Senin, 17 November 2014

Memperbaiki Kualitas Belanja

                                  Memperbaiki Kualitas Belanja

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan
KORAN JAKARTA,  17 November 2014
                                                                                         
                                                                                                                       


Dalam pertemuan dengan para analis pasar dan pengamat ekonomi, Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro, menekankan perlunya meningkatkan kualitas belanja pemerintah guna mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Selain itu, perlu memperbaiki komposisi belanja karena masih condong konsumtif, tidak produktif. Beban subsidi yang masih tinggi dibanding belanja infrastruktur harus dibenahi. Tahun lalu saja masih dua kali lipat.

Perbaikan belanja tersebut diharapkan mampu mengakselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di berbagai bidang. Dalam jangka pendek, APBN 2015 mungkin dapat menjadi pendukung utama. APBN harus menjadi engine of growth dengan belanja berkualitas.

Hingga 29 Agustus 2014, realisasi belanja negara mencapai 55,9 persen atau sekitar 1.049 triliun rupiah dari pagu 1.876,9 triliun APBN-P 2014. Dari besaran tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat 53,4 persen (683,9 triliun). Antara lain untuk bayar utang 63,6 persen (86,2 triliun) dari pagu 135,5 triliun rupiah.

Kemudian untuk subsidi 248,5 triliun, pegawai (164,8), bantuan sosial (51,4) dan belanja barang (82,6). Belanja modal hanya 48,6 triliun. Ini harus menjadi keprihatinan bersama. Realisasi tersebut hampir sama dengan tahun lalu. Bahkan, bila ditengok data lima tahun ke belakang pun, pola realisasi belanja negara masih sama. Secara teori, di beberapa negara berkembang, belanja modal pemerintah berperan utama.

Persoalan makin menarik bila dilihat rillis World Economic Forum (WEF) soal Global Competitiveness Report 2014-2015 yang menaikkan daya saing Indonesia ke posisi 34 dari 144 negara karena dua tahun lalu masih di level 50.

Sejarah daya saing Indonesia dibanding jumlah negara adalah 54/133 (2009), 44/139 (2010). Posisi tersebut merosot di tahun 2011 di level 46 serta 50 tahun 2012. Dengan beberapa perbaikan, tahun 2013 posisi Indonesia naik ke peringkat 38. Posisi ini membuat Indonesia kembali diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia.

Sebelumnya, Bank Dunia melaporkan Indonesia masuk 10 besar ekonomi dunia berdasarkan metode perhitungan purchasing power parity (PPP). Ini wajar karena pertumbuhan rata-rata 5,8 persen dalam 10 tahun terakhir, pengelolaan ekonomi makro yang makin prudent, dan kualitas pertumbuhan inklusif berkelanjutan. Tapi masih ada kesenjangan beberapa faktor dan indikator daya saing.

Korupsi

Secara umum, penilaian indikator infrastruktur dan konektivitas di posisi 56. Kualitas hubungan pemerintah dan swasta melompat hingga 14 peringkat di posisi 53. Begitu pula indikator efisiensi pemerintahan di ranking 36. Sayang, korupsi dinyatakan masih dalam kondisi membahayakan (level 87).

Persoalan defisit anggaran juga masih membebani indikator makro-ekonomi. Sebagai sebuah indikator, kemampuan mengelola defisit anggaran ini memang sering dijadikan tolok ukur kinerja utama pemerintah. Defisit yang terkendali tentu memberi ruang gerak besar pemerintah. Sebaliknya, defisit yang bergejolak, selain membahayakan kondisi stabilitas fiskal, menimbulkan potensi penarikan pembiayaan utang luar negeri.

Lima tahun terakhir, kemampuan mengendalikan defisit anggaran sebetulnya relatif memuaskan. Tahun 2007, misalnya, defisit anggaran terjaga di level 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau senilai 50,1 triliun. Selanjutnya tahun 2009 ( 1,6 persen) atau 88,6 triliun. APBN-P 2011 pun mencatat realisasi defisit anggaran 2,1 persen. Tahun lalu 2,38 persen dan 2014 sebesar 1,69 persen.

Problem lain, pasar tenaga kerja Indonesia turun sampai 7 peringkat di posisi 110, dengan tingkat partisipasi pekerja wanita menempati peringkat 112. Kemudian masalah kesehatan publik. Wabah dan kematian anak yang masih tinggi, menjadikan Indonesia berada di level yang sama dengan kawasan sub-Sahara Afrika, di peringkat 99. Kesiapan teknologi juga tergolong rendah, di peringkat 77. Sedang aspek penggunaan teknologi 94.

Jika dianalisis secara mendalam, rekomendasi WEF menyebutkan di sejumlah indikator menunjukkan perbaikan mengesankan. Lainnya justru mengkhawatirkan. Beberapa indikator justru memperlihatkan kesan kebalikan. Contoh untuk efisiensi pemerintah dan korupsi yang menjadi hambatan tertinggi dalam berbisnis di Indonesia. Hal ini ditambah instabilitas kebijakan, persoalan hukum, serta rendahnya kualitas SDM.

Jadi, peningkatan kualitas belanja pemerintah memegang peran penting dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi. Rendahnya realisasi penyerapan anggaran pemerintah tentu bukan bentuk dukungan yang memadai bagi upaya mendongkrak posisi daya saing bangsa. Begitu pula kinerja aparat pemerintah yang masih melestarikan budaya birokrasi berbelit-belit dan administrasi ”serbasulit”.

Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Presiden di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanyalah satu dari serangkaian niat tulus pemerintah untuk terus memperbaiki iklim usaha yang pro-investasi demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Kementerian/lembaga (K/L) yang belum maksimal dalam menjalankan tugasnya juga harus terus dievaluasi, khususnya yang terkait dengan misi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Reformasi juga perlu dilakukan di dalam sistem penganggaran. Asumsi anggaran besar akan mendorong kinerja lebih baik, tidak 100 persen tepat. Untuk K/L yang sudah beranggaran besar, tapi kinerjanya tidak bagus, pemerintah harus berani menghukum.

Kegagalan dalam menciptakan kinerja pelayanan publik andal dapat dianggap sebagai bentuk ketidakberhasilan pemerintah mengemban amanat masyarakat. Kolombia pernah menerapkan mekanisme ini. Wali Kota Kolombia dipaksa turun oleh parlemen dan masyarakat karena dianggap gagal melayani secara prima terkait pengelolaan sampah kota.

Andai ini dapat diterapkan di sini, besar kemungkinan para pemimpin publik berlomba-lomba melayani masyarakat secara optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar