Berpikir
Arif
Daoed Joesoef ; Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
19 November 2014
KETIKA
terus-menerus menyaksikan di tayangan televisi bagaimana anggota-anggota DPR
berperilaku, berseteru, dan membanting meja yang pasti bukan miliknya,
orang-orang bertanya, ”Apakah mereka tidak pada berpikir?”
Jawaban
terhadap pertanyaan ini bisa ”ya” dan bisa ”tidak”. Sulit untuk mengatakan
bahwa mereka tidak berpikir. Bukankah mereka rata-rata punya pendapat,
mengajukan opini, dan menawarkan ide tentang sesuatu atau keadaan,
merasionalkan, membentuk serangkaian premis yang menjurus pada kesimpulan
yang berargumen.
Semua
itu adalah bukti-bukti valid dari adanya kegiatan berpikir. Lagi pula, mereka
rata-rata adalah warga negara terpelajar, di antaranya ada lulusan jenjang
S-3, bahkan pernah menjadi dosen.
Brutal dan barbar
Apabila
demikian, mengapa olah pikir mereka jadi begitu rupa hingga membuat DPR
menjadi ajang keributan brutal, kalaupun bukan barbarisasi, dan akhirnya
pecah menjadi dua kubu yang terpisah, saling menandingi. Ternyata dalam
berpikir itu mereka telah melupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi
pelaksanaan profesi politis mereka, yaitu bahwa mereka adalah wakil rakyat.
Protokol
mengharuskan kita—termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri—menyapa
mereka dengan ucapan ”yang terhormat”. Ini suatu keharusan yang tidak
diberlakukan terhadap anggota-anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI),
padahal para ilmuwan itu merupakan tokoh-tokoh yang dianggap merupakan the
best brains of the country.
Jadi,
para anggota DPR perlu menyadari, dalam berpikir dan berbuat, bahwa mereka
mewakili rakyat. Kesadaran ini, pada gilirannya, menuntut mereka berpikir
lain daripada cara berpikir individual biasa. Hal inilah yang persis tidak
mereka lakukan.
Mereka
memang berpikir, tetapi tidak sebagaimana seharusnya berpikir seorang wakil
rakyat. Seharusnya mereka perlakukan olah pikir itu sebagai respons terhadap
aspirasi rakyat, yang berasal dari sanubari warga negara yang telah memilih
mereka selaku wakilnya. La noblesse
oblige!
Berpikir
seperti yang diniscayakan itu dapat kiranya dikualifikasi sebagai berpikir
arif, wise thinking. Hal ini ada dinarasikan di dalam Alkitab berupa cara
berpikir Salomo, anak Daud. Pada suatu hari datang menghadap sang raja dua
perempuan yang sama-sama mendaku seorang bayi sebagai anak kandungnya.
Hakim-hakim di seluruh negeri tidak bisa dan tidak berani mengambil keputusan
karena ketiadaan bukti. Lagi pula, peristiwa ini terjadi pada zaman sebelum
Masehi ketika pengetahuan dan penelitian tentang DNA belum dikenal.
Setelah
Salomo mendengar keterangan setiap ibu, katakanlah Ibu-A dan Ibu-B, dia
memberi perintah untuk mengambilkan pedangnya. Sebagai keputusan perkara, dia
akan membelah tubuh bayi menjadi dua dan setiap ibu akan mendapat sebagian
untuk dibawa pulang. Adil, bukan?
Begitu
mendengar keputusan sang raja, Ibu-A langsung menjerit dan bersujud menyembah
Salomo. Perempuan ini bersumpah akan mengikhlaskan sang bayi diberikan kepada
Ibu-B asalkan anak ini dibiarkan hidup. Mendengar ratapan dan permohonan
Ibu-A, Salomo bersabda, ”Ya, bayi ini akan dibiarkan hidup dan bawalah dia
pulang bersamamu! Kamu adalah ibu sejati dari bayi ini.”
Untuk
bisa menerka dengan tepat siapa sebenarnya ibu dari bayi yang menjadi
rebutan, demi pengambilan keputusan yang adil, dalam berpikir Salomo berusaha
mengumpulkan dirinya seorang ibu, bukan seorang raja. Ketika menempatkan
dirinya begitu, dia menyadari bahwa konsen pertama dan utama dari seorang
ibu, di mana pun dan kapan pun, adalah supaya anaknya selamat, panjang umur.
Dengan
berpikir begini, Salomo dapat menyerap cinta-kasih dan kepribadian seorang
ibu sejati. Dengan kata lain, Salomo mampu membuat keputusan yang adil dan
tepat karena dia menganggap olah pikir sebagai respons terhadap aspirasi ibu
yang telah memercayai dia untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan
harapan keadilan human. Begitulah kiranya jalannya proses pembentukan berpikir
arif yang dinarasikan di dalam Alkitab.
Namun,
melalui proses serupa dapat kita membayangkan kemungkinan yang lain dari
bentuk keputusan yang adil dan tepat seperti, misalnya, mengenai kebijakan
keluarga berencana (KB).
Setelah
menyerap pendapat sebagian warga yang menolak KB dengan alasan bahwa
penetapan besar-kecilnya keluarga merupakan hak asasi manusia yang dibenarkan
oleh kepercayaan religius, multiply
yourself, dan kepasrahan pada takdir, ono
dino ono upo, penguasa negeri justru bertekad melaksanakan kebijakan KB.
Sebab,
apabila pendapat itu dibenarkan, demi popularitas politik, ia bisa menghambat
usaha kesejahteraan umum dan menimbulkan beban ekstra kepada kelompok warga
yang sudah tercerahkan dan pada bumi berdasarkan kondisi alami kontemporer.
Keluarga juga saksi
Maka,
alangkah baiknya apabila para anggota DPR berusaha mengembangkan cara
berpikir arif, tidak pernah lupa barang sedetik bahwa mereka adalah
wakil-wakil rakyat. Mereka bisa saja terus bertingkah laku yang tidak terpuji
di ruang sidang gedung parlemen, tidak peduli pada tanggapan reaktif rakyat
yang sangat negatif, sebab mereka beraja
kepada kehendak partai masing-masing, bukan kepada rakyat, asalkan mereka
tahu bahwa yang menyaksikan proses barbarisasi itu tidak hanya masyarakat
luas, tetapi juga keluarga terdekat mereka sendiri, yaitu istri atau suami,
dan anak serta cucu mereka. Pernahkah mereka berkonsultasi pada bisikan jujur
hati nurani keluarga terdekatnya masing-masing?
Atau
keluarga terdekat tersebut juga sudah tidak peduli lagi pada bisikan hati
nuraninya karena desakan realitas kehidupan. Buat mereka, yang penting ada
rumah berfasilitas memuaskan, ada kendaraan, makanan terjamin karena bergaji
lumayan, dan sesekali bisa gratis bepergian menemani suami atau istri
berstudi banding ke mana saja, di dalam atau, lebih-lebih, ke luar negeri.
Apabila
keadaan mental para politikus, tokoh-tokoh parpol, serta keluarganya memang
sudah separah itu, Ibu Pertiwi pasti berurai air mata. Sesudah 69 tahun kita
merdeka, kok keadaan masih begitu memprihatinkan? Dia tetap bertatih-tatih
seorang diri, tanpa panduan, dalam kondisi semakin tua.
Padahal,
pada setiap upacara resmi, termasuk seremoni pengambilan sumpah wakil rakyat
di Dewan Perwakilan Rakyat, himne nasional ”Indonesia Raya” selalu
dinyanyikan. Rupanya bait ”... di
sanalah aku berdiri menjadi pandu ibuku...” hanya berupa bunyi di mulut,
bukan berasal dari nurani dan spirit kebangsaan.
Ibu
Pertiwi pantas menangis. Biarkan dia tidak menyeka air matanya dengan ujung
kebayanya yang sudah kumal. Sebab, hanya dengan mata yang basah, jiwa masih
berpeluang melihat pelangi. Had the
eyes no tears, the soul would have no rainbow. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar