Senin, 17 November 2014

Negara Hukum Bukan Negara Undang-Undang

         Negara Hukum Bukan Negara Undang-Undang

FX Adji Samekto  ;   Guru Besar Ilmu Hukum,
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  15 November 2014

                                                                                                                       


“Seolah-olah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, tercapai upaya mewujudkan negara hokum

SEJUMLAH kejadian di atas panggung politik Indonesia setelah Pileg dan Pilpres 2014 menunjukkan banyak legitimasi kepentingan yang dipaksakan dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial. Seolah-olah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, tercapai sudah upaya mewujudkan negara hukum. Ada anggapan bahwa penuangan kepentingan melalui perundang-undangan sudah menyelesaikan persoalan dasar yuridis.

Sebenarnya kecenderungan memudahkan persoalan dengan menerbitkan undang-undang sudah terjadi sejak Indonesia memasuki era reformasi 1998. Hasil penelitian disertasi Dr Bayu Dwi Anggono dari Fakultas Hukum Universitas Jember menyatakan bahwa tahun 1998-2013 di tingkat pusat telah diterbitkan 428 undang-undang. Namun dia melihat indikasi tidak terpenuhinya butir-butir muatan undang-undang.

Artinya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang tersebut, menurut ketentuan hukum di Indonesia, sebenarnya bukan materi yang seharusnya diatur lewat undang-undang. Terjadilah apa yang disebut hyperregulation. Fakta itu menunjukkan kesalahan cara berhukum di negara kita, yang memperlakukan undang-undang layaknya sarana penjamin bahwa segala sesuatunya telah sah karena telah dibuat peraturan hukumnya.

Temuan penelitian Bayu Dwi Anggono itu, bisa menunjukkan beberapa hal. Pertama; cara berhukum di negara kita masih didominasi peraturan belaka. Seolah-olah dengan menerbitkan perundang-undangan, sudah sah memenuhi kualifikasi negara hukum. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, iktikad baik, keadilan hukum,dan kebenaran kedaulatan rakyat, tidak menjadi acuan yang melandasi. Padahal nilai-nilai itu tidak boleh dilepaskan dari sebuah aturan hukum.

Kedua; perundang-undangan disusun tanpa dilandasi nilai-nilai dasar hukum. Padahal penyusunan undang-undang —yang notabene adalah hukum— harus selalu mendasarkan nilai-nilai (values) tertentu yang bersifat metayuridis. Nilai-nilai itu adalah hal-hal abstrak yang diyakini kebenarannya. Selain itu, dibangun berdasarkan perpaduan pengalaman perjalanan suatu bangsa, berbasis realitas, dan perenungan mengenai semua hal yang telah terjadi.

Ketiga; perundang-undangan disusun tanpa memperhatikan efektivitas. Membicarakan efektivitas hukum adalah membicarakan implementasinya. Membicarakan implementasi hukum, secara teori bukan sekadar menerbitkan undang-undang lalu selesai. Kita juga harus mempersiapkan kelembagaan yang melaksanakan dan menjaga ketaatan atas undang-undang itu, termasuk budaya hukum yang mendukung pelaksanaan regulasi tersebut.

Realitasnya, kita banya menerbitkan undang-undang atau perda namun tak berjalan efektif karena tidak ditopang budaya hukum yang mendukung keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Contoh paling nyata berkait dengan penerbitan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Walaupun regulasi tersebut diberlakukan sejak 2009, hingga kini terlalu banyak pelanggaran atas undang-undang itu, dan tak diikuti penegakan hukum sebagaimana mestinya. Penyebabnya, karena tidak tumbuh kesadaran tentang betapa penting melibatkan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Hal itu mencakup wawasan berpikir yang pada giliran akan membentuk budaya hukum.

Mengukur Manfaat

Sesungguhnya, negara hukum tak bisa disamakan dengan negara undang-undang. Negara hukum bukan negara undang-undang. Ada dua unsur dalam definisi negara hukum, yakni hubungan antara negara dan rakyat berdasarkan hukum, bukannya berdasarkan kekuasaan. Kemudian, hukum yang dituangkan dalam perundang-undangan, bukan hanya memenuhi syarat formal melainkan secara materi juga dibangun berdasarkan nilai-nilai itu.

Peraturan perundang-undangan disebut memenuhi syarat formal bila proses pembuatannya memenuhi syarat keterbukaan dan tidak memanfaatkan keterbatasan waktu. Disebut memenuhi syarat material bila secara substansi dapat dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan peraturan yang lebih tinggi. Yang paling hakiki adalah bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan tiga nilai dasar hukum: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Berdasarkan tiga nilai dasar hukum tersebut, tiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi sedikitnya lima kriteria. Pertama; mencerminkan kehendak bersama. Kedua; disusun berdasarkan iktikad baik. Ketiga; tidak memuat agenda tersembunyi, semisal menghancurkan pihak lain. Keempat; tidak menyimpang dari nilai-nilai yang telah disepakati bersama sehingga mendorong kepercayaan terhadap hukum. Kelima; bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.

Saya menyuguhkan kriteria itu kepada sidang pembaca untuk digunakan sebagai alat ukur. Artinya, kita bisa menilai sendiri apakah peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini banyak diwacanakan di media massa setelah Pileg dan Pilpres 2014, bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Tentu sebagai warga negara, pembaca berhak mengharapkan kehadiran Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar