Sabtu, 08 November 2014

Menuju Ekonomi Biru

Menuju Ekonomi Biru

Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SINAR HARAPAN, 04 November 2014

                                                
                                                                                                                       


Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berjanji mengembalikan Indonesia menjadi bangsa maritim. Potensi-potensi ekonomi yang bersumber dari dunia kemaritiman atau disebut “ekonomi biru” tentu akan dikembangkan seperti di negara-negara lain, sebut saja Jepang, Tiongkok, Korea Selatan (Korsel), Australia, dan di negara-negara Eropa.

Dalam Kabinet Kerja, diberikan tempat khusus satu kementerian, yakni Kementerian Maritim yang diemban Indroyono Soesilo. Sang menteri berkata dengan tandas, “Samudra dan laut harus diberikan teknologi. Jika tidak, ia akan biru begitu saja.” Bahkan dalam pidato pelantikannya, Jokowi secara tegas tidak akan lagi memunggungi laut, samudra, teluk, dan selat. Presiden menegaskan kembali semboyan jalesviva jayamahe (di laut kita jaya).

Selama ini, memang sungguh sangat ironis, Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago state) kerap tidak memberdayakan potensi-potensi ekonomi kelautan atau kemaritiman atau “ekonomi biru”. Dibentuknya Kementerian Maritim semoga menjadi tonggak, sekaligus meneguhkan kembali identitas Indonesia sebagai archipelagio state.

Sebuah negara yang meskipun terpecah-pecah dengan ribuan pulau, tetap menjadi negara kesatuan. Jika dicermati, sebagai konsekuensi dari jumlah ribuan pulau tersebut, dalam hal struktur sosial dan budaya pun, Indonesia mengalami heterogenitas dan multikulturalitas. Bangsa ini sangat pluralistik dan multikulturalistik, yang dimukimi beragam etnis, bahasa, agama, dan ideologi yang berbeda.

Itu semua sebagai konsekuensi logis dari letak geografis negara ini yang dipisahkan ribuan pulau. Sampai-sampai seorang peneliti Eropa suatu ketika pernah merasa heran, seperti ditulis Robert Cribb (Indonesia Beyond Soeharto, 2001), mestinya ada banyak negara pula, tetapi kenyataannya hanya ada satu negara, yaitu Indonesia.

Apa keuntungan bagi Indonesia karena dikenal sebagai negara maritim atau archipelago state? Selama ini, orientasi pembangunan terlalu ditujukan ke arah daratan, terutama ketika rezim Orde Baru. Hal itu telah menyebabkan banyak ketimpangan dan kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh di Pulau Jawa, di wilayahnya areal persawahan dan perkebunan semakin menyempit karena dijadikan permukiman dan real estate, pabrik, industri, dan perkantoran.

Contoh lain, banyak terjadi penggundulan hutan karena eksploitasi kayu yang melewati ambang batas. Banyak pula pencemaran lingkungan, seperti terjadi di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua.

Amburadulnya pengelolaan tata ruang wilayah dan lemahnya sistem pengawasan telah turut andil mempercepat kerusakan sumber daya alam dan lingkungan di wilayah daratan (Keraf, 2003). Sementara itu, potensi sumber daya yang cukup besar dan belum dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebenarnya adalah sumber daya kelautan. Untuk mencapai pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan, perlu diterapkan paling tidak dua prinsip pengelolaan, seperti pertimbangan ekologi dan sosial-ekonomi.

Dari sisi ekologi, wilayah pesisir, laut, dan sumber daya ikan mempunyai ambang batas dalam kontek pemanfaatan. Oleh karena itu, untuk menghindari kerusakan, harus memberikan ruang dan proteksi bagi sumber daya yang ada di dalamnya, seperti pembuatan hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan sumber daya ikan agar tetap bisa berkembang dan lestari.

Dari sisi ekonomi-sosial, perlu ada tawaran mata pencaharian lain kepada masyarakat yang selama ini mengandalkan mata pencaharian dari laut, yaitu memberi mata pencaha­rian alternatif. Salah satu cara atau solusi yang bisa ditawarkan kepada masyarakat pesisir yang terbiasa melakukan tindakan eksploitasi, sehingga mereka tidak merasa dikalahkan dan dipinggirkan, adalah kegiatan usaha nyata yang bisa diterapkan kepada masyarakat pesisir agar meninggalkan kegiatan buruk itu; antara lain tawaran beralih profesi menjadi nelayan dengan alat tangkap ikan yang diperbolehkan sesuai undang-undang yang ada, menjadi pembudi daya, pengolah, maupun pedagang ikan. Masih banyak pilihan lain yang cukup prospektif.

Produk hasil perikanan yang diminati pasar internasional dan dapat memberikan dampak percepatan pertumbuhan ekonomi adalah jenis crustacea (udang windu, udang vaname, udang putih, lobster, kepiting bakau), ikan hidup dan ikan segar (kerapu, kakap, bawal, nila, ikan mas, patin, dan lele), serta beraneka produk olah­an berbahan baku ikan lain. Kunci sukses dari semua usaha sektor laut dan perikanan ini hanya dengan tetap menjaga kualitas produk dan lingkungan, meningkatkan pelayanan, promosi, dan jaminan keamanan.

Selain itu, peluang pengembangan usaha sektor wisata bahari, sun bathing di pantai, olahraga memancing (sport fishing), diving, juga wisata boga serbaikan yang mengedepankan faktor kenyamanan dan keindahan pesisir perlu ditingkatkan. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, serta keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias.

Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia, seperti populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alami yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik yang sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas dijadikan sebagai objek wisata bahari.

Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami, di antaranya pantai barat Sumatera, Pulau Si­meuleu, Nusa Dua Bali, dan pantai terjal berbatu di selatan Pulau Lombok juga Manado.

Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat pemandian yang bersih, juga tempat melakukan kegiatan berselancar air atau surfing. Itu terutama di pantai yang landai serta berombak besar dan berkesinambungan.

Melihat itu semua, saatnya bagi negara ini tak hanya mengandalkan sektor pembangunan yang berbasis darat. Sektor pembangunan kelautan malah cenderung dipinggirkan. Padahal telah nyata, dari sektor kelautanlah sesungguhnya potensi pembangunan ekonomi untuk masyarakat bisa dimaksimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar