Moralitas
Politik yang Ambigu
Ma’mun Murod Al-Barbasy ; Dosen
Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ);
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP)
PP Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 11 November 2014
Dalam perspektif klasik, politik dimengerti begitu luhur sebagai
values,”apa yang seharusnya” (das
sollen), yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama (public good, maslahat-i al-ammah).
Namun dalam praksisnya (das sein) yang kerap muncul dan menjadi
mainstream justru pemaknaan politik ”tanpa nilai” (non values), yang berbicara soal ”apa yang senyatanya”, politik
yang semata dimaknai secara pragmatis, politik yang ansich berorientasi
kekuasaan, dan politik yang hanya dipahami sebagai ”soal siapa mendapatkan
apa, kapan, dan bagaimana”.
Mainstream politik non values ini tumbuh begitu subur, tidak
saja di lingkup elite politik, tapi juga di masyarakat. Tidak saja menjelang
perhelatan politik seperti pemilu atau pilkada, dalam keseharian pun begitu
mudah mendapati praktekpraktek politik non values. Dominasi politik non
values ini membawa dampak ikutan yang begitu buruk.
Realitas politik menjadi begitu pragmatis lantaran moralitas
politik yang ”mendua” (ambigu). Satu sisi elite berteriak soal moralitas,
katakanlah dalam hal pemberantasan korupsi, namun di sisi lain, elite juga
masuk dalam kubangan praktek korupsi tersebut. Sistem politik yang bobrok dan
korup pun dibiarkan untuk tidak mengatakan sengaja diciptakan.
Tidak ada niatan serius untuk memperbaiki sistem politik
tersebut. Begitu pun masyarakat. Satu sisi begitu kencang berteriak soal
pemberantasan korupsi, mengkritisi pejabat yang korup baik di lingkup
eksekutif, legislatif, yudikatif maupun birokrasi, namun di saat bersamaan
juga begitu menikmati perilaku korup para pejabat melalui proposal yang
diajukan, permohonan bantuan, menerima money
politics dari kandidat atau kontestan pemilu yang dalam prakteknya juga
begitu memprihatinkan ataupun hal lain yang potensial menyuburkan perilaku
korup para pejabat.
Dan perilaku atau moralitas politik yang ambigu ini akan semakin
terasa ketika menjelang berlangsungnya perhelatan politik seperti pemilu,
pilkada, pilgub maupun pilpres.
Tumbuh Subur
Moralitas politik yang ambigu ini begitu menjamur dan merambah
semua sendi kehidupan. Di lingkup elite, pelakunya bukan saja mereka yang
memang mempunyai karakter moral politik yang buruk, tapi juga mereka yang
dikategorikan sebagai ”orang baik” yang mencoba melakukan perbaikan atas
bangsa ini.
Begitu juga di lingkup masyarakat, bukan hanya mereka yang
memang bermental korup, tapi juga yang selama ini di(ber)lebelkan sebagai
”orang baik”. Saat ini, elite yang secara moral politik buruk dan
keterlibatannya dalam dunia politik pun diyakini hanya akan membawa kerusakan
(mafsadat), cenderung mengambil jalan pintas dan instan.
Dalam kapasitas sebagai calon legislatif atau kandidat di
jabatan eksekutif misalnya mereka tidak mau menyambangi konstituennya. Mereka
lebih memilih jalan pintas untuk menggapai kekuasaan lewat relasi kuasa
dengan misalnya KPU, PPK, atau siapapun yang dinilai bisa ”menggelembungkan”
atau ”mengamankan” suara.
Tentu politik jalan pintas ini tidak murah, pasti membutuhkan
biaya politik yang cukup mahal. Lalu apa yang bisa diharapkan dari politisi
yang seperti ini? Sementara elite yang dikategorikan ”baik”, yang selama ini
telah mencoba menjalankan politik secara santun pun pada akhirnya tergoda
untuk berbuat politik yang amoral.
Perseteruan Kubu Merah Putih (KMP) dan Kubu Indonesia Hebat
(KIH) di parlemen sejak pembahasan RUU Pilkada, Pembahasan RUU MD3 sampai
dengan pembentukan alat kelengkapan DPR, juga menggambarkan adanya moralitas
politik yang ambigu. Satu sisi mereka adalah wakil rakyat yang semestinya
bertugas memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, namun faktanya
justru mereka saling ”bertarung” untuk kepentingan yang jauh dari kehendak
rakyat.
Di lingkup masyarakat, saat ini moral politik yang ambigu juga
seperti sudah menjadi kelaziman. Satu sisi masyarakat begitu lantang
mengkritisi perilaku korup para pejabat, tapi di sisi lain juga menikmati
hasil korupsi pejabat, yang telah mengakibatkan atau mengharuskan elite
berbuat korup.
Masyarakat seperti sudah tidak merasa bersalah (berdosa) lagi
untuk misalnya menerima atau meminta politik uang kepada kandidat atau
kontestan politik yang akan dipilihnya. Pada beberapa hal mungkin masih bisa
dipahami, karena mereka meminta imbalan atas suara yang diberikannya.
Ada semacam simbiosis mutualisme. Tapi saat ini, berkembang juga
bentuk moralitas politik ambigu lainnya, yaitu ”ambil uangnya jangan pilih
orangnya.” Sepintas sikap ini baik karena bermaksud memberikan hukuman kepada
elite politik pelaku money politics. Namun dalam praktiknya, di saat yang
bersamaan, masyarakat juga menerima pemberian money politics dari kandidat
lain. Sikap politik seperti ini justru akan semakin melanggengkan politik
yang amoral dan ambigu.
Mengapa Tumbuh Subur ?
Mengapa moralitas politik yang ambigu begitu tumbuh subur?
Setidaknya ada tiga hal yang cukup memengaruhi. Pertama, bobrok dan korupnya
sistem politik yang ada saat ini, yang tergambar dari produk
perundang-undangan dalam bidang politik.
Ada banyak produk perundang-undangan, baik yang secara implisit
maupun eksplisit mendukung tumbuh suburnya moralitas politik yang ambigu.
Misalnya pemilihan serba langsung dari mulai pemilihan presiden sampai dengan
ketua RT. Praktis yang tidak pemilihan langsung hanya walikota di DKI
Jakarta, camat dan lurah seluruh Indonesia. Pemilihan serbalangsung ini
secara moralitas telah mengubah mentalitas masyarakat menjadi sangat
pragmatis.
Belum lagi persoalan suara terbanyak dalam pemilu legislatif
juga telah secara masif ikut berperan atas rusaknya moralitas politik bangsa.
Bayangkan, pemilu dengan suara terbanyak, maka siapa pun kandidatnya asal
mempunyai cukup modal (capital) materi, maka diyakini akan dengan mudah
menggapai kekuasaan politik.
Bandingkan dengan misalnya aktivis partai yang day to day
mengurus partai dan meskipun ditempatkan di nomor 1, namun karena yang
bersangkutan tidak mempunyai cukup modal materi, praktis nomor urut 1 yang
dimilikinya tak akan terlalu berarti. Kedua, politik hanya semata dimaknai
sebagai perebutan kekuasaan. Kekuasaan politik dianggapsegala-galanya.
Karena segala-galanya, maka siapa pun dan dengan cara apa pun
berusaha meraih kekuasaan tersebut. Dengan pemaknaan politik yang seperti
ini, mereka tidak peduli lagi akan pentingnya moralitas dalam berpolitik.
Ketiga, minimnya keteladanan, yang tidak saja hinggap di kalangan para
politisi, tapi juga kalangan agamawan.
Saat ini rasanya sulit menemukan keteladanan di kalangan para
politisi, seperti yang telah ditunjukan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad
Natsir (Masyumi), Soekarno, (PNI), Moh. Hatta, KH. Wahid Hasyim (NU), Kasman
Singodimejo (Masyumi), Kasimo (Katolik), AA. Maramis (PNI) yang telah
memberikan banyak keteladanan politik.
Sulit juga sekarang menemukan tokoh-tokoh agama yang meskipun
mempunyai pendirian keagamaan yang berbeda namun masih bisa saling ”bertemu”.
Kita merindu agamawan-agamawan seperti KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH.
Hasyim Asy’ari(NU), KH. Ahmad Hassan (Persis), Ki Bagus Hadikusumo
(Muhammadiyah), Soegijapranata(Katolik), KH. AR. Fachruddin (Muhammadiyah),
KH. Ahmad Azhar Bashir (Muhammadiyah), KH. Achmad Siddiq (NU), KH. M. Ilyas
Ruchiyat (NU), yang telah memberikan banyak keteladanan dalam beragama,
keteladanan dalam hal moralitas maupun keteladanan dalam menjalin relasi
dengan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar