Sabtu, 08 November 2014

Puting Beliung Politik

Puting Beliung Politik

Ikhsan Darmawan  ;  Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN, 03 November 2014
                                                 
                                                                                                                       


Tidak disangka-sangka ternyata perubahan musim di Indonesia, dari musim panas ke musim hujan, juga diikuti munculnya dampak yang kurang lebih sama dalam politik Indonesia setelah perubahan kepemimpinan nasional. Jika dalam ilmu tentang cuaca (meteorologi) disebutkan perubahan musim dapat menimbulkan dampak seperti kehadiran angin puting beliung (seperti yang terjadi di Bogor pada Oktober) maka dalam perpolitikan nasional pergantian pemimpin nasional menyebabkan terjadinya puting beliung politik.

Puting beliung politik yang dimaksud adalah kondisi tidak pasti yang terjadi dalam tubuh lembaga politik formal yaitu parlemen nasional. Konstelasi politik di DPR terbagi menjadi dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pada awal periode mereka ternyata sudah berselisih tajam, bahkan menjurus pada kondisi lembaga yang terbelah.

Sampai akhir Oktober 2014, perseteruan kedua kelompok masih dan terkesan bertambah sengit. Selepas KMP “menang” berkali-kali, dari mulai saat rapat paripurna pengambilan keputusan UU MD3 dan UU Pilkada, sampai dengan pemilihan Ketua DPR, MPR, dan pemimpin alat kelengkapan dewan, KIH baru dua kali “menang”.

Kemenangan KIH itu yakni memuluskan pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dan berhasil menarik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy ke dalam KIH. Kondisi yang paling update adalah penolakan penyerahan daftar nama anggota dewan untuk alat kelengkapan dewan yang berlanjut dengan penolakan terhadap pemimpin alat kelengkapan dewan oleh KIH. Sebagai pelengkap dari aksi tersebut adalah pembentukan pemimpin DPR tandingan oleh KIH. Di sisi lain, KMP melontarkan wacana akan membentuk pemerintahan tandingan untuk menyamai apa yang dilakukan KIH.

Keadaan yang dapat menjurus pada kebuntuan politik (political deadlock) ini mengkhawatirkan. Sama halnya dengan angin puting beliung dalam kehidupan nyata yang ditakuti banyak orang dan berpotensi merusak sekaligus merugikan orang-orang yang didatanginya, puting beliung politik ini juga bila tidak reda dan selesai bisa menjadi bencana bagi rakyat Indonesia. Kesimpangsiuran kehidupan politik adalah hal yang mencemaskan karena rakyat jengah dan takut, setelah itu rakyat juga yang terkena risikonya.

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan berlarut-larutnya hal ini terjadi? Apakah hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan apa yang terjadi di masa lampau? Bagaimana perkiraan kondisi yang terjadi ke depannya? Tulisan ini ingin menjawab ketiga pertanyaan kunci tersebut.

Keberlangsungan ketegangan politik di tingkat elite ini terjadi dikarenakan beberapa sebab. Pertama, rasa sakit hati elite politik yang kalah dan tidak meraih kekuasaan dalam pemilu eksekutif (presiden-red) lalu. Sulit dimungkiri alasan ini ada. Di dalam sejumlah pidatonya yang menggebu-gebu di hadapan elite partai politik (parpol) di bawah bendera KMP, Prabowo Subianto, selaku pionir sekaligus pemimpin kunci KMP, kerap kali menyinggung kekalahan dalam pilpres, sekaligus arah perjuangan politik KMP ke depannya.

Namun yang menarik, ternyata pola lama yang pernah terjadi terulang kembali saat ini. Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri ketika kalah dalam Pilpres 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), begitu kuat keinginannya untuk berada di luar kekuasaan (kabinet SBY Jilid I dan II). Meskipun dalam kadar yang lebih soft, sebab sakit hati itu eksis dan menjadi pendorong terbentuknya kubu “oposisi” di parlemen selama 10 tahun. Bedanya dengan sekarang adalah Prabowo lebih keras dan sentimen, sekaligus berambisi besar menggoyang kursi kepresidenan Jokowi ketimbang ketika Megawati kecewa karena kalah dalam pilpres sepuluh tahun lalu.

Sebab kedua ialah adanya parpol di dalam masing-masing kubu yang memang tidak dapat dan sulit sekali menyatu dalam sebuah kubu. Parpol yang dimaksud yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di KMP dan PDI Perjuangan di KIH. Ketidakakuran ini, menurut penulis, lebih dikarenakan faktor sentimen ketimbang faktor perbedaan ideologis di antara keduanya.

Dalam sejarahnya, memang PKS selalu berada dalam posisi berseberangan dengan PDIP. Pasca-Pemilu 1999, PKS (saat itu masih bernama PK) berada dalam gerbong poros tengah di bawah pimpinan Amien Rais yang berhasil menggagalkan terpilihnya Megawati sebagai presiden dalam pemilihan di MPR. Di masa Kabinet Jilid I dan II, PKS memilih bergabung dengan “koalisi” di bawah SBY, sedangkan PDIP lebih memilih berada dalam jalan sunyi di luar Istana Negara.

Sebab ketiga yakni faktor komunikasi politik yang buruk dari pemimpin parpol di bawah payung KIH di parlemen, ditambah kekurangcerdikan mereka dalam membuka ruang negosiasi. Faktor itu diperparah sentimen pribadi antara Megawati dan SBY yang menyebabkan Partai Demokrat tidak berhasil digaet masuk ke dalam KIH.

Sebab keempat adalah posisi yang abu-abu dari Partai Demokrat masuk ke dalam kubu mana. Sejauh ini, Partai Demokrat mengaku tidak memihak ke salah satu kubu, walaupun secara de facto Partai Demokrat lebih terlihat masuk ke dalam KMP. Setidaknya, dengan diberinya dua kursi pemimpin, satu di DPR dan satu di MPR, menjadi sinyalemen bahwa  Demokrat sebenarnya anggota KMP.

Lantas, bagaimana ke depannya dan apa yang mungkin terjadi? Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, penulis berpandangan, kalau tidak ada niat baik untuk serius berkomunikasi secara khusus di antara perwakilan kedua kubu, politik Indonesia akan terus dirundung awan gelap yang dipertontonkan kepada rakyat Indonesia. Jangan sampai hal ini lantas dibiarkan sampai melibatkan pemilik kekuasaan sesungguhnya, yaitu rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar