Pajak,
Kontraprestasi yang Berdampak
Yeheskiel Minggus Tiranda ; Pegawai Ditjen Pajak, Bermukim di Purbalingga
|
JAWA
POS, 19 November 2014
PASCA
pelaksanaan pemilihan presiden, kita semua menunggu konsep baku gagasan
Indonesia Hebat karena frasa Indonesia Hebat memang sangat abstrak. Walaupun
demikian, setidaknya kita bisa merujuk padanannya agar mudah memahaminya.
Dalam
konstitusi Amerika, misalnya, terdapat klausul pada artikel 1 section 8 yang
kemudian menjadi populer dengan sebutan general
welfare clause (Natelson Robert G,
2003) yang mencantumkan klausul ’’…to
pay debts and provide for the common defence and general welfare of the US’’.
Bagi rakyat Amerika, hebat itu ketika utang bisa dibayar, rakyat hidup
tenteram, lalu kemudian kesejahteraan umum bisa diupayakan.
Paralel
dengan itu, saya membayangkan kehebatan di Indonesia mungkin identik dengan
pengungkapan istilah kemakmuran, yang sampai tiga kali disebutkan dalam UUD
1945. Yaitu, mulai pembukaan (alinea IV), pasal 23a, dan pada pasal 33 ayat
(3). Sayangnya, dalam perkembangan, potret hebat menjadi buram ketika rekor
keuangan pemerintah selalu mengalami defisit yang bahkan mendekati 3 persen
dari PDB sebagai batas maksimal yang diperkenankan.
Hebat
itu adalah situasi ketika semua rakyat merasa tenteram. Tenteram sekalipun
pajak belum bisa menutup semua pengeluaran dalam APBN. Tenteram sekalipun
pengeluaran jauh lebih besar daripada penerimaan. Tenteram bisa gajian tepat
waktu. Tenteram bisa hidup layak, ketika sakit bisa menikmati fasilitas
kesehatan yang ada, dan saat mencari sekolah biaya bukanlah masalah. Tenteram
sekalipun subsidi dicabut dan harga BBM maupun listrik dinaikkan. Rasa
tenteram harus selalu ada dalam situasi apa pun, tanpa syarat. Itulah
Indonesia hebat.
Defisit
APBN dari tahun ke tahun tidaklah mengurangi suasana ketenteraman di berbagai
pelosok Indonesia. Seperti yang secara imajiner dikemukakan di sini, yang
bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu penting, tetapi semoga
menginspirasi siapa pun yang mengalami hal yang sama.
Cerita
ini terjadi dalam rangkaian sosialisasi pajak dengan pendekatan budaya lokal
berupa pertunjukan wayang kulit di pendapa kecamatan yang jauh dari pusat
kota kabupaten. Karena acara wayang dilaksanakan saat malam, siangnya
digunakan untuk rapat penerimaan oleh Kakanwil. Maka, jadilah hari itu diisi
dengan rangkaian pertunjukan wayang dalam 2 stage.
Dalam
acara rapat pagi, Kakanwil memberikan pengarahan demikian, ’’Saudara-saudara, uang pajak ditunggu
setiap bulan oleh BPJS, subsidi, BOS, dan berbagai biaya sosial di negara
ini’’. Malamnya, dalam stage berbeda ketika pertunjukan wayang dimulai,
sang Kakanwil kembali dipersilakan memberikan sambutan dan terucaplah kata
seperti ini:
’’Bapak/Ibu/hadirin semuanya. Uang pajak yang
sudah dibayar sekarang kami kembalikan sehingga kita bisa wayangan malam hari
ini. Jadi setelah 20 tahun kita tidak wayangan, maka pembayaran pajak
Bapak/Ibu kami kembalikan dengan acara ini.’’
Malam
pentas wayang akhirnya ditutup bupati dengan ucapan yang tidak kalah
meyakinkan, yaitu: ’’Kecamatan ini
berhasil mengumpulkan uang pajak Rp 800 juta tahun lalu (mungkin maksudnya
PBB). Tetapi, pemerintah telah memberikan dana-dana pembangunan jauh lebih
besar untuk kecamatan ini, yaitu sebesar Rp 10 miliar tahun lalu. Bahkan
tahun ini kita mengusulkan pembangunan bendungan di kecamatan ini senilai Rp
100 miliar.’’
Dalam
perspektif rakyat kecil, ungkapan-ungkapan tersebut merupakan wujud
spontanitas demi memudahkan pemahaman audiens. Tetapi, setidaknya bisa
membangun kesadaran bahwa pajak bukanlah kotak ajaib negeri ini yang semua
kebutuhan dana di APBN/D sudah tersedia dan tinggal mengambilnya sesuai
dengan pos-posnya. Setidaknya, rakyat paham bahwa uang keluar yang
dialokasikan pada APBN/D tetap harus menunggu dulu seberapa banyak uang pajak
yang masuk ke kas negara pada suatu periode kebutuhan.
Tentu,
dengan itu, ada harapan rakyat jadi paham bahwa persoalan dasar subsidi yang
mendominasi polemik negara ini ternyata bukanlah masalah jumlahnya yang mau
dikurangi, mau ditambah, atau mungkin mau dihilangkan. Melainkan, seberapa
besar uang masuk yang bisa diusahakan untuk membiayai subsidi tersebut.
Makna Majemuk
Cerita
tersebut menjadi pembelajaran bahwa tenteram itu bisa hadir dalam bentuk
sangat sederhana. Hadirnya pemerintah tidak harus menunggu 20 tahun karena
uang pajak dari mereka mengalir setiap hari. Konsep pajak memang tidak
mengenal kontraprestasi langsung. Tetapi, sebagai penyelenggara negara,
pemerintah dibebani kewajiban mengembalikan kenikmatan bagi warganya,
sekalipun itu mungkin jumlahnya akan jauh lebih besar daripada pajak yang
dibayarkan. Dalam pemahaman seperti ini, pajak memang identik dengan
kontribusi yang memberi dampak (outcome).
Karena
pajak tidak mengenal kontraprestasi, tahun 2007 menjadi momen penting dalam
politik hukum pajak di Indonesia ketika secara legislasi terminologi pajak
dirumuskan sebagai kontribusi wajib semua warga. Saat ini, porsi pajak telah
mengambil peran 80 persen dari seluruh penerimaan negara. Itu pun belum cukup
memenuhi semua kebutuhan negara.
Ironisnya
pula, berdasar data BPS 2013, ternyata dalam komponen biaya hidup di
Indonesia, besarnya porsi pajak hanya 16 persen dari semua biaya hidup
individu. Itu pun biaya pajak oleh BPS digabung dengan biaya asuransi.
Walaupun demikian, kita berharap pengategorian pajak dan asuransi dalam
satu kelompok biaya hidup oleh BPS mungkin didasari pemahaman bahwa pajak
adalah investasi masa depan layaknya pembayaran asuransi. Setidaknya, saat
ini cakrawala berpikir kita menjadi terbuka karena ternyata pilihan Indonesia
hebat sangat majemuk. Yakni, bisa berwujud: pernah hebat, akan hebat, sudah
hebat, atau mungkin pasti hebat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar