Rabu, 12 November 2014

Memo Kerja Menristek dan Dikti

Memo Kerja Menristek dan Dikti

Sudaryanto  ;  Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Agar berimbang, se­telah melayangkan memo kerja untuk Anies Baswedan (Haluan, 30/10), kali ini penulis ingin melayangkan hal serupa untuk Mohammad Nasir, PhD sebagai Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menris­tekdikti). Seusai dilantik oleh Presiden Jokowi pada Senin (27/10) lalu, doktor lulusan Universiti Sains Malaysia, Penang itu resmi menjadi orang nomor satu di kemen­terian baru di kabinet Jokowi-JK. Apa-apa saja memo untuknya?
Pertama, perlunya merintis program magister (S-2) dan doktoral (S-3) jalur riset (by research) di lingkup PPs/SPs di Tanah Air. Sebagai proyek percontohan, program tersebut diprioritaskan terlebih dahulu bagi para dosen PTN/PTS. Sementara bagi peserta didik lainnya, seperti guru dan kalangan umum, program S-2 dan S-3 jalur riset tak berlaku. Selain itu, program S-2 dan S-3 jalur riset juga diproritaskan bagi program studi PPs/SPs yang telah terakreditasi “A”.
Ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, dari segi waktu studi lanjut, program S-2 dan S-3 jalur riset dianggap lebih singkat. Mi­salnya, program S-2 ditempuh 1-1,5 tahun (2-3 semester) dan S-3 2-2,5 tahun (4-5 semester). Kedua, para dosen yang mengi­kuti program S-2 dan S-3 jalur riset dikondisikan untuk lebih siap riset sejak awal. Jadi, proposal riset tesis dan disertasi menjadi salah satu syarat penilaian awal masuk-tidaknya dalam program tersebut.
“Shock Therapy”
Program S-2 dan S-3 jalur riset telah dilakukan oleh sejumlah PT di luar negeri, seperti halnya Malaysia. Di Universiti of Malaya (UM), Malaysia, misalnya, ada ta­waran program S-3 jalur riset (by research) dan program S-3 jalur kuliah dan riset (by coursework and research). Bagi para lulusan S-2 dalam negeri tatkala mengetahui adanya program S-3 jalur riset di PT luar negeri, hal itu menjadi semacam “shock therapy” tersendiri. Apa pasal?
Sebab, program S-2 dan S-3 jalur riset tidak ada/dikenal di PT dalam negeri. Universitas terbaik sekaliber Uni­versitas Indonesia (UI) dan Uni­versitas Gadjah Mada (UGM) sampai saat ini belum memiliki program S-2 dan S-3 jalur riset (by research) seperti halnya di PT-PT Malaysia. Untuk itu, sebagai lulusan doktor dari PT Malaysia, seorang Mo­hammad Nasir perlu kiranya menggagas program S-2 dan S-3 jalur riset di PT-PT dalam negeri.
Kedua, perlunya mendorong para mahasiswa S-2 dan S-3 PPs/SPs di PT dalam negeri untuk rutin melakukan pu­blikasi ilmiah di jurnal terakre­ditasi, baik nasional maupun internasional. Ada cerita menarik dari rekan saya saat menempuh studi S-2 di Uni­versiti Tun Husein Onn, Malaysia. Katanya, bersama teman-teman sekelas dan dibimbing oleh promotornya yang berjabatan akademik profesor, ia menjadi lebih produktif menulis di jurnal-jurnal internasional.
Selain itu, dia juga bilang, menulis di jurnal-jurnal inter­nasional dapat mengangkat nama universitas tempat ia menempuh S-2 sekaligus tempat ia bekerja saat ini, Universitas Ahmad Dahlan. Ia juga senang telah mendapat insentif tambahan dari UAD atas produktivitasnya menulis di jurnal-jurnal internasional. Hemat saya, kisah rekan saya itu semestinya juga dapat diikuti oleh seluruh mahasiswa S-2 dan S-3 PPs/SPs di PT dalam negeri.
Hanya saja, untuk mewu­judkan harapan di atas, diperlukan beberapa syarat, seperti kualitas dan kuantitas dosen pembimbing berjabatan profesor, serta sarana dan prasarana kampus yang mema­dai. Secara kualitas, tidak semua profesor yang ada saat ini memiliki produktivitas yang tinggi dalam hal publikasi ilmiah di jurnal-jurnal inter­nasional, kecuali beberapa orang saja. Juga tidak semua profesor kita memiliki pengalaman luas dalam hal membimbing mahasiswa S-2 dan S-3.
Selain itu, sarana dan prasarana kampus, khususnya bahan bacaan berupa buku dan jurnal, serta akses inter­net, belum terbilang memadai. Di PPs UNY, misalnya, seorang mahasiswa S-2 boleh me­minjam maksimal 3 buku untuk durasi 2 minggu; sedangkan mahasiswa S-2 di PT Malaysia boleh meminjam maksimal 20 buku untuk durasi sebulan. Bagai bumi dan langit, itulah perumpamaan yang tepat antara sarana dan prasarana kampus di Tanah Air dan di Malaysia.
Bukan “Profesor-profesoran”
Ketiga, perlunya menge­­­valuasi ulang para dosen yang telah berjabatan akademik profesor. Seperti kata Prof Terry Mart (UI), profesor me­ru­pakan jabatan aka­demik, bu­kan jabatan hadiah semata. Oleh karena itu, lanjut Ter­ry, diper­lukan sistem yang jelas bagi para dosen untuk mem­peroleh sekaligus mem­perta­hankan jabatan tersebut. Di sini, seorang Mohammad Nasir dituntut untuk berperan penting dalam rangka evaluasi kinerja para profesor kita saat ini.
Sebagai usulan, perlu kiranya aturan jabatan profesor dibagi ke dalam dua jenjang, yaitu profesor madya (associate profesor) dan profesor purna seperti halnya di Malaysia dan Tiongkok. Usai meraih gelar doktor, seorang dosen perlu waktu untuk memenuhi persya­ratan sebagai profesor madya. Misalnya, ia harus menulis sejumlah publikasi (buku, jurnal, kertas kerja, dsb), dan/atau harus mampu mem­bimbing sekian jumlah ma­hasiswa S-2 dan S-3.
Jujur saja, tak sedikit profesor kita saat ini yang saat pengukuhannya selalu diba­yang-bayangi berbagai tanda tanya. Apakah ia pernah menulis buku? Apakah ia rutin menulis di jurnal terakreditasi nasional dan internasional? Apakah ia pernah membimbing mahasiswa S-3, baik sebagai promotor maupun ko-promotor? Dan seterusnya. Berbagai pertanyaan itu tetap mem­bayang-bayangi para profesor, sejauh mereka tetap mengem­ban jabatan akademik itu.
Melalui usulan aturan dan pertanyaan di atas, kita pun berharap agar tidak ada lagi “profesor-profesoran” yang bikin hati ironi dan prihatin. Seperti yang terjadi lalu-lalu, ada seorang profesor dari PTN di Pekanbaru, Riau telah mem­plagiat buku terbitan penerbit nasional terkemuka, juga seorang profesor dari PTS di Bandung, Jawa Barat telah memplagiat artikel penulis dari Australia dan mengirimkannya ke media nasional berbahasa Inggris terbitan Jakarta.
Akhir kata, kinerja Kemen­terian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam kurun lima tahun mendatang penuh kendala yang tidak kecil. Di tangan Bung Nasir dan jaja­rannya tergenggam pertanyaan: apakah mutu PT-PT nasional kian lebih baik? Untuk itu, usulan program S-2 dan S-3 jalur riset, publikasi ilmiah mahasiswa S-2 dan S-3, serta evaluasi para profesor layak dipertimbangkan menjadi memo kerja Anda, Bung Nasir. Selamat bekerja, Bung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar