Kembali
ke Tata Krama
Harjito ; Ketua
Prodi Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS)
|
SUARA
MERDEKA, 11 November 2014
AWAL pemerintahan Jokowi-JK setidak-tidaknya ditandai oleh kasus
penghinaan terhadap Presiden oleh Muhammad Arsyad. Penjual satai itu diduga
menyebarluaskan gambar olahan yang kurang patut di media sosial Facebook.
Warga Ciracas Jakarta Timur berusia 23 tahun itu lulusan SMP, dan berasal
dari keluarga kurang mampu.
Sebelumnya, akhir Agustus 2014, Florence Sihombing dianggap
menghina dan melecehkan warga Yogyakarta melalui media sosial Path. Wanita
itu merupakan mahasiswa S-2 Notariat. Yang menjadi persoalan utama kita
sekarang ini adalah runtuhnya tata krama. Masyarakat bingung untuk membedakan
mana yang patut dan tidak patut. Apalagi ketika tindakan atau perilaku
tertentu dimuat di media massa cetak, media online, atau media sosial.
Contohnya foto atau gambar calon presiden diolah dan direkayasa
dengan tambahan kalimat yang menonjolkan dan meledek kekurangan, baik fisik
maupun nonfisik. Hasil olahan itu lalu diunggah dalam media sosial. Pada
suatu sidang, seseorang atau kelompok menuding-nuding muka dan berteriak-teriak
kepada pihak lain ataupun kepada ketua. Bahkan, dilengkapi dengan
penjungkirbalikan meja.
Peristiwa penghinaan atau pelecehan tentu tidak muncul secara
tiba-tiba. Kita dapat melacaknya mulai tahun 1998 saat kejatuhan Presiden
Soeharto. Masyarakat yang terbiasa dibatasi dan dikekang tiba-tiba seperti
mendapatkan kebebasan baru dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Kebebasan dimaknai banyak orang sebagai sebuah masyarakat tanpa
tata krama. Karena tanpa tata krama, diri pribadi dengan segala kehendaknya
dapat serta diperbolehkan mengabaikan hak orang lain atau liyan. Apakah benar
demikian?
Ada beberapa penyebab mengapa sesorang melakukan hal-hal yang
kurang patut dalam takaran umum. Pertama; tidak tahu. Ukuran patut atau tidak
patut menurut saya sangatlah sederhana, yaitu lewat cara pengandaian. Apabila
berada dalam posisi yang dimaksud kita tidak suka, sakit hati, marah, atau
tersakiti maka tindakan itu berarti tidak patut. Namun, apabila kita justru
menjadi suka, tersanjung, atau terhormat karena hal yang dimaksud, itu
pertanda sebuah kepatutan.
Kita di sini dimaknai manusia sebagai pribadi dan manusia
sebagai makhluk kolektif dengan budaya masyarakat. Jika masih tidak tahu,
cobalah bertanya kepada pihak lain. Apakah tindakan kita bisa diterima oleh
orang lain.
Perkokoh Indonesia
Kedua; ikut-ikutan. Manusia memiliki insting untuk meniru
perilaku pihak lain, baik disadari maupun tidak didasari. Seringkali kita
sekadar mengikuti orang lain yang telah melakukan. Kalau orang lain boleh,
mengapa saya tidak. Toh orang lain sudah melakukannya berulang kali dan tidak
mendapatkan sanksi dari masyarakat atau pihak yang berwewenang.
Ketiga; iseng. Keisengan seringkali didasari oleh keinginan
coba-coba karena ingin mengetahui dampak berikutnya. Iseng bisa juga
berangkat dari rasa humor yang berlebih dan menganggap segala sesuatu sebagai
sekadar guyon.
Keempat; tahu dan sengaja. Terdapat orang-orang tertentu yang
tahu mengenai dampak sebuah perbuatan tapi dia sengaja memanfaatkan sekaligus
memancing di air keruh. Artinya, ia justru memanfaatkan ketidaktahuan
khalayak untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu.
Penyebab pertama dan kedua biasanya karena faktor pendidikan
yang relatif rendah. Adapun penyebab ketiga dan keempat biasanya dilakukan justru
oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Selain tahu dan sengaja, kesemuanya
tidak menduga akan dampak yang diakibatkan baik kepada diri pribadi,
institusi, maupun masyarakat.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Joko Widodo berbeda
generasi dari Florence Sihombing dan Muhammad Arsyad. Sultan Hamengku Buwono
X memaafkan Florence, Presiden Joko Widodo memaafkan Arsyad.
Para pemimpin telah menunjukkan sebuah tata krama: bagaimana
memaafkan. Generasi yang lebih senior menghormati generasi di bawahnya dengan
tindakan memaafkan. Pemimpin menghormati masyarakat dengan teladan memaafkan.
Menghormati dan memaafkan; dua tata krama penting yang mulai luntur dalam
kehidupan bermasyarakat kita.
Tersenyum, menyapa, memberi salam, menjabat tangan, bertutur kata
sopan dan tepat adalah beberapa contoh cara menghormati liyan. Tata krama
pada dasarnya adalah menghormati keberadaan dan kehadiran liyan.
Yang juga penting adalah pemahaman bahwa media sosial bukanlah
tempat untuk menghina, mencemooh, mencari musuh, menyebarkan kebencian,
mengadu domba, atau memecah belah. Justru media sosial atau media apa pun
adalah sarana untuk menjalin tali persahabatan dan kekerabatan.
Media sosial adalah sarana kita untuk saling menghormati dan
memaafkan antargenerasi serta antara pemimpin dan masyarakatnya. Media sosial
adalah sarana dan tempat untuk memperkokoh Indonesia nan jaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar