Sabtu, 08 November 2014

Falsafah Legislatif dan Dualisme Kepemimpinan

Falsafah Legislatif dan Dualisme Kepemimpinan

Masduri  ;  Akademikus Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
SINAR HARAPAN, 05 November 2014

                                                
                                                                                                                       


Dunia politik kita kembali dibuat gaduh dualisme kepemimpinan DPR. Dua kubu yang berseberangan; Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada pemilihan presiden (pilpres) mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Kubu DPR pendukung Prabowo-Hatta telah melalap habis semua kursi pemimpin DPR, sedangkan kubu DPR Jokowi-JK tak kebagian posisi penting sama sekali. Akhirnya, DPR kubu Jokowi-JK ngamuk, berbuntut dengan munculnya pemimpin DPR versi KIH. Mereka dengan segenap alasan bertindak atas nama kebaikan hidup rakyat. Alasan baik dan buruk mereka hadirkan. Seolah-olah mereka pemilik tunggal republik yang dibangun dari peluh, harta, hingga darah para founding fathers.

Publik sebenarnya sudah tak begitu percaya dengan politikus, sebab apa pun alasannya, di balik itu semua ada kepentingan politis yang dirancang, baik kepada KMP atau pun KIH. Namun,  cara bermain politikus sangat halus—meski yang terakhir ini begitu sangat keras—seolah-olah tak tampak di hadapan publik. Tanpa bermaksud berpihak, kita penting membaca problem dualisme ini dalam kerangka pembangunan negara yang berkeadaban. Sebuah landasan filosofis pembentukan negara yang dimaksudkan sebagai jalan bersama menuju hidup sejahtera dan berkeadilan.

Dalam filsafat politik, sedikitnya ada dua filsuf penting yang mengurai filosofi tentang terbentuknya negara, yakni Thomas Hobbes dan John Locke. Dalam karya besarnya yang bertajuk Leviathan, Hobbes berpandangan,  negara lahir dari keinginan untuk menghalau kekacauan hidup akibat sifat dasar destruktif manusia, yang dalam bahasa yang sangat terkenal, Hobbes menyebut homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Itu karena sifat dasar destruktif ini akhirnya melahirkan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).

Tentu saja begitu menakutkan bagi manusia bila perang antara sesama terus terjadi karena mereka terus-menerus akan kehilangan generasinya akibat peperangan. Karena itu, negara dibangun dengan dasar semangat kebersamaan guna mencapai kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan hidup. Warga sebuah bangsa menyerahkan hak-haknya pada negara sehingga negara berada di posisi yang tinggi. Tidak boleh ada satu orang pun yang mampu melampaui kuasa negara.

Pandangan Locke tentang terbentuknya negara dapat dilacak dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Civil Government. Locke secara sistematis menguraikan tahap perkembangan masyarakat hingga terbentuknya negara. Ada tiga tahapan penting, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara persemakmuran (commonwealth).

Pada tahap alamiah, Locke berbeda pandangan dengan Hobbes. Mulanya bagi Locke, masyarakat itu hidup harmonis sebab semua memiliki kebebasan dan hak yang sama. Namun, ketika lahir mata uang, yang dahulu dalam interaksi sosial-ekonomi masyarakat menggunakan sistem barter, mulailah muncul hasrat manusia menguasai hak-hak ekonomi.

Kompetisi terjadi secara besar-besaran. Semua manusia ingin menjadi paling kaya sehingga terjadilah perang. Perang tentu tak disuka maka masyarakat mengadakan perjanjian guna melahirkan negara persemakmuran, yang menjamin setiap hak warga negara hidup damai dan sejahtera.

Kuasa Negara

Negara tidak bisa menjalankan tugasnya tanpa penyelenggara maka dibentuklah apa yang dalam bahasa kenegaraan kita disebut pemerintah (government). Pemerintah, meminjam bahasa Aristoteles, harus mengedepankan kepentingan umum dan keadilan. Itu karena pemerintah memiliki tugas memberikan kesejahteraan bagi kehidupan rakyat.

Tugas ini barangkali mengandaikan pemikiran Plato. Sebesar apa pun persoalan kebangsaan, termasuk dahulu peperangan dan hilangnya hak-hak rakyat, dapat diselesaikan. Besarnya tanggung jawab seorang pemerintah sudah menjadi pengetahuan umum. Namun realitasnya, masih saja mereka banyak mengabaikan tugas-tugasnya. Bahkan pada posisi tertentu, pemerintah—lebih tepatnya politikus—menunggangi kedaulatan rakyat sebagai pemilik tunggal sebuah negara. Pada konteks Indonesia, terjadinya dualisme kepemimpinan di DPR, menandai ada kepentingan politik yang digiring guna mendapatkan kekuasaan yang besar bagi diri dan kelompoknya. Pada posisi ini, lagi-lagi rakyat selalu menjadi korban.

Dalam polemik dualisme ini, kita bisa melihat perbedaan pandangan Hobbes dan Locke. Hobbes menekankan, kuasa negara itu mutlak. Tak ada warga negara yang bisa melampaui kuasa negara. Seperti simbolisasi Leviathan yang dihadirkan Hobbes, sebuah binatang buas dalam mitologi Timur Tengah. Baginya, negara harus berkuasa mutlak dan ditakuti rakyatnya. Karena itu, secara tidak langsung, Hobbes memberikan kuasa mutlak pada pemerintah (eksekutif).

Ini karena pemerintahlah yang menyelenggarakan tugas kenegaraan. Karena itu, penyimpangan sangat mungkin terjadi, sebab tak ada kontrol dari legislatif.

Bagi Locke, kekuasaan negara itu terbatas pada kesepakatan yang dibuat bersama. Sepanjang tidak atas dasar kesepakatan bersama, rakyat berhak menggugat dan tidak menaati ketentuan negara.

Dalam rangka membatasi kekuasaan negara, Locke menghadirkan dua sistem pemerintahan, sistem parlemen berdasarkan prinsip mayoritas serta pembagian kekuasaan menjadi tiga unsur; legislatif, eksekutif, dan federatif.

Pragmatisme Politik

Tak jauh berbeda dengan Locke, negara kita menggunakan sistem pemerintahan melalui pembagian kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dikembangkan Montesquieu dengan sebutan trias politica. Konsep trias politica banyak digunakan di berbagai negara, sebab dianggap paling aman dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, kita disuguhi drama politik atas polemik dualisme kepemimpinan DPR versi KMP dan KIH. Mereka menandaskan, kelompoknya berpihak pada rakyat, tetapi sejatinya sedang menjungkalkan rakyat pada jurang kematiannya karena elite legislatif sibuk mengurusi kekuasaan ketimbang upaya penyejahteraan rakyat.

Kuasa politik yang diberikan rakyat saat pemilihan legislatif disalahgunakan demi kepentingan kelompok, yang sebenarnya lahir atas kekecewaan karena kalah dalam pilpres dan tidak mampu menguasai parlemen. Mulanya KMP menguasai kepemimpinan DPR dan MPR. Jadi, muncul spekulasi, tugas legislatif yang sebenarnya mengawasi eksekutif, secara khusus presiden, dicurigai akan menjegal jalannya pemerintahan. Akhirnya, seiring waktu berjalan, kelompok KIH memunculkan kepemimpinan DPR versi mereka.

Sesungguhnya dualisme kepemimpinan DPR ini nestapa paling nyata dari hilangnya keadaban politik. Itu disebabkan cita-cita dasar sebuah negara lahir atas semangat tercapainya hak-hak hidup rakyat. Dalam rumusan founding fathers kita disebut hak-hak warga negara Indonesia untuk bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Bukan untuk bersolek diri dengan uang dan kekuasaan, apalagi begitu ambisius untuk menguasai eksekutif dan legislatif. Ini karena di balik kekhawatiran KIH pada KMP, ada kecenderungan kekuasaan yang mutlak.

Bila eksekutif dan legislatif dikuasai satu kelompok koalisi, ancamannya adalah kecenderungan kongkalikong politik yang berakibat disorientasi politik sebagai jalan keadaban hidup. Saya khawatir bahasa Lord Acton ini bakal terjadi, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar