Agama
(dalam) KTP
Masmuni Mahatma ; Dosen STAIN Babel dan Kandidat Doktor
Religious Studies UIN
Sunan Gunung Djati Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 15 November 2014
POLEMIK pengosongan
identitas keagamaan di dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang diwacanakan
Mendagri Tjahjo Kumolo sungguh layak dicermati. Itu bukan semata berkait
dengan cara tafsir beragama, melainkan juga bagaimana artikulasi sosial (ke-)
beragama(-an) itu diwujudkan dalam perilaku keseharian.
Agama bukan sebatas
identitas atau bentuk doktrinasi dan ritual (seremonial), melainkan juga
menyangkut kesadaran sekaligus aplikasi sosial berkemanusiaan di hadapan
sesama makhluk Tuhan. Penyikapan publik terhadap wacana Mendagri yang cukup
beragam dan tajam ini semakin menunjukkan bahwa keberadaan agama di pentas
sosial kebangsaan memang selalu menjadi isu yang paling menggelitik sekaligus
sensitif. Maka kehati-hatian, kematangan, pendalaman, dan kearifan
menempatkan wacana itu merupakan keniscayaan tersendiri. Kita perlu mengiris
dan memaknainya dengan penuh keterbukaan dan pikiran positif (khusnuddzan), bukan dengan muatan
antipati dan kecurigaan (su'uddzan)
yang berlebihan sehingga tidak terjadi pembiasan beragama dalam
berkebangsaan.
Tjahjo
ialah bagian kecil dari bangsa Indonesia. Akan tetapi, dengan jabatan atau
kuasa yang ia pegang saat ini memang terlihat punya aura. Terlepas dari siapa
dan bagaimana latar sosial religi Tjahjo sebelumnya, tugas kita tetap harus
sejalan dengan semangat Alquran, yakni saling mengingatkan menyangkut
penegakan kebenaran dan aktualisasi kesabaran. Tawasau bi al-haqqi wa tawasau bi al-shabri. Dan rasanya kurang
elok kalau kita gegabah memvonis seakan Tjahjo memiliki rencana untuk
menjauhkan agama dari kesadaran dan etika sosial kebangsaan.
Agama itu fitrah
Tak
kurang dari Will Durant menegaskan bahwa ketika
agama dibunuh satu kali, ia akan muncul dan hidup lebih variatif. Beginilah
uraian Durant selengkapnya, “Agama
memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama
itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia
seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu.“
Durant tidak sedang main-main. Ia menyodorkan fakta-fakta sosial keagamaan
yang terus menggelembung seturut masa-masa yang silam.
Agama
tidak bisa disingkirkan atau dimusnahkan dengan mudah oleh siapa pun dan dari
kelas sosial mana pun. Agama bukan semata kumpulan doktrinasi atau mekanisme
ritual, melainkan juga sumber nilai-nilai kebajikan yang sejatinya sangat
diperlukan dalam kelangsungan setiap manusia di muka bumi. Agama itu
fitrah.Ia telah dengan sengaja diturunkan Allah SWT demi mengawal dinamika
(ke-) manusia(-an) menuju arah hidup yang lebih berkualitas pada aspek moral
ataupun spiritualitas.
Kefitrahan
agama, disadari atau tidak, sesungguhnya telah memengaruhi cara dan tata laku
kehidupan kita sebagai makhlukNya. Dari dan untuk kefitrahan agama itu,
kualitas pikiran dan bangunan rohaniah kita terus bertumbuh dengan cukup
positif. Bahwa belakangan terkuak perilaku koruptif, eksploitatif, dan brutal
dari kalangan beragama, itu sama sekali tidak bisa dimungkiri. Itu menyata
dan sedikit mengganggu stabilitas sosial di tengah-tengah kebangsaan kita
dengan amat menyedihkan. Namun, kita tetap harus membedakan mana agama
sebagai sumber ajaran dengan esensi yang dikandungnya dan mana tarikan
hal-hal berbau agama yang dimanipulasi sebagian kecil penganutnya. Agama
tidak boleh semena-mena dipersalahkan. Pemaknaan setiap penganut agama
sendiri yang kerap kali mengeruhkan peran luhur agama dalam berkemanusiaan.
Agama
dan KTP tentu soal yang berbeda. Agama ialah sumber nilai berbasis kebajikan
ilahiah dan pijakan primer bagi setiap manusia beriman. Sementara itu, KTP
hingga saat ini dipahami sebagai simbol (identitas) setiap individu rakyat
bernegara, terutama dalam perspektif administrasi kependudukan. Manusia tidak
beragama, minimal menurut kerangka tradisional, akan tergolong sebagai
pribadi yang mengingkari keberadaan Allah dengan segala atribut dan keluasan
kuasa-Nya. Dan itu dapat dihukumi `kafir'. Sebaliknya, manusia yang tidak
punya KTP hanya diposisikan individu yang tidak `legal' hidup dalam sebuah
negara tapi bukan lantas menjadi `murtad'.
Mencampuradukkan
Mencampuradukkan
agama dengan KTP secara serampangan rasanya kurang produktif. Agama
mengandung aspek-aspek luhur dan sakral yang setiap saat harus ditelaah, dipahami,
dimaknai, dan diaktualisasikan penganutnya setulus penuh. KTP berkait dengan
keberadaan setiap pribadi dalam konteks profanitas, yakni merajut dan
melangsungkan sosial kenegaraan.Menempatkan agama dalam posisi dan situasinya
secara proporsional, pelan tapi pasti, akan dapat mengakomodasi filosofi dan
fungsi ideal KTP. Karena Indonesia bukan negara agama, tidak terlalu salah
sekiranya KTP juga hanya dimaknai sebagai simbol (identitas) sosial
kebangsaan.
Kita
mesti mengedepankan kedewasaan dan keterbukaan cara pandang terhadap
aspektual KTP yang paling prinsip. Jika KTP semata untuk penegasan identitas
sosial setiap masyarakat, pengosongan kolom agama bukan masalah yang
terbilang besar. Selama identitas menyangkut kelahiran, jenis kelamin, tempat
tinggal, dan ruang pekerjaan setiap warga negara tertera di dalamnya,
bukankah sudah cukup untuk mengidentifikasi status sosial mereka? Dengan
penuh kebesaran jiwa, selaiknya kita mendalami jalan pikiran sosok macam Ibnu
Arabi (638 H/1240 M) dan Paul Tillich (1965). Kedua tokoh itu menegaskan
meskipun agama dan ungkapan keagamaan terkait dengan bahasa simbol, itu tetap
mempunyai arah dan tekanan yang berbeda. Agama sangat prinsip bagi setiap
manusia. Agama yang diletakkan sebagai simbol saja tanpa ungkapan empatik-produktif
sama sekali tidak akan optimal mewujudkan cita-cita luhurnya dalam
kesemestaan.
Agama
yang dijebak pada konstruksi simbolisasi (dalam KTP) semata, seperti istilah
kaum santri, ia akan `mulgha' atau
sia-sia. Ia tidak akan menjadi daya potensial bagi pemompaan dan pengembangan
diri setiap penganutnya dalam makna yang universal. Sebaliknya, ia akan mudah
ditukartempatkan dengan orientasi parsial yang sering kali jauh dari semangat
luhur fitratinya. Ia dengan gampang dituliskan pada kolom KTP tapi
nilai-nilai dan fitratinya bisa jadi terkikis oleh perilaku pengguna KTP itu
sendiri.
Padahal,
menirukan uraian Sayyid Hussien Nasr, hal yang paling esensial menyangkut
agama dan keagamaan ialah sejauh mana kemampuan kita mengawal kebenaran agama
itu sendiri. Melalui perspektif tersebut diharapkan, kita segera mendapatkan
dan melahirkan jalan-jalan alternatif yang valid dan mencerahkan secara
spiritual sehingga setiap pribadi yang menghiasi dirinya dengan nilai-nilai
imani bisa optimal bergerak dari dan menuju Tuhan, baik untuk transformasi
sosial kemasyarakatan dan kebangsaan maupun untuk aktualisasi kekhalifahan
mereka di hadapan Tuhan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar