Memo
Kerja Menristek dan Dikti
Sudaryanto ; Dosen
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
11 November 2014
Agar berimbang, setelah melayangkan memo kerja untuk Anies Baswedan
(Haluan, 30/10), kali ini penulis
ingin melayangkan hal serupa untuk Mohammad Nasir, PhD sebagai Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). Seusai dilantik oleh
Presiden Jokowi pada Senin (27/10) lalu, doktor lulusan Universiti Sains
Malaysia, Penang itu resmi menjadi orang nomor satu di kementerian baru di
kabinet Jokowi-JK. Apa-apa saja memo untuknya?
Pertama, perlunya merintis
program magister (S-2) dan doktoral (S-3) jalur riset (by research) di lingkup PPs/SPs di
Tanah Air. Sebagai proyek percontohan, program tersebut diprioritaskan
terlebih dahulu bagi para dosen PTN/PTS. Sementara bagi peserta didik
lainnya, seperti guru dan kalangan umum, program S-2 dan S-3 jalur riset tak
berlaku. Selain itu, program S-2 dan S-3 jalur riset juga diproritaskan bagi
program studi PPs/SPs yang telah terakreditasi “A”.
Ada sejumlah alasan yang bisa
dikemukakan. Pertama, dari segi waktu studi lanjut, program S-2 dan S-3 jalur
riset dianggap lebih singkat. Misalnya, program S-2 ditempuh 1-1,5 tahun
(2-3 semester) dan S-3 2-2,5 tahun (4-5 semester). Kedua, para dosen yang
mengikuti program S-2 dan S-3 jalur riset dikondisikan untuk lebih siap
riset sejak awal. Jadi, proposal riset tesis dan disertasi menjadi salah satu
syarat penilaian awal masuk-tidaknya dalam program tersebut.
“Shock Therapy”
Program S-2 dan S-3 jalur riset
telah dilakukan oleh sejumlah PT di luar negeri, seperti halnya Malaysia. Di
Universiti of Malaya (UM), Malaysia, misalnya, ada tawaran program S-3 jalur
riset (by research) dan
program S-3 jalur kuliah dan riset (by
coursework and research). Bagi para lulusan S-2
dalam negeri tatkala mengetahui adanya program S-3 jalur riset di PT luar
negeri, hal itu menjadi semacam “shock
therapy” tersendiri. Apa pasal?
Sebab, program S-2 dan S-3
jalur riset tidak ada/dikenal di PT dalam negeri. Universitas terbaik
sekaliber Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM)
sampai saat ini belum memiliki program S-2 dan S-3 jalur riset (by research) seperti halnya di PT-PT
Malaysia. Untuk itu, sebagai lulusan doktor dari PT Malaysia, seorang Mohammad
Nasir perlu kiranya menggagas program S-2 dan S-3 jalur riset di PT-PT dalam
negeri.
Kedua, perlunya mendorong para
mahasiswa S-2 dan S-3 PPs/SPs di PT dalam negeri untuk rutin melakukan publikasi
ilmiah di jurnal terakreditasi, baik nasional maupun internasional. Ada
cerita menarik dari rekan saya saat menempuh studi S-2 di Universiti Tun
Husein Onn, Malaysia. Katanya, bersama teman-teman sekelas dan dibimbing oleh
promotornya yang berjabatan akademik profesor, ia menjadi lebih produktif
menulis di jurnal-jurnal internasional.
Selain itu, dia juga bilang,
menulis di jurnal-jurnal internasional dapat mengangkat nama universitas
tempat ia menempuh S-2 sekaligus tempat ia bekerja saat ini, Universitas
Ahmad Dahlan. Ia juga senang telah mendapat insentif tambahan dari UAD atas
produktivitasnya menulis di jurnal-jurnal internasional. Hemat saya, kisah
rekan saya itu semestinya juga dapat diikuti oleh seluruh mahasiswa S-2 dan
S-3 PPs/SPs di PT dalam negeri.
Hanya saja, untuk mewujudkan
harapan di atas, diperlukan beberapa syarat, seperti kualitas dan kuantitas
dosen pembimbing berjabatan profesor, serta sarana dan prasarana kampus yang
memadai. Secara kualitas, tidak semua profesor yang ada saat ini memiliki
produktivitas yang tinggi dalam hal publikasi ilmiah di jurnal-jurnal internasional,
kecuali beberapa orang saja. Juga tidak semua profesor kita memiliki
pengalaman luas dalam hal membimbing mahasiswa S-2 dan S-3.
Selain itu, sarana dan
prasarana kampus, khususnya bahan bacaan berupa buku dan jurnal, serta akses
internet, belum terbilang memadai. Di PPs UNY, misalnya, seorang mahasiswa
S-2 boleh meminjam maksimal 3 buku untuk durasi 2 minggu; sedangkan
mahasiswa S-2 di PT Malaysia boleh meminjam maksimal 20 buku untuk durasi
sebulan. Bagai bumi dan langit, itulah perumpamaan yang tepat antara sarana
dan prasarana kampus di Tanah Air dan di Malaysia.
Bukan
“Profesor-profesoran”
Ketiga, perlunya mengevaluasi
ulang para dosen yang telah berjabatan akademik profesor. Seperti kata Prof
Terry Mart (UI), profesor merupakan jabatan akademik, bukan jabatan
hadiah semata. Oleh karena itu, lanjut Terry, diperlukan sistem yang jelas
bagi para dosen untuk memperoleh sekaligus mempertahankan jabatan
tersebut. Di sini, seorang Mohammad Nasir dituntut untuk berperan penting
dalam rangka evaluasi kinerja para profesor kita saat ini.
Sebagai usulan, perlu kiranya
aturan jabatan profesor dibagi ke dalam dua jenjang, yaitu profesor madya (associate profesor) dan profesor
purna seperti halnya di Malaysia dan Tiongkok. Usai meraih gelar doktor,
seorang dosen perlu waktu untuk memenuhi persyaratan sebagai profesor madya.
Misalnya, ia harus menulis sejumlah publikasi (buku, jurnal, kertas kerja,
dsb), dan/atau harus mampu membimbing sekian jumlah mahasiswa S-2 dan S-3.
Jujur saja, tak sedikit
profesor kita saat ini yang saat pengukuhannya selalu dibayang-bayangi
berbagai tanda tanya. Apakah ia pernah menulis buku? Apakah ia rutin menulis
di jurnal terakreditasi nasional dan internasional? Apakah ia pernah
membimbing mahasiswa S-3, baik sebagai promotor maupun ko-promotor? Dan
seterusnya. Berbagai pertanyaan itu tetap membayang-bayangi para profesor,
sejauh mereka tetap mengemban jabatan akademik itu.
Melalui usulan aturan dan
pertanyaan di atas, kita pun berharap agar tidak ada lagi
“profesor-profesoran” yang bikin hati ironi dan prihatin. Seperti yang
terjadi lalu-lalu, ada seorang profesor dari PTN di Pekanbaru, Riau telah memplagiat
buku terbitan penerbit nasional terkemuka, juga seorang profesor dari PTS di
Bandung, Jawa Barat telah memplagiat artikel penulis dari Australia dan
mengirimkannya ke media nasional berbahasa Inggris terbitan Jakarta.
Akhir kata, kinerja Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam kurun lima tahun mendatang
penuh kendala yang tidak kecil. Di tangan Bung Nasir dan jajarannya
tergenggam pertanyaan: apakah mutu PT-PT nasional kian lebih baik? Untuk itu,
usulan program S-2 dan S-3 jalur riset, publikasi ilmiah mahasiswa S-2 dan
S-3, serta evaluasi para profesor layak dipertimbangkan menjadi memo kerja
Anda, Bung Nasir. Selamat bekerja, Bung.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar