Minggu, 16 November 2014

Agama (dalam) KTP

                                                 Agama (dalam) KTP

Masmuni Mahatma  ;   Dosen STAIN Babel dan Kandidat Doktor
Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung
MEDIA INDONESIA,  15 November 2014

                                                                                                                       


POLEMIK pengosongan identitas keagamaan di dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang diwacanakan Mendagri Tjahjo Kumolo sungguh layak dicermati. Itu bukan semata berkait dengan cara tafsir beragama, melainkan juga bagaimana artikulasi sosial (ke-) beragama(-an) itu diwujudkan dalam perilaku keseharian. 

Agama bukan sebatas identitas atau bentuk doktrinasi dan ritual (seremonial), melainkan juga menyangkut kesadaran sekaligus aplikasi sosial berkemanusiaan di hadapan sesama makhluk Tuhan. Penyikapan publik terhadap wacana Mendagri yang cukup beragam dan tajam ini semakin menunjukkan bahwa keberadaan agama di pentas sosial kebangsaan memang selalu menjadi isu yang paling menggelitik sekaligus sensitif. Maka kehati-hatian, kematangan, pendalaman, dan kearifan menempatkan wacana itu merupakan keniscayaan tersendiri. Kita perlu mengiris dan memaknainya dengan penuh keterbukaan dan pikiran positif (khusnuddzan), bukan dengan muatan antipati dan kecurigaan (su'uddzan) yang berlebihan sehingga tidak terjadi pembiasan beragama dalam berkebangsaan.

Tjahjo ialah bagian kecil dari bangsa Indonesia. Akan tetapi, dengan jabatan atau kuasa yang ia pegang saat ini memang terlihat punya aura. Terlepas dari siapa dan bagaimana latar sosial religi Tjahjo sebelumnya, tugas kita tetap harus sejalan dengan semangat Alquran, yakni saling mengingatkan menyangkut penegakan kebenaran dan aktualisasi kesabaran. Tawasau bi al-haqqi wa tawasau bi al-shabri. Dan rasanya kurang elok kalau kita gegabah memvonis seakan Tjahjo memiliki rencana untuk menjauhkan agama dari kesadaran dan etika sosial kebangsaan.

Agama itu fitrah

Tak kurang dari Will Durant menegaskan bahwa ketika agama dibunuh satu kali, ia akan muncul dan hidup lebih variatif. Beginilah uraian Durant selengkapnya, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu.“ Durant tidak sedang main-main. Ia menyodorkan fakta-fakta sosial keagamaan yang terus menggelembung seturut masa-masa yang silam.

Agama tidak bisa disingkirkan atau dimusnahkan dengan mudah oleh siapa pun dan dari kelas sosial mana pun. Agama bukan semata kumpulan doktrinasi atau mekanisme ritual, melainkan juga sumber nilai-nilai kebajikan yang sejatinya sangat diperlukan dalam kelangsungan setiap manusia di muka bumi. Agama itu fitrah.Ia telah dengan sengaja diturunkan Allah SWT demi mengawal dinamika (ke-) manusia(-an) menuju arah hidup yang lebih berkualitas pada aspek moral ataupun spiritualitas.

Kefitrahan agama, disadari atau tidak, sesungguhnya telah memengaruhi cara dan tata laku kehidupan kita sebagai makhlukNya. Dari dan untuk kefitrahan agama itu, kualitas pikiran dan bangunan rohaniah kita terus bertumbuh dengan cukup positif. Bahwa belakangan terkuak perilaku koruptif, eksploitatif, dan brutal dari kalangan beragama, itu sama sekali tidak bisa dimungkiri. Itu menyata dan sedikit mengganggu stabilitas sosial di tengah-tengah kebangsaan kita dengan amat menyedihkan. Namun, kita tetap harus membedakan mana agama sebagai sumber ajaran dengan esensi yang dikandungnya dan mana tarikan hal-hal berbau agama yang dimanipulasi sebagian kecil penganutnya. Agama tidak boleh semena-mena dipersalahkan. Pemaknaan setiap penganut agama sendiri yang kerap kali mengeruhkan peran luhur agama dalam berkemanusiaan.

Agama dan KTP tentu soal yang berbeda. Agama ialah sumber nilai berbasis kebajikan ilahiah dan pijakan primer bagi setiap manusia beriman. Sementara itu, KTP hingga saat ini dipahami sebagai simbol (identitas) setiap individu rakyat bernegara, terutama dalam perspektif administrasi kependudukan. Manusia tidak beragama, minimal menurut kerangka tradisional, akan tergolong sebagai pribadi yang mengingkari keberadaan Allah dengan segala atribut dan keluasan kuasa-Nya. Dan itu dapat dihukumi `kafir'. Sebaliknya, manusia yang tidak punya KTP hanya diposisikan individu yang tidak `legal' hidup dalam sebuah negara tapi bukan lantas menjadi `murtad'.

Mencampuradukkan

Mencampuradukkan agama dengan KTP secara serampangan rasanya kurang produktif. Agama mengandung aspek-aspek luhur dan sakral yang setiap saat harus ditelaah, dipahami, dimaknai, dan diaktualisasikan penganutnya setulus penuh. KTP berkait dengan keberadaan setiap pribadi dalam konteks profanitas, yakni merajut dan melangsungkan sosial kenegaraan.Menempatkan agama dalam posisi dan situasinya secara proporsional, pelan tapi pasti, akan dapat mengakomodasi filosofi dan fungsi ideal KTP. Karena Indonesia bukan negara agama, tidak terlalu salah sekiranya KTP juga hanya dimaknai sebagai simbol (identitas) sosial kebangsaan.

Kita mesti mengedepankan kedewasaan dan keterbukaan cara pandang terhadap aspektual KTP yang paling prinsip. Jika KTP semata untuk penegasan identitas sosial setiap masyarakat, pengosongan kolom agama bukan masalah yang terbilang besar. Selama identitas menyangkut kelahiran, jenis kelamin, tempat tinggal, dan ruang pekerjaan setiap warga negara tertera di dalamnya, bukankah sudah cukup untuk mengidentifikasi status sosial mereka? Dengan penuh kebesaran jiwa, selaiknya kita mendalami jalan pikiran sosok macam Ibnu Arabi (638 H/1240 M) dan Paul Tillich (1965). Kedua tokoh itu menegaskan meskipun agama dan ungkapan keagamaan terkait dengan bahasa simbol, itu tetap mempunyai arah dan tekanan yang berbeda. Agama sangat prinsip bagi setiap manusia. Agama yang diletakkan sebagai simbol saja tanpa ungkapan empatik-produktif sama sekali tidak akan optimal mewujudkan cita-cita luhurnya dalam kesemestaan.

Agama yang dijebak pada konstruksi simbolisasi (dalam KTP) semata, seperti istilah kaum santri, ia akan `mulgha' atau sia-sia. Ia tidak akan menjadi daya potensial bagi pemompaan dan pengembangan diri setiap penganutnya dalam makna yang universal. Sebaliknya, ia akan mudah ditukartempatkan dengan orientasi parsial yang sering kali jauh dari semangat luhur fitratinya. Ia dengan gampang dituliskan pada kolom KTP tapi nilai-nilai dan fitratinya bisa jadi terkikis oleh perilaku pengguna KTP itu sendiri.

Padahal, menirukan uraian Sayyid Hussien Nasr, hal yang paling esensial menyangkut agama dan keagamaan ialah sejauh mana kemampuan kita mengawal kebenaran agama itu sendiri. Melalui perspektif tersebut diharapkan, kita segera mendapatkan dan melahirkan jalan-jalan alternatif yang valid dan mencerahkan secara spiritual sehingga setiap pribadi yang menghiasi dirinya dengan nilai-nilai imani bisa optimal bergerak dari dan menuju Tuhan, baik untuk transformasi sosial kemasyarakatan dan kebangsaan maupun untuk aktualisasi kekhalifahan mereka di hadapan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar