Rabu, 12 November 2014

Mengawasi Arah Gerakan Ormas

Mengawasi Arah Gerakan Ormas

Agung SS Widodo  ;  Peneliti Sosial-Politik,
Bekerja di Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)
SATU HARAPAN, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Keberadaan Front Pembela Islam (FPI) tampaknya akhir-akhir ini menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian masyarakat. Setiap aksi yang dilakukan oleh FPI disinyalir selalu berujung pada kekerasan dan bentrok.

Memang hal ini tidak bisa dipungkiri. Sejumlah fakta menampilkan adanya bentrok antara massa FPI dengan aparat keamanan. Situasi seperti ini tak urung menimbulkan reaksi dari Pemerintah untuk segera menertibkan dan memberikan teguran keras kepada ormas-ormas (agama dan non-agama), termasuk salah satunya FPI. Sebenarnya ini hanya contoh kasus saja, karena diluar FPI pun sejatinya masih banyak ormas-ormas yang ‘melegalkan’ kekerasan dalam aksinya.

Sengkarut ormas ini kemudian memunculkan diskurs panjang mengenai bagaimana seharusnya ormas melakukan fungsi dan perannya sebagaimana di atur dalam UU Ormas. Wacana pembubaran ormas pun menjadi fokus pembicaraan yang tidak bisa diindahkan, terutama bagi ormas-ormas yang memang dianggap telah meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran publik.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, efektifkah opsi pembubaran itu? Bukankah sebenarnya letak persoalannya ada pada sisi moralitas si pelaku? Sangat mungkin jika ormas dibubarkan maka mereka akan mendirikan ormas baru dan pemerintah tidak bisa melarang karena namanya sudah beda dan bukan ormas yang dibubarkan sebelumnya. Ini ibarat acara ‘empat mata’ yang dilarang oleh Komisi Penyiaran, namun kemudian berubah menjadi “bukan empat mata”, dan tidak ada larangan sama sekali.

Menurut hemat penulis, pemerintah sebaiknya memberikan pendampingan dan pengarahan kepada setiap ormas agar menjadi mitra pemerintah dalam memberdayakan masyarakat, sebagaimana tersurat dalam UU Ormas Pasal 5. Ormas didirikan tidak lain untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menjaga nilai-nilai dan norma yang hidup di masyarakat dan bersama Pemerintah mewujudkan tujuan Negara. Pada konteks inilah seharusnya menjadi pemahaman kita bersama, terutama ormas, bahwa tugas utama ormas tidak lain menjadi patner Pemerintah untuk dalam melayani masyarakat.

Dalam beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas, memang seharusnya pemerintah segera melakukan upaya preventif dan persuasif. Tindakan-tindakan kuratif yang diambil oleh aparat keamanan kadang kala justru menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, salah satunya perlawanan. Untuk itu, semua harus kembali pada amanat konstitusional yang telah ditetapkan, dalam konteks ini UU Ormas, yakni mengedepankan pencapaian atas tujuan bersama.

Adapun berkaitan dengan upaya persuasif dan memediasi ormas, ada beberapa hal yang sepatutnya dilakukan oleh pemerintah. Pertama, sejak awal pemerintah harus malakukan check and balance atas kemunculan ormas-ormas baru, Check and balance ini meliputi hal-hal yang bersifat fisik maupun non-fisik (visi-misi). Hal ini untuk memastikan bahwa ormas tersebut benar-benar berjalan pada norma hukum yang berlaku, sebagaimana telah diatur dalam UU Ormas.

Kedua, perlunya pendampingan dan pendidikan (diklat) yang dilakukan oleh pemrintah kepada setiap ormas dalam menjalankan aktivitasnya. Tentunya dalam konteks ini bukan kemudian dimaknai sebagai pengekangan atas hak-hak ormas, akan tetapi lebih pada penyiapan diri anggota ormas agar mampu berjalan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Pun, jika sudah dianggap cukup, pemerintah harus berani mendorong ormas untuk mandiri dan berkarya.

Ketiga, pemerintah harus terus memberikan ruang dan kesempatan bagi ormas yang mengekspresikan tujuannya. Di sinilah sebenarnya setiap ormas diuji, bisakah mengartikulasikan kepentingan publik dan mengadvokasinya secara baik dan benar, ataukah sebaliknya, menjadi ajang bagi ormas untuk melakukan tindakan anarkis dengan mengatasnamakan kebebasan berserikat-berkumpul dan menyuarakan kepentingan publik. Untuk itu pada tahap ini yang paling dibutuhkan adalah adanya komunikasi dan saling pengertian di antara elemen (stakeholder) yang terlibat, utamanya pemerintah dan ormas.

Jika ketiga hal tersebut dapat berjalan dengan baik niscaya ormas akan menjadi salah satu bagian dari pilar demokrasi yang membawa angin segar bagi perbaikan demokrasi negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar