Menyalakan
Obor Toleransi
Maman Imanulhaq ; Majelis Nasional ANBTI
(Aliansi Nasional
Bhinneka Tunggal Ika), Anggota DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 15 November 2014
BICARA
tentang toleransi, bukan perkara prioritas melainkan menyangkut keselamatan
dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Betapa tidak, angka kekerasan dan
intoleransi, merujuk pada laporan-laporan tengah tahun (Januari-Juni 2014)
yang dilakukan Setara Institute, dari 60 pelanggaran di seluruh Indonesia, 19
di antaranya terjadi di Jawa Barat. Jumlah itu terbilang tinggi jika
dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya.
Di
peringkat kedua ada Jawa Tengah dengan 10 kasus dan Jawa Timur 8 kasus. Dari
81 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat
34 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor.
Dari ke-34 tindakan negara tersebut, 30 tindakan merupakan tindakan aktif,
sementara 4 tindakan merupakan tindakan pembiaran.Pernyataan-pernyataan
pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan, merupakan
bagian dari tindakan aktif negara.
Bangsa
ini dikenal sebagai bangsa yang cinta damai, toleran dan menghargai
pluralitas. Bahkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi prinsip
kebangsaan yang kuat sejak masa kegemilangan silam dengan tradisi dan
kemajemukan masyarakat Nusantara hingga terbentuknya negara dan bangsa
bernama Indonesia saat ini. Sebuah konsensus bersama disepakati dalam bentuk
konstitusi. Bernegara itu berkonstitusi.
Beragama yang toleran
Salah
satu dimensi kehidupan paling vital di Indonesia ialah dimensi agama. Hal itu
kiranya bisa dimaklumi karena rakyat Indonesia begitu patuh akan ajaran
agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan berbagai aliran
kepercayaan lainnya. Keberagamaan dan keyakinan seperti demikian tidaklah
bermasalah, selama agama dan kepercayaan yang dianut atas dasar ketukan
nurani, bukan karena paksaan dan apalagi intimidasi. Sikap toleransi yang
benar dan sehat mendorong semua orang untuk saling menghargai, saling
mencintai dan bekerja sama. Sikap beragama yang berlapang dada, terbuka, dan
damai akan melahirkan toleransi. Sebaliknya, sikap ketertutupan dalam
beragama tidak akan pernah melahirkan toleransi dan justru melegitimasi
radikalisme dan segala bentuk kekerasan beragama.
Agama
harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian, kasih sayang, dan
pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan kebencian,
keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Nilai ketuhanan yang
diyakini dan dihayati bangsa Indonesia harus bersifat membebaskan, memuliakan
keadilan, dan menjadi dasar, mengutip Bung Hatta, ke arah jalan persaudaraan.
Kasus
unjuk rasa dan kekerasan hanya karena ogah menyetujui Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak perlu terjadi bila hanya karena
Ahok nonmuslim. Ormas sekaliber Nahdlatul Ulama (NU) pun tak pernah
memberikan fatwa keharaman seorang nonmuslim menjadi pemimpin. Islam
merupakan agama toleran sejak dari penamaan. Islam berarti kepasrahan,
kedamaian, dan keselamatan.Maka sikap seorang muslim atau kelompok Islam
senantiasa mengedepankan pendekatan dan sikap yang damai, toleran, dan
memberi rasa aman.
Padahal,
semua agama dan aliran kepercayaan ada tidak lain untuk mengemban misi
kedamaian dan harmoni. Termasuk Islam, ia `turun' semata-mata untuk menjadi
inspirasi dan gerbong dalam menyongsong kehidupan yang toleran bagi semesta
alam (lihat QS. Al-Anbiya [21]: 107). Islam yang ditampilkan dengan wajah
yang ramah, santun, dan menyejukkan. Islam yang mengakomodasi semua manusia
apapun agama dan identitas sosial lainnya. “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sementara me reka dilahirkan
oleh ibunya dalam keadaan merdeka/bebas“, (Mata ista'badtum al-Nasa, wa qad waladathum ummahatuhum ahrara),
begitu kutipan kalimat bernada tegas yang pernah dilontarkan Umar bin
al-Khathab.
Lontaran
tegas itu dijadikan rujukan Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur sebagai argumen
bahwa kemerdekaan atau kebebasan merupakan salah satu ajaran utama Islam
berkenaan dengan toleransi.Kebebasan juga menjadi bagian penting dari tujuan
universal syariat Islam (maqashid al-Syari'ah) selain egaliter/persamaan
derajat (al-Musawa), merawat agama
(hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-'Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat kehidupan (hifdz al-Nafs) dan merawat harta (hifdz al-Mal).
Kita
berharap juga kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk berkomitmen senantiasa
memperkukuh jalinan toleransi bangsa, dengan menghadirkan nilai agama yang
mengakomodasi tradisi dan budaya Indonesia, tidak menutup akses kepada semua
penganut agama dan kepercayaan lain untuk melakukan `dakwahnya'
masing-masing.
Hari toleransi dunia
Sejak
1995, PBB menetapkan 16 November ialah peringatan hari toleransi dunia. Peringatan
hari toleransi dunia merupakan sarana bagi seluruh bangsa untuk mengakui
adanya perbedaan di setiap sudut bumi. Hari toleransi dunia merupakan sarana
bagi setiap manusia untuk melakukan perenungan bahwa kehidupan dunia ini
dibangun peradaban yang beragam, termasuk pengakuan keberagaman itu diakui
bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Hari
toleransi bagi bangsa Indonesia merupakan momen yang tepat untuk mengajak
seluruh elemen bangsa menyadari serta mengakui dan menghargai hak dan keyakinan
orang, kemudian menyadari betapa ketidakadilan, penindasan, rasisme,
diskriminasi, kebencian berbasis agama, dan kekerasan berdampak sangat buruk
bagi kehidupan bersama. Peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana
untuk terus mengingatkan negara agar memberikan jaminan dan hak-hak warga
negara yang selama ini tercerabut dari akarnya. Dengan begitu jaminan
konstitusi 1945 dapat dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan hidup
bangsa Indonesia dapat tercapai.
Mengukur
toleransi atau intoleransi hanya berdasarkan angka malah akan menjerumuskan
kita kepada kegagalan memahami perkembangan sosial. Sebab, gejala sosial yang
ada saat ini ialah terjadinya penguatan konservatisme agama, kecenderungan
segregasi sosial berdasarkan identitas agama, dan kemerosotan penghargaan
pandangan antarindividu dan kelompok yang berbeda keyakinan.
Hingga
kini, penyebab-penyebab terjadinya pelanggaran kebebasan/ berkeyakinan belum
diatasi aktor negara, seperti pembiaran produk hukum yang diskriminatif,
diskriminasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan menikmati
impunitas dan immunitas karena tidak diadili secara fair, juga pembiaran
berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap kelompok-kelompok
agama atau keyakinan rentan lainnya.
Kita
perlu melihat toleransi bukan dari berapa banyak jumlah rumah ibadah yang
bertambah tiap tahun, bukan pula pada meriahnya pertemuan-pertemuan lintas
agama. Tidak juga hanya melihat pada deklarasi-deklarasi perdamaian yang
hanya disorot media, tetapi masih menyimpan sekam. Toleransi ialah `obor'
yang harus terus dinyalakan, mengutip Nurcholish Madjid, “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban“ tetap
terjaga dalam prilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi suatu
keharusan bagi masa depan dan keselamatan bangsa Indonesia. Negara harus
hadir dalam setiap persoalan bangsa. Jangan biarkan intoleransi kembali
menggerus kebinekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar