Kamis, 20 November 2014

Guru Besar Nyabu dan Ironi PT

                               Guru Besar Nyabu dan Ironi PT

Redi Panuju  ;   Pengajar Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya
JAWA POS,  19 November 2014

                                                                                                                       


PERISTIWA tangkap tangan terhadap seorang guru besar yang sedang nyabu di sebuah kamar hotel (plus bersama seorang mahasiswi muda belia) sontak menjadi pemberitaan luas baik di media massa maupun media sosial. Prof Dr Musakkir yang masih aktif menjabat wakil rektor III (bidang kemahasiswaan) Universitas Hasanuddin (Unhas) itu menjadi terkenal dari sebelumnya.

Masyarakat bertanya-tanya, mengapa seorang guru besar, sosok di mana setumpuk ilmu bersemayam di dalam kalbunya, sampai bisa melakukan perbuatan yang melanggar hukum? Perbuatan yang sudah pasti diketahui bertentangan dengan kearifannya sebagai seorang ilmuwan, bertentangan dengan kepatutan sosial, moralitas, agama, ekspektasi sosial, dan tentu hati nuraninya sendiri?

Masyarakat juga mengaitkan dengan kedudukannya dalam struktur sosial perguruan tinggi yang menjalankan fungsi memproduksi nilai-nilai luhur dan menyemaikannya kepada seluruh warga kampusnya agar berkarakter keilmuan dan sekaligus kesalehan. Ketika kampus justru memproduksi hal-hal yang sebaliknya, kesannya menjadi kontras alias ironis!

Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang harus kita akui kampus-kampus perguruan tinggi suntuk hanya memproduksi simbol-simbol keilmuan, sampai lupa pada fungsi yang hakiki simbol-simbol itu. Separo energi insan kampus diforsir mengurusi hal-hal yang bersifat administratif dan formalistik untuk memenuhi standar baku yang ditetapkan Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) maupun BAN PT (Badan Akreditasi Nasional).

Seseorang yang punya cita-cita menjadi ilmuwan, ketika masuk menjadi tenaga akademik di sebuah kampus, harus siap menghadapi kenyataan. Petinggi kampus tidak akan bertanya ide-ide keilmuan apa yang akan dikembangkan bila menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi? Pertanyaannya: siapkah saudara memenuhi kredit poin sekian angka kredit setiap semester? Sekian angka dari pengajar, sekian dari pengabdian masyarakat, sekian dari penelitian, dan sekian dari pengembangan ilmu.

Kalau tidak bisa memenuhi syarat administratif angka kredit yang sudah ditetapkan, tidak akan bisa mendapat jabatan akademik. Setelah mendapat jabatan akademik pun, terus dituntut mengumpulkan angka kredit sampai 800-an hingga mendapat gelar akademik tertinggi (guru besar dengan sebutan profesor).

Semangat untuk mengejar simbol-simbol (misalnya, sertifikat pengabdian masyarakat hingga sertifikat seminar) sering membebani ilmuwan. Tak ayal, untuk memenuhi syarat-syarat itu, banyak dilakukan artifialisasi formalisme. Maka, muncul sertifikat tembakan, jurnal-jurnalan, plagiarisme, dan sebagainya.

Karena itu, muncul ironi dalam realitas kehidupan kampus. Individu-individu yang idealismenya tinggi menjadi malas mengurus dokumen-dokumen formal tersebut. Kalaupun yang bersangkutan akhirnya menjadi guru besar, biasanya itu terjadi berkat orang-orang di sekitar yang mau menjadi relawan mengumpulkan karya-karyanya menjadi angka kredit.

Maka, banyak individu yang karyanya banyak menjadi acuan dan berpengaruh dalam pemikiran teoretis yang statusnya dalam struktur sosial kampus tak pernah naik. Ashadi Siregar sebagai contoh. Dosen Ilmu Komunikasi UGM yang karya karyanya tak terhitung jumlahnya dan disegani mahasiswanya tersebut sampai pensiun tak pernah menjadi guru besar. Sementara itu, murid-muridnya yang kebetulan menjadi dosen di almamaternya sudah memakai toga kebesaran saat upacara wisuda.

Selebihnya juga banyak dijumpai individu yang sebelumnya tidak pernah published, namun tiba-tiba mendapat SK Presiden menjadi profesor. Itulah realitas sosial yang berkembang di perguruan tinggi, cenderung menjadi habitus tempat mencetak simbol-simbol aristokrasi modern. Nuansanya lebih kental mengejar kekuasaan akademik ketimbang membangun kearifan moral atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang substantif.

Karena itu, meskipun kampus-kampus perguruan tinggi semakin mentereng dengan bangunan-bangunan fisik dan keindahan tamannya, semakin sulit kita temukan begawan-begawan yang mengajar kontemplasi keilmuan. Sulit rasanya kita berharap kampus PT dapat melahirkan sosok-sosok sekaliber Karl Marx, Max Weber, Habermas, Talcott Parson, Heideger, Ciffort Geerzt, William Lidle, dan seterusnya.

Fungsi-fungsi struktur PT barangkali telah mengalami disfungsionalitas karena orientasi formalitas yang berlebihan. Karena itu, di samping semakin menjauh dari keilmuan yang substansial, efeknya justru menjadikan beban kerja para ilmuwan tersebut semakin berat dan sering bertentangan dengan hati nurani. Karena beban yang berat itu, acap kali penyakit stres dan depresi menjadi bagian dari realitas sosial PT.

Fenomena nyabu merupakan satu saja dari tindakan eskapisme (escape from stress). Lainnya, tawuran mahasiswa, pergaulan bebas, jual beli nilai, hingga pelecehan seksual, tersimpan bagai dalam air laut yang tenang. Tinggal tunggu terekspos di media, peta problem PT akan semakin terkuak. Semoga Tuhan tetap melindungi kehidupan kampus kita sebagai benteng terakhir keberadaan moralitas masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar