Memahami
Kontroversi Penghapusan Kolom Agama
Musdah Mulia ; Ketua
Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace)
|
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2014
SADARKAH kita bahwa penduduk
negeri ini terdiri dari beragam agama dan kepercayaan? Sayangnya, data
tentang mereka tidak muncul dalam dokumen resmi negara. Informasi tentang
kebinekaan agama, terutama terkait upaya advokasi terhadap penganutnya dapat
ditemukan dalam laporan sejumlah LSM pemerhati kehidupan agama, seperti ICRP,
Setara Institut, Wahid Institut, dan sejumlah dokumen yang diterbitkan
organisasi HAM.
Di masyarakat dijumpai penganut
agama Baha'i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, bahkan juga agama-agama
perenial, yaitu agama yang tidak mengambil bentuk formal, tetapi lebih
mengutamakan penghayatan akan kehadiran Tuhan dan implementasi nilai-nilai
agama. Selain itu, juga dikenal ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti
Parmalim di Sumatra Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa
Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi
Selatan. Bicara tentang agama hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi
agama, faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan
mana pun.
Kebebasan beragama?
Konstitusi Indonesia secara normatif
menyebut jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29. Apakah kebebasan
beragama mendapatkan jaminan di Indonesia? Banyak yang memahami kebebasan
beragama sebagai kebebasan untuk menodai agama lain, atau kebebasan melakukan
praktik keagamaan secara semena-mena.
Dalam berbagai dokumen internasional
disebutkan kebebasan beragama tidaklah bersifat mutlak. Kebebasan beragama
ialah kebebasan untuk meyakini dan menjalankan ajaran agama dengan tetap meng
hargai keragaman dan perbedaan interpretasi. Kebebasan beragama dibatasi
sedikitnya lima prinsip dasar, yaitu prinsip menjaga ketertiban umum,
kesehatan masyarakat, keselamatan umum, norma-norma kesusilaan, dan tidak
melanggar HAM lain.
Pada praktiknya, sangat sulit menegakkan prinsip
kebebasan beragama karena membutuhkan syarat adanya kesadaran beragama yang
tinggi dari masyarakat.
Untuk kasus Indonesia, secara
struktural implementasinya menghadapi hambatan serius. Pertama, UU No
1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama. Sekilas,
aturan itu sangat baik, mengingatkan masyarakat bersikap hati-hati, tidak
mudah melemparkan tuduhan yang akan menodai komunitas agama. Akan tetapi,
secara eksplisit UU tersebut mengandung larangan melakukan penafsiran dan
kegiatan keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Istilah
menyimpang cenderung dipahami sebagai semua yang berbeda dengan pandangan
mayoritas atau berbeda dengan opini pemerintah, sedangkan pokok-pokok ajaran
lebih dimaknai sebagai ajaran agama mayoritas. Kebijakan tersebut jelas bertentangan
dengan spirit kebebasan beragama.
Kedua, Surat Edaran Mendagri No
477/74054/1978 yang menegaskan lima agama diakui pemerintah, yaitu Islam,
Katolik, Kristen atau Protestan, Hindu, dan Buddha. Ketiga, TAP MPR No
II/MPR/1998 tentang GBHN, antara lain menegaskan penyangkalan terhadap agama
lokal, sekaligus himbauan terhadap pengikutnya memilih salah satu dari lima
agama, yang kemudian secara salah kaprah dianggap agama induk.
Setidaknya, itulah tiga contoh
UU dan kebijakan publik terkait pelayanan agama dan kependudukan yang tidak
mengacu kepada spirit konstitusi. UU Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan malah sema kin parah. Namun, capaian paling
monumental ialah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan kembali
spirit konstitusi akan jaminan kebebasan beragama bagi semua individu. Di
masa Presiden Abdurrahman Wahid, Konghucu diakui agama resmi. Kemudian
Presiden Megawati mengakui Imlek sebagai hari besar keagamaan dan sejak itu
kita mengenal enam agama resmi.
Kalau Konghucu bisa diakui,
mengapa agama dan kepercayaan lain tidak? Seharusnya yang perlu di dorong
ialah pemenuhan hak-hak sipil dan politik semua pe nganut agama dan
kepercayaan tanpa ada diskriminasi sedikit pun. Termasuk kepada mereka yang
mengaku tidak beragama.
Dalam KTP
Tidak jelas kapan kebijakan tentang
kolom agama di KTP muncul. Faktanya, KTP 1956 tidak punya kolom agama. Wacana
tentang penghapusan kolom agama di KTP menghangat di awal era reformasi,
terutama ketika amendemen terhadap UUD 1945 dilakukan (1999, 2000, 2001, dan
2002). Persoalannya, bagaimana mengimplementasikan pasal 29 UUD 1945 dan UU
HAM 1999 ke dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan?
Kalau penganut enam agama resmi
tersebut wajib mengisi kolom agama di KTP, mengapa kebijakan itu tidak berlaku
bagi selainnya? Bukankah mereka sama-sama warga negara yang memiliki hak dan
kewajiban yang sama di depan konstitusi? Akibatnya para penganut selain enam
agama resmi terabaikan hak-hak dasar mereka, terpaksa berbohong dan harus
memilih di antara enam agama dalam KTP, Akta Lahir, Akta Nikah, dan sejumlah
dokumen vital lainnya.
Di sinilah muncul kontroversi
terkait penghapusan kolom agama di KTP. Kelompok pengusung ide itu cenderung
dirundung (dibully) dengan berbagai
label negatif. Seba liknya, kelompok tidak setuju pengha pusan dielu-elukan
sebagai kelompok pembela agama. Semua penganut agama memiliki hak dan
kewajiban asasi yang sama tanpa diskriminasi. Kita semua ialah satu bangsa,
bangsa Indonesia. Itulah yang dinamakan ke sadaran pluralisme dan merupakan
syarat mutlak tegaknya demokrasi. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar