Revolusi
Mental demi Indonesia Rumah bagi Semua
Woro Wahyuningtyas ; Penggiat
Keberagaman, Bekerja sebagai Direktur Program JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga
Pelayanan Kristen) Indonesia
|
SATU
HARAPAN, 27 Oktober 2014
Jokowi telah sah menjadi Presiden ke-7 Republik Indonesia.
Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta yang tersebar di 13 lebih
pulau yang terbentang dari Pulau Sabang sampai Merauke, Papua, dan terdiri
lebih dari 300 kelompok etnis. Tentu tidak mudah memimpin bangsa sebesar ini
dengan segala bentuk keberagamanannya. Pertanyaan besarnya adalah, apakah
Jokowi dengan latar belakang “ndeso” dan sederhana ini mampu memimpin bangsa
ini?
Di luar pertanyaan yang penuh keraguan itu, kegembiraan jelas
terpancar saat hari monumental tanggal 20 Oktober 2014, saat Presiden ke-7 RI
dilantik oleh DPR RI. Ratusan ribu manusia memadati sepanjang Sudirman sampai
dengan Monas untuk merayakan kegembiraan dalam acara yang disebut pesta
Rakyat. Semua orang dari seluruh kalangan “tumpek blek” dalam pesta tersebut.
Kejadi ini menjadi pemecah rekor, di mana ada ratusan ribu manusia mengarak
Presidennya ke Istana Negara. Mengutip yang dikatakan Jokowi dalam debat
Capres Cawapres yang lalu, demokrasi adalah kegembiraan bukan ketakutan. Di
momen inilah, Jokowi menunjukkan bahwa demokrasi adalah sebuah kegembiraan.
Demokrasi Kegembiraan
Kata ini jauh dari sejumlah definisi demokrasi yang selama ini
kita pahami. Definisi demokrasi ini lahir dari seorang Presiden ke-7 RI. Kita
semua bisa melihat secara langsung betapa kegembiraan ini mengalir dan tumpah
ruah dengan adanya arak-arakan dan pesta Rakyat kemarin. Pun sampai pada
konser inaugurasi yang dimotori oleh relawan Jokowi yang berprofesi sebagai
musisi. Semua orang yang di sana gembira, pun kami yang hanya bisa menikmati
kegembiraan melalui layar televisi. Di beberapa daerahpun, kegembiraan ini
juga muncul dan kita bisa merasakan aura kegembiraan ini melalui media walau
secara fisik kita tidak bersama dengan mereka.
Kegembiraan ini melahirkan haru yang sangat untuk beberapa
orang, tepat di saat prosesi pelantikan Jokowi menjadi Presiden RI ke-7.
Kelompok pengguna internet, atau lazim disebut “netizen” dengan antusias
menyambut pemerintahan baru ini. Hastag (tagar) yang muncul #jokowipresiden
yang mulai digunakan sejak 20 Oktober 2014 pagi jelang pelantikan menembus
trending topics di Indonesia, bahkan di dunia (Kompas, 21 Oktober 2014).
Pasar pun juga bergembira atas lahirnya pemimpin baru ini. Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG) sempat
menembus level psikologis 5.100 pada 40 menit awal perdagangan di BEI. Nilai rupiah menguat naik 181 poin menurut
kurs tengah BI. Sebuah harapan baru, kegembiraan ini akan diikuti dengan
kebijakan ekonomi Jokowi ke depan.
Revolusi Mental dan
Keberagaman Indonesia
Istilah revolusi mental menjadi sangat popular, saat Presiden
ke-7 ini sering mengatakan dalam setiap kesempatan sebelum menjadi Presiden.
Dalam konsep revolusi mental yang disebarkan kepada publik menjelang
pemilihan capres cawapres yang lalu, konsep revolusi mental ala Jokowi ini
berisi soal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Berbudi dan
Pekerti Luhur serta Pendidikan Demokrasi dan Sadar Hukum. Melalui pilar
tersebut, pemerintahan Jokowi berharap terjadi perubahan mental seluruh warga
Negara melalui jalan revolusi. Tentu bukan barang yang mudah dilakukan dalam
konteks Indonesia. Perlu disiapkan kabinet dan program untuk bisa mencapai
output tersebut.
Walaupun Pancasila menjadi pilar tertinggi dalam konsep revolusi
mental ala Jokowi, namun sepertinya belum terlalu jelas dan menjadi fokus
pemerintahan mendatang soal keberagaman dalam konteks agama dan kepercayaan.
Dalam visi misi Jokowi –JK yang secara resmi masuk ke KPU (www.kpu.go.id),
ada sembilan agenda prioritas yang ingin dilaksanakan dalam pemerintahan ke
depan. Salah satu agenda yang erat hubungannya dengan keberagaman ada di poin
paling bontot, yaitu “Kami akan memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat
Restorasi Sosial Indonesia”. Dalam hal ini, para pejuang toleransi bisa
sedikit bernafas lega karena walaupun menduduki posisi paling akhir, soal
keberagaman ini menjadi salah satu dari sembilan agenda prioritas
pemerintahan ke depan.
Dalam komintmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang
berkeadilan pemerintahan ke depan memiliki 42 poin prioritas yang akan
dilakukan. Salah satu dari 42 poin tersebut berbunyi, “Kami akan memberikan
jaminan perlindungan dan hak kebebasan dan berkeyakinan serta melakukan
langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama”.
Jika revolusi mental yang hendak menjadi pondasi serta landasan
dalam pemerintahan Jokowi ke depan, masih ada harapan untuk kehidupan
keberagaman di Indonesia. Tertulis jelas dalam visi-misi dan agenda prioritas
yang akan dilakukan ke depan. Jadi, tidaklah sesuatu yang utopis jika Jokowi
disebut “The New Hope” dalam konteks Indonesia sekarang, juga dalam konteks
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kita akan melihat langkah-langkah progresif pemerintahan Jokowi
ke depan dalam soal ini. Walaupun dalam pidato 7 menitnya pada pidato kerakyatan, tidak ada satupun
kata yang keluar mengenai keberagaman, toleransi ataupun kebebasan beragama.
Saatnya kita menarik diri, untuk menjadi mitra kritis Jokowi untuk mewujudkan
Revolusi Mental demi Indonesia, Rumah bagi semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar