Rabu, 12 November 2014

Kembali ke Tata Krama

Kembali ke Tata Krama

Harjito  ;  Ketua Prodi Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang (UPGRIS)
SUARA MERDEKA, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


AWAL pemerintahan Jokowi-JK setidak-tidaknya ditandai oleh kasus penghinaan terhadap Presiden oleh Muhammad Arsyad. Penjual satai itu diduga menyebarluaskan gambar olahan yang kurang patut di media sosial Facebook. Warga Ciracas Jakarta Timur berusia 23 tahun itu lulusan SMP, dan berasal dari keluarga kurang mampu.

Sebelumnya, akhir Agustus 2014, Florence Sihombing dianggap menghina dan melecehkan warga Yogyakarta melalui media sosial Path. Wanita itu merupakan mahasiswa S-2 Notariat. Yang menjadi persoalan utama kita sekarang ini adalah runtuhnya tata krama. Masyarakat bingung untuk membedakan mana yang patut dan tidak patut. Apalagi ketika tindakan atau perilaku tertentu dimuat di media massa cetak, media online, atau media sosial.

Contohnya foto atau gambar calon presiden diolah dan direkayasa dengan tambahan kalimat yang menonjolkan dan meledek kekurangan, baik fisik maupun nonfisik. Hasil olahan itu lalu diunggah dalam media sosial. Pada suatu sidang, seseorang atau kelompok menuding-nuding muka dan berteriak-teriak kepada pihak lain ataupun kepada ketua. Bahkan, dilengkapi dengan penjungkirbalikan meja.

Peristiwa penghinaan atau pelecehan tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Kita dapat melacaknya mulai tahun 1998 saat kejatuhan Presiden Soeharto. Masyarakat yang terbiasa dibatasi dan dikekang tiba-tiba seperti mendapatkan kebebasan baru dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Kebebasan dimaknai banyak orang sebagai sebuah masyarakat tanpa tata krama. Karena tanpa tata krama, diri pribadi dengan segala kehendaknya dapat serta diperbolehkan mengabaikan hak orang lain atau liyan. Apakah benar demikian?

Ada beberapa penyebab mengapa sesorang melakukan hal-hal yang kurang patut dalam takaran umum. Pertama; tidak tahu. Ukuran patut atau tidak patut menurut saya sangatlah sederhana, yaitu lewat cara pengandaian. Apabila berada dalam posisi yang dimaksud kita tidak suka, sakit hati, marah, atau tersakiti maka tindakan itu berarti tidak patut. Namun, apabila kita justru menjadi suka, tersanjung, atau terhormat karena hal yang dimaksud, itu pertanda sebuah kepatutan.

Kita di sini dimaknai manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai makhluk kolektif dengan budaya masyarakat. Jika masih tidak tahu, cobalah bertanya kepada pihak lain. Apakah tindakan kita bisa diterima oleh orang lain.

Perkokoh Indonesia

Kedua; ikut-ikutan. Manusia memiliki insting untuk meniru perilaku pihak lain, baik disadari maupun tidak didasari. Seringkali kita sekadar mengikuti orang lain yang telah melakukan. Kalau orang lain boleh, mengapa saya tidak. Toh orang lain sudah melakukannya berulang kali dan tidak mendapatkan sanksi dari masyarakat atau pihak yang berwewenang.

Ketiga; iseng. Keisengan seringkali didasari oleh keinginan coba-coba karena ingin mengetahui dampak berikutnya. Iseng bisa juga berangkat dari rasa humor yang berlebih dan menganggap segala sesuatu sebagai sekadar guyon.

Keempat; tahu dan sengaja. Terdapat orang-orang tertentu yang tahu mengenai dampak sebuah perbuatan tapi dia sengaja memanfaatkan sekaligus memancing di air keruh. Artinya, ia justru memanfaatkan ketidaktahuan khalayak untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu.

Penyebab pertama dan kedua biasanya karena faktor pendidikan yang relatif rendah. Adapun penyebab ketiga dan keempat biasanya dilakukan justru oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Selain tahu dan sengaja, kesemuanya tidak menduga akan dampak yang diakibatkan baik kepada diri pribadi, institusi, maupun masyarakat.

Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Joko Widodo berbeda generasi dari Florence Sihombing dan Muhammad Arsyad. Sultan Hamengku Buwono X memaafkan Florence, Presiden Joko Widodo memaafkan Arsyad.
Para pemimpin telah menunjukkan sebuah tata krama: bagaimana memaafkan. Generasi yang lebih senior menghormati generasi di bawahnya dengan tindakan memaafkan. Pemimpin menghormati masyarakat dengan teladan memaafkan. Menghormati dan memaafkan; dua tata krama penting yang mulai luntur dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Tersenyum, menyapa, memberi salam, menjabat tangan, bertutur kata sopan dan tepat adalah beberapa contoh cara menghormati liyan. Tata krama pada dasarnya adalah menghormati keberadaan dan kehadiran liyan.

Yang juga penting adalah pemahaman bahwa media sosial bukanlah tempat untuk menghina, mencemooh, mencari musuh, menyebarkan kebencian, mengadu domba, atau memecah belah. Justru media sosial atau media apa pun adalah sarana untuk menjalin tali persahabatan dan kekerabatan.

Media sosial adalah sarana kita untuk saling menghormati dan memaafkan antargenerasi serta antara pemimpin dan masyarakatnya. Media sosial adalah sarana dan tempat untuk memperkokoh Indonesia nan jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar