yang bisa berperan sebagai ayah, sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam
tata kehidupan kita yang gersang secara rohaniah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar