Menjaga
Asa Pemimpin
Ihwan Sudrajat ; Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 15 November 2014
SEMINGGU setelah dilantik menjadi presiden, tanggal 28 Oktober lalu,
Jokowi blusukan ke kantor BKPM tanpa diliput awak media. Tujuannya untuk
melihat langsung seperti apa pelayanan perizinan, Presiden menargetkan
pengintegrasian perizinan bisa selesai dalam 3-6 bulan, dan kebijakan ini
akan dilanjutkan di daerah.
Presiden pun menginstruksikan para menteri bekerja sama dengan BKPM,
mengintegrasikan perizinan pada kementerian dalam satu pelayanan terpadu di
badan itu.
Esoknya, dengan balutan baju putih dan sepatu khasnya, Jokowi blusukan
ke Sinabung, memenuhi janjinya saat kampanye menemui pengunsi. Presiden
membuat keputusan langsung termasuk memerintahkan pembangunan rumah para
pengungsi di tanah negara dan meminta pihak terkait memperlancar
realisasinya. Paling mengejutkan adalah rencana pembatalan pembangunan
jembatan Selat Sunda, di mana progress konsultasinya sudah cukup jauh.
Menurut Menteri Perekonomian Sofyan Djalil, pembangunan tersebut tidak sesuai
visi maritim Jokowi.
Langkah cepat Presiden dan para menteri membuat saya terhenyak dan
optimistis harapan besar yang dipertaruhkan setidaknya oleh 72 juta pemilih
Jokowi berpotensi terwujud. Hal ini akan lebih cepat jika saja seluruh
komponen masyarakat, khususnya pada kepala pemerintahan di daerah merespons.
Model kepemimpinan Jokowi adalah kepemimpinan yang diatributasi sederhana
namun tersampaikan pesannya, yaitu kerja, kerja, dan kerja. Rakyat selama ini
selalu dikesankan bahwa pemerintah menganut pola penyelesaian di atas meja,
sehingga persoalan dianggap selesai ketika masalah tersebut diangkat dalam
rapat kerja.
Sekarang, Jokowi memotret kondisi lapangan secara langsung dan pribadi
tidak menerima begitu saja laporan dari bawah. Pemimpin demikian menjadi
yakin dengan apa yang harus dilakukan sehingga strategi penyelesainnya tepat
dan akurat. Rakor hanya untuk memastikan bahwa keputusan ini benar dari
berbagai sudut pandang.
Kebiasaan ini kita saksikan saat menjabat Gubernur DKI Jakarta,
bagaimana Jokowi masuk ke gorong-gorong saluran air untuk mengetahui penyebab
banjir, datang ke Waduk Pluit melihat suasana kekumuhan dan riuh rendahnya
pengambilan aset negara, lalu melakukan langkah cepat menata ulang waduk
dalam waktu singkat. Begitu pula saat menata Pasar Tanah Abang, selama
puluhan tahun seolah tidak bisa dijamah pemerintah dan hanya dikuasai
segelintir preman.
Langkah-langkah Jokowi terbilang efektif dan jika direnungkan, justru
langkah tersebut sering dihindari para pemimpin pemerintahan di daerah karena
terlalu banyak konflik yang harus mereka kelola. Sosok Jokowi datang dengan
pendekatan yang menentramkan, ia mendengarkan sepenuhnya aspirasi rakyat yang
terlibat persoalan dan mencoba seoptimal mungkin membuat keputusan yang dapat
diterima oleh mereka tanpa mengurangi target keluaran pemerintah.
Tampaknya langkah Presiden dijadikan teladan para menterinya. Ada yang
meniru 100%, ada pula yang melakukan penyesuaian. ’’Plagiator’’ untuk ini
saya nilai positif, dimulai penggunaan baju putih panjang yang tidak
dimasukkan dan dilinting dua kali, merefeksikan kesederhanaan Jokowi dengan
menggunakan tiket pesawat kelas ekonomi, pengurangan ajudan, menghindari
hotel dan objek lain yang selama ini inheren dengan posisi menteri.
Dicerminkan dengan perilaku Presiden Jokowi, objek-objek inheren
tersebut saat ini menjadi bentuk arogansi penguasa dan memperkuat
keberpisahan pejabat dan rakyat makin menebal. Marhaenisme jadi laku pejabat,
memahami rakyat langsung dengan respons perilakunya.
Konsistensi
Kuat
Seharusnya asa sang pemimpin (Presiden Jokowi) menjadi spirit dan
kultur baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus kita jaga.
Terdapat tiga substansi penting yang menonjol dari langkah Jokowi selama 3
minggu menjabat presiden. Pertama; Jokowi sangat ”fit” menentukan
langkah-langkah prioritas sehingga bisa mempertebal kepercayaan investor dan
pebisnis untuk bertahan dan terus mengembangkan usaha mereka.
Kedua; konsistensinya sangat kuat dalam bersikap, terlihat dari
kesederhanaannya. Pakaian dan sepatu yang dipakai pun tidak berubah meskipun
sudah menjadi presiden. Ketiga; sikap dan langkah Presiden berorientasi
sepenuhnya pada kepentingan rakyat, tidak terbebani kepentingan pihak-pihak
tertentu atau diri sendiri yang dapat memperlambat keputusan. Contoh konkret
adalah keputusan membeli minyak langsung dari Angola, produsen minyak di
Afrika. Keputusan ini memangkas model pembelian melalui makelar. Dengan mengimpor
langsung 100 ribu barel per hari, dihemat Rp 15 triliun per tahun. Jika
kebutuhan impor BBM 800 ribu barel per hari, pemerintah menghemat Rp 15
triliun x 8 = Rp 120 triliun.
Model kepemimpinan Jokowi adalah salah satu teladan yang pantas menjadi
referensi para kepala daerah dan pejabat-pejabat birokrasi daerah. Namun,
akan lebih sempurna jika para pemimpin daerah mempunyai model kepemimpinannya
masing-masing. Pepatah mengatakan ”jadilah dirimu sendiri” yang berorientasi
sepenuhnya pada kehendak rakyat namun tidak hanya jadi pelayan rakyat tetapi
juga inspirator agar rakyat berpartisipasi memecahkan masalah bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar