Rabu, 12 November 2014

Moralitas Politik yang Ambigu

Moralitas Politik yang Ambigu

Ma’mun Murod Al-Barbasy  ;  Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ);
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah
KORAN SINDO, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam perspektif klasik, politik dimengerti begitu luhur sebagai values,”apa yang seharusnya” (das sollen), yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama (public good, maslahat-i al-ammah).

Namun dalam praksisnya (das sein) yang kerap muncul dan menjadi mainstream justru pemaknaan politik ”tanpa nilai” (non values), yang berbicara soal ”apa yang senyatanya”, politik yang semata dimaknai secara pragmatis, politik yang ansich berorientasi kekuasaan, dan politik yang hanya dipahami sebagai ”soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.

Mainstream politik non values ini tumbuh begitu subur, tidak saja di lingkup elite politik, tapi juga di masyarakat. Tidak saja menjelang perhelatan politik seperti pemilu atau pilkada, dalam keseharian pun begitu mudah mendapati praktekpraktek politik non values. Dominasi politik non values ini membawa dampak ikutan yang begitu buruk.

Realitas politik menjadi begitu pragmatis lantaran moralitas politik yang ”mendua” (ambigu). Satu sisi elite berteriak soal moralitas, katakanlah dalam hal pemberantasan korupsi, namun di sisi lain, elite juga masuk dalam kubangan praktek korupsi tersebut. Sistem politik yang bobrok dan korup pun dibiarkan untuk tidak mengatakan sengaja diciptakan.

Tidak ada niatan serius untuk memperbaiki sistem politik tersebut. Begitu pun masyarakat. Satu sisi begitu kencang berteriak soal pemberantasan korupsi, mengkritisi pejabat yang korup baik di lingkup eksekutif, legislatif, yudikatif maupun birokrasi, namun di saat bersamaan juga begitu menikmati perilaku korup para pejabat melalui proposal yang diajukan, permohonan bantuan, menerima money politics dari kandidat atau kontestan pemilu yang dalam prakteknya juga begitu memprihatinkan ataupun hal lain yang potensial menyuburkan perilaku korup para pejabat.

Dan perilaku atau moralitas politik yang ambigu ini akan semakin terasa ketika menjelang berlangsungnya perhelatan politik seperti pemilu, pilkada, pilgub maupun pilpres.

Tumbuh Subur

Moralitas politik yang ambigu ini begitu menjamur dan merambah semua sendi kehidupan. Di lingkup elite, pelakunya bukan saja mereka yang memang mempunyai karakter moral politik yang buruk, tapi juga mereka yang dikategorikan sebagai ”orang baik” yang mencoba melakukan perbaikan atas bangsa ini.

Begitu juga di lingkup masyarakat, bukan hanya mereka yang memang bermental korup, tapi juga yang selama ini di(ber)lebelkan sebagai ”orang baik”. Saat ini, elite yang secara moral politik buruk dan keterlibatannya dalam dunia politik pun diyakini hanya akan membawa kerusakan (mafsadat), cenderung mengambil jalan pintas dan instan.

Dalam kapasitas sebagai calon legislatif atau kandidat di jabatan eksekutif misalnya mereka tidak mau menyambangi konstituennya. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk menggapai kekuasaan lewat relasi kuasa dengan misalnya KPU, PPK, atau siapapun yang dinilai bisa ”menggelembungkan” atau ”mengamankan” suara.

Tentu politik jalan pintas ini tidak murah, pasti membutuhkan biaya politik yang cukup mahal. Lalu apa yang bisa diharapkan dari politisi yang seperti ini? Sementara elite yang dikategorikan ”baik”, yang selama ini telah mencoba menjalankan politik secara santun pun pada akhirnya tergoda untuk berbuat politik yang amoral.

Perseteruan Kubu Merah Putih (KMP) dan Kubu Indonesia Hebat (KIH) di parlemen sejak pembahasan RUU Pilkada, Pembahasan RUU MD3 sampai dengan pembentukan alat kelengkapan DPR, juga menggambarkan adanya moralitas politik yang ambigu. Satu sisi mereka adalah wakil rakyat yang semestinya bertugas memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, namun faktanya justru mereka saling ”bertarung” untuk kepentingan yang jauh dari kehendak rakyat.

Di lingkup masyarakat, saat ini moral politik yang ambigu juga seperti sudah menjadi kelaziman. Satu sisi masyarakat begitu lantang mengkritisi perilaku korup para pejabat, tapi di sisi lain juga menikmati hasil korupsi pejabat, yang telah mengakibatkan atau mengharuskan elite berbuat korup.

Masyarakat seperti sudah tidak merasa bersalah (berdosa) lagi untuk misalnya menerima atau meminta politik uang kepada kandidat atau kontestan politik yang akan dipilihnya. Pada beberapa hal mungkin masih bisa dipahami, karena mereka meminta imbalan atas suara yang diberikannya.

Ada semacam simbiosis mutualisme. Tapi saat ini, berkembang juga bentuk moralitas politik ambigu lainnya, yaitu ”ambil uangnya jangan pilih orangnya.” Sepintas sikap ini baik karena bermaksud memberikan hukuman kepada elite politik pelaku money politics. Namun dalam praktiknya, di saat yang bersamaan, masyarakat juga menerima pemberian money politics dari kandidat lain. Sikap politik seperti ini justru akan semakin melanggengkan politik yang amoral dan ambigu.

Mengapa Tumbuh Subur ?

Mengapa moralitas politik yang ambigu begitu tumbuh subur? Setidaknya ada tiga hal yang cukup memengaruhi. Pertama, bobrok dan korupnya sistem politik yang ada saat ini, yang tergambar dari produk perundang-undangan dalam bidang politik.

Ada banyak produk perundang-undangan, baik yang secara implisit maupun eksplisit mendukung tumbuh suburnya moralitas politik yang ambigu. Misalnya pemilihan serba langsung dari mulai pemilihan presiden sampai dengan ketua RT. Praktis yang tidak pemilihan langsung hanya walikota di DKI Jakarta, camat dan lurah seluruh Indonesia. Pemilihan serbalangsung ini secara moralitas telah mengubah mentalitas masyarakat menjadi sangat pragmatis.

Belum lagi persoalan suara terbanyak dalam pemilu legislatif juga telah secara masif ikut berperan atas rusaknya moralitas politik bangsa. Bayangkan, pemilu dengan suara terbanyak, maka siapa pun kandidatnya asal mempunyai cukup modal (capital) materi, maka diyakini akan dengan mudah menggapai kekuasaan politik.

Bandingkan dengan misalnya aktivis partai yang day to day mengurus partai dan meskipun ditempatkan di nomor 1, namun karena yang bersangkutan tidak mempunyai cukup modal materi, praktis nomor urut 1 yang dimilikinya tak akan terlalu berarti. Kedua, politik hanya semata dimaknai sebagai perebutan kekuasaan. Kekuasaan politik dianggapsegala-galanya.

Karena segala-galanya, maka siapa pun dan dengan cara apa pun berusaha meraih kekuasaan tersebut. Dengan pemaknaan politik yang seperti ini, mereka tidak peduli lagi akan pentingnya moralitas dalam berpolitik. Ketiga, minimnya keteladanan, yang tidak saja hinggap di kalangan para politisi, tapi juga kalangan agamawan.

Saat ini rasanya sulit menemukan keteladanan di kalangan para politisi, seperti yang telah ditunjukan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir (Masyumi), Soekarno, (PNI), Moh. Hatta, KH. Wahid Hasyim (NU), Kasman Singodimejo (Masyumi), Kasimo (Katolik), AA. Maramis (PNI) yang telah memberikan banyak keteladanan politik.

Sulit juga sekarang menemukan tokoh-tokoh agama yang meskipun mempunyai pendirian keagamaan yang berbeda namun masih bisa saling ”bertemu”. Kita merindu agamawan-agamawan seperti KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari(NU), KH. Ahmad Hassan (Persis), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Soegijapranata(Katolik), KH. AR. Fachruddin (Muhammadiyah), KH. Ahmad Azhar Bashir (Muhammadiyah), KH. Achmad Siddiq (NU), KH. M. Ilyas Ruchiyat (NU), yang telah memberikan banyak keteladanan dalam beragama, keteladanan dalam hal moralitas maupun keteladanan dalam menjalin relasi dengan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar