Negara Hukum Bukan
Negara Undang-Undang
FX Adji Samekto ; Guru Besar Ilmu Hukum,
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 15 November 2014
“Seolah-olah
dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, tercapai upaya mewujudkan
negara hokum”
SEJUMLAH kejadian di atas panggung politik Indonesia setelah Pileg dan
Pilpres 2014 menunjukkan banyak legitimasi kepentingan yang dipaksakan dengan
peraturan perundang-undangan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
mengusulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial.
Seolah-olah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, tercapai sudah
upaya mewujudkan negara hukum. Ada anggapan bahwa penuangan kepentingan
melalui perundang-undangan sudah menyelesaikan persoalan dasar yuridis.
Sebenarnya kecenderungan memudahkan persoalan dengan menerbitkan
undang-undang sudah terjadi sejak Indonesia memasuki era reformasi 1998.
Hasil penelitian disertasi Dr Bayu Dwi Anggono dari Fakultas Hukum
Universitas Jember menyatakan bahwa tahun 1998-2013 di tingkat pusat telah
diterbitkan 428 undang-undang. Namun dia melihat indikasi tidak terpenuhinya
butir-butir muatan undang-undang.
Artinya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang tersebut, menurut
ketentuan hukum di Indonesia, sebenarnya bukan materi yang seharusnya diatur
lewat undang-undang. Terjadilah apa yang disebut hyperregulation. Fakta itu menunjukkan kesalahan cara berhukum di
negara kita, yang memperlakukan undang-undang layaknya sarana penjamin bahwa
segala sesuatunya telah sah karena telah dibuat peraturan hukumnya.
Temuan penelitian Bayu Dwi Anggono itu, bisa menunjukkan beberapa hal.
Pertama; cara berhukum di negara kita masih didominasi peraturan belaka.
Seolah-olah dengan menerbitkan perundang-undangan, sudah sah memenuhi
kualifikasi negara hukum. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, iktikad baik,
keadilan hukum,dan kebenaran kedaulatan rakyat, tidak menjadi acuan yang
melandasi. Padahal nilai-nilai itu tidak boleh dilepaskan dari sebuah aturan
hukum.
Kedua; perundang-undangan disusun tanpa dilandasi nilai-nilai dasar
hukum. Padahal penyusunan undang-undang —yang notabene adalah hukum— harus
selalu mendasarkan nilai-nilai (values)
tertentu yang bersifat metayuridis. Nilai-nilai itu adalah hal-hal abstrak
yang diyakini kebenarannya. Selain itu, dibangun berdasarkan perpaduan
pengalaman perjalanan suatu bangsa, berbasis realitas, dan perenungan
mengenai semua hal yang telah terjadi.
Ketiga; perundang-undangan disusun tanpa memperhatikan efektivitas.
Membicarakan efektivitas hukum adalah membicarakan implementasinya.
Membicarakan implementasi hukum, secara teori bukan sekadar menerbitkan
undang-undang lalu selesai. Kita juga harus mempersiapkan kelembagaan yang
melaksanakan dan menjaga ketaatan atas undang-undang itu, termasuk budaya
hukum yang mendukung pelaksanaan regulasi tersebut.
Realitasnya, kita banya menerbitkan undang-undang atau perda namun tak
berjalan efektif karena tidak ditopang budaya hukum yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Contoh paling nyata berkait dengan
penerbitan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Walaupun regulasi tersebut diberlakukan sejak 2009, hingga kini terlalu
banyak pelanggaran atas undang-undang itu, dan tak diikuti penegakan hukum
sebagaimana mestinya. Penyebabnya, karena tidak tumbuh kesadaran tentang
betapa penting melibatkan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan
pembangunan. Hal itu mencakup wawasan berpikir yang pada giliran akan
membentuk budaya hukum.
Mengukur
Manfaat
Sesungguhnya, negara hukum tak bisa disamakan dengan negara
undang-undang. Negara hukum bukan negara undang-undang. Ada dua unsur dalam
definisi negara hukum, yakni hubungan antara negara dan rakyat berdasarkan
hukum, bukannya berdasarkan kekuasaan. Kemudian, hukum yang dituangkan dalam
perundang-undangan, bukan hanya memenuhi syarat formal melainkan secara
materi juga dibangun berdasarkan nilai-nilai itu.
Peraturan perundang-undangan disebut memenuhi syarat formal bila proses
pembuatannya memenuhi syarat keterbukaan dan tidak memanfaatkan keterbatasan
waktu. Disebut memenuhi syarat material bila secara substansi dapat
dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan peraturan yang lebih tinggi. Yang
paling hakiki adalah bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan tiga nilai dasar
hukum: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Berdasarkan tiga nilai dasar hukum tersebut, tiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi sedikitnya lima kriteria. Pertama;
mencerminkan kehendak bersama. Kedua; disusun berdasarkan iktikad baik.
Ketiga; tidak memuat agenda tersembunyi, semisal menghancurkan pihak lain.
Keempat; tidak menyimpang dari nilai-nilai yang telah disepakati bersama
sehingga mendorong kepercayaan terhadap hukum. Kelima; bertujuan menciptakan
keadilan, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.
Saya menyuguhkan kriteria itu kepada sidang pembaca untuk digunakan
sebagai alat ukur. Artinya, kita bisa menilai sendiri apakah peraturan
perundang-undangan yang akhir-akhir ini banyak diwacanakan di media massa
setelah Pileg dan Pilpres 2014, bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Tentu
sebagai warga negara, pembaca berhak mengharapkan kehadiran Indonesia yang
lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar