Urgensi
Kolom Agama
Suhardi ; Mahasiswa Program Doktoral UIN Suska Riau,
Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia
|
HALUAN,
15 November 2014
Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tentang memperbolehkan
pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda penduduk (KTP) menuai pro dan
kontra. Wacana pengosongan yang semula berlaku bagi pemeluk agama yang tidak
diakui negara, bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Polemik ini
terus bergulir di masyarakat dan memunculkan berbagai pendapat. Benarkah
kolom agama di KTP memiliki urgensi bagi masyarakat dan negara?
Setidaknya
ada beberapa alasan pentingnya kolom agama pada KTP.
Pertama, tertib adminstrasi. Sebagai sebuah organisasi besar, negara
harus memiliki tertib administrasi. Salah satunya adalah yang berkaitan
dengan identitas penduduk, termasuk agama dari penduduk tersebut. Hal ini
menjadi penting bagi Indonesia yang menganut berbagai macam agama, terutama
agama Islam.
Sebab akan berkolerasi penting dengan beberapa
administrasi di lapangan. Seperti pernikahan, waris dan masalah adopsi anak.
Apabila kolom agama dihapuskan, akan terjadi kesulitan dalam administrasi.
Walau pihak yang menolak kolom agama dicantumkan di KTP melihat ini hal tak
penting, sebab bisa diantisipasi dengan kebijakan lain. Tapi, itu sejatinya
akan memperumit dan mempersulit tertib administrasi.
Kedua, legalitas hukum, di mana agama yang dianut seseorang akan berkolerasi penting terhadap tindakan
hukum yang dilakukannya. Sebab di Indonesia hukum tertulis (lex scripta) menjadi penting
dalam upaya penegakkan dan kepastian hukum itu sendiri. Seperti dalam kasus
pernikahan seorang muslim, identitas agama pada KTP masih dijadikan bukti
otentik untuk menentukan agama yang dipeluknya sebelum menikah. Artinya bukti
tertulis adalah penting sebagai legalitas seseorang sebagai subjek dan objek
hukum.
Ketiga, manfaat, artinya keberadaan kolom agama akan mendatangkan
manfaat, baik bagi pemilik identitas maupun negara. Bila kolom agama dihapus,
akan terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi agama seseorang. Dan ini
beresiko dan menambah kerumitan. Sebagai contoh, apabila dalam pernikahan
ditemukan pengantin yang tidak bisa membaca alqur’an dan diragukan agama
Islamnya.
Atau dalam masalah hak perlindungan dan hak asuh anak. Di
mana seorang anak muslim harus diasuh pula oleh keluarga yang menganut agama
yang sama dengan anak tersebut. Bila kondisi
terjadi, bagaimana mengidentifikasi agamanya?
Salah-salah dalam mengidentifikasi agama bisa berimplikasi negatif dan
menimbulkan ketersinggungan pihak-pihak yang merasa diragukan identitas
agamanya.
Keempat, identitas negara, kolom agama adalah identitas negara yang
berketuhanan. Ketuhanan dan agama secara konseptual adalah merupakan
pemahaman bahwa penduduk negara Indonesia bertuhan diwujudkan dalam bentuk
negara. Pakar hukum tata negara Lauddin Marsuni menyebutkan bahwa ketuhanan
dan agama adalah identitas, oleh sebab itu penduduk sebagai salah satu unsur
negara mutlak menunjukkan identitas ketuhanan dengan wujud agama sebagai
identitas. Berpijak pada argumentasi yuridis konstitusional, agama adalah
identitas negara dan identitas penduduk. Artinya mengisi keterangan agama
pada KTP adalah suatu kemutlakan.
Kelima, keamanan negara, hal ini penting untuk dicermati, sebab
mengosongkan kolom agama akan berpotensi tumbuh suburnya aliran-aliran atau
sekte dalam agama. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebutnya akan menumbuhsuburkan
atheisme dan aliran-aliran yang belum tentu sejalan dengan Pancasila. Dan
bila terjadi akan menyebabkan persinggungan agama, dan ini berpotensi
menyulut konflik antar umat beragama. Kondisi seperti ini sangat
berbahaya bagi keamanan negara. Sebab masalah agama adalah masalah yang
sangat sensitif. Salah dalam menanganinya akan berujung pada konflik sosial.
Dan dalam berbagai konflik di tanah air dan dunia, konflik agama adalah yang
paling sulit dicarikan solusinya.
Melihat pelbagai faktor di
atas, penulis melihat kolom agama dan pengisiannya sangat urgen bagi bangsa
Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara yang berketuhanan dan itu
merupakan identitas negara dan kekhasan Indonesia. Menjadi ironi, bila niat mengosongkan dan penghapusan kolom
agama sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi, ternyata melahirkan
diskriminasi baru. Ketua PB NU Said Aqil Siraj menyebutnya sebagai sebuah
kebijakan yang mencederai perasaan umat beragama di Indonesia. Apalagi menimbulkan
kegaduhan-kegaduhan di masyarakat. Bukankah selama ini Undang-undang yang
mengatur tentang administrasi kependudukan telah berjalan dengan baik.
Bila
terjadi diskriminasi dengan mencantumkan kolom agama, bukan kolom agama yang
dihapus. Tapi dengan pemberian pemahaman yang benar terhadap orang yang
melakukan diskriminasi.
Adalah penting untuk kita
melihat sesuatu dengan objektif tanpa kepentingan politik golongan tertentu.
Sebab isu pengosongan dan penghapusan kolom agama sebagaimana yang diungkapkan
ketua MUI Din Syamsudin ditenggarai dilakukan oleh pihak tertentu yang
punya hidden agenda. Kalaulah benar,
tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Sebab
persoalan ini
sejatinya telah diselesaikan oleh para fouding father, yang dengan kasat
mata kita bisa membaca bahwa negara ini dibangun atas
dasar ketuhanan. Sebagaimana yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Membandingkan negara kita
dengan negara yang tidak punya sejarah bangsa seperti Indonesia adalah
tindakan yang tidak bijak, dan hanya akan memperkeruh harmonisasi agama
selama ini. Bukankah Indonesia menjadi contoh bagi dunia bagaimana demokrasi
dan toleransi beragama tumbuh dengan baik. Oleh karena itu demokrasi tidak seharusnya dimaknai dengan membongkar semua
tataran yang telah diputus secara bijak oleh para pendiri bangsa. Mengutip ungkapan Soekarno, “ jangan melupakan sejarah”,
semoga bangsa ini menjadi bangsa yang arif dan bisa menghargai bagaimana
sejarah bangsa ini dilahirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar