Kamis, 13 November 2014

Pragmatisme Swasembada atau Penguatan Pangan

Pragmatisme Swasembada atau Penguatan Pangan

Bustanul Arifin  ;  Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketua Perhepi
MEDIA INDONESIA, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SAMA seperti pendahulunya, pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mencanangkan target-target swasembada pangan. Bahkan, target swasembada pangan pokok dan strategis, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula secara amat berani ditetapkan pada rentang waktu 3 atau 4 tahun ke depan. Tidak ada hal yang salah dari pencanangan targettarget politis seperti itu. Masyarakat berharap-harap cemas terhadap langkah dan strategi apa saja yang akan dilaksanakan pemerintah, termasuk jika harus melibatkan sektor swasta dan masyarakat madani di tingkat lapangan.

Masyarakat hanya tidak ingin pemerintahan sekarang ini terjebak pada strategi pragmatisme swasembada pangan jika dibandingkan dengan misalnya melakukan penguatan fondasi kemandirian dan kedaulatan pangan. Target-target jangka pendek swasembada pangan, jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat berorientasi pada penggunaan jalan pintas. Penguatan fondasi kedaulatan pangan dapat diterjemahkan menjadi perubahan fundamental yang dilakukan secara gradual dan mampu bermanfaat ganda, yaitu menguatkan landasan kebijakan bagi aparat birokrasi dan landasan berpijak bagi pelaku usaha yang kelak akan mampu berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Beberapa hal itulah yang akan dibahas pada artikel ini.

Kinerja komoditas pangan pokok dan strategis Indonesia dapat diikhtiarkan sebagai berikut: Pertama, produksi padi pada 2014 diperkirakan mencapai 69,9 juta ton gabah atau mengalami penurunan sebesar 2% dari 71,3 juta ton pada 2013. Angka tersebut setara dengan 40 juta ton beras dengan angka konversi 0. 57. Jika angka konsumsi beras sebesar 113,48 kg per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk berkisar sekitar 29 juta ton. Artinya, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras 10 juta ton.

Fakta yang terjadi ialah bahwa pada 2013, Indonesia masih melakukan impor beras sebanyak 472 ribu ton. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan tahun ini Indonesia akan melakukan impor beras sebesar 1,4 juta ton. Pemerintah dan perum bulog tidak secara terus terang menyampaikan berapa besar Indonesia akan mengimpor beras tahun ini.

Konsistensi

Produksi jagung pada 2014 mencapai 18,6 juta ton jagung pipilan kering atau mengalami sedikit peningkatan sebesar 40 ribu ton jika dibandingkan dengan produksi 2013. Target swasembada jagung berkelanjutan mungkin akan sulit tercapai disebabkan impor jagung pada 2013 diperkirakan mencapai 3,2 juta ton. Swasembada jagung mungkin tercapai dalam jangka panjang asalkan semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar dilaksanakan secara konsisten.

Produksi kedelai pada 2014 ialah 892 ribu ton atau terus mengalami penurunan dengan laju yang sangat signifikan, yaitu sebesar 4,2% per tahun. Produksi sekecil itu tentu sangat jauh dari target swasembada kedelai sebesar 2,5 juta ton pada 2015. Sistem usaha tani kedelai di Indonesia telah telanjur `rusak' selama 20 tahun terakhir dan semakin parah sejak liberalisasi perdagangan kedelai pada akhir 1990-an semasa ekonomi krisis Asia.

Produksi gula pada 2014 sebenarnya mencatat peningkatan sampai sekitar 2,46 juta ton, walaupun masih sangat jauh dari target produksi 4,2 juta ton untuk dapat dikatakan swasembada gula. Apabila pada 2014 laju peningkatan produksi gula di dalam negeri dapat dipertahankan dan insentif untuk bergantung pada gula impor dikurangi, kebutuhan impor gula akan dapat dikurangi. Saat ini, angka konsumsi gula sekitar 4,5 juta ton, terdiri dari 2,5 juta ton gula konsumsi dan 2 juta ton gula rafinasi dengan bahan baku gula mentah asal impor.

Pragmatisme target

Dari uraian singkat tentang kinerja empat komoditas pangan pokok dan strategis tersebut, sebenarnya, titik lemah utama upaya pencapaian target-target swasembada selama 10 tahun terakhir ialah minimnya `perubahan teknologi produksi'. Peningkatan produksi pangan tidak banyak didorong perubahan teknologi pertanian dan adaptasi inovasi baru sehingga pertambahan produktivitasnya nyaris stagnan. Kalau pun terdapat peningkatan produktivitas pada padi, jagung, kedelai, dan gula, itu pun hanya karena kebetulan, misalnya kebetulan iklim sedang bersahabat dan musim hujan sedang berpihak pada petani.

Pragmatisme target-target swasembada pangan yang cenderung jangka pendek tersebut membuat aparat birokrasi untuk senantiasa `menggarap' daratan Jawa, Madura, dan Bali. Selain karena daerah-daerah sentra produksi di Jawa termasuk kategori target-target yang mudah untuk menggenjot produksi kecuali penanggulangan alih fungsi lahan sawah, fakta dominasi Jawa terhadap pangan nasional tidak terbantahkan lagi. Sekitar 38 juta ton padi (52,6%) l di Indonesia berasal dari Jawa, demid kian juga dengan 10 juta ton jagung k (54,5%), 520 ribu ton kedelai (66,9%), dan 1,6 juta ton (67,4%) gula yang berasal dari Jawa.

Jika pragmatisme pemikiran pencapaian target swasembada tersebut yang dikedepankan, pada 5 tahun, pemerintahan baru tidak akan berani ambil risiko untuk langsung menggeser basis produksi pangan ke luar Jawa. Mungkin saja kebijakan konkret di Pulau Jawa akan difokuskan pada pencegahan alih fungsi lahan sesuai dengan amanat UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan serangkaian peraturan pelaksanaannya.

Berbeda halnya jika Pemerintah baru pada Kabinet Kerja ini lebih fokus pada penguatan fondasi kebijakan pangan termasuk penciptaan areal tanah baru dan pencetakan sawah-sawah baru di Luar Jawa. Penguatan fondasi yang dimaksudkan di sini juga termasuk pembenahan dan perbaikan infrastruktur pertanian dan infrastruktur lain yang berhubungan dengan pertanian secara langsung dan tidak langsung. Tidak ada jalan lain kecuali untuk mencurahkan tenaga dan pikiran untuk memperbaiki dan membenahi infrastruktur pertanian. Infrastruktur pertanian mampu membuat proses perubahan teknologi biologi-kimiawi serta teknologi mekanis yang begitu progresif. Proses tersebut tentunya didukung kapasitas petani dan sumber daya manusia pertanian lainnya yang melahirkan inovasi.

Pemerintah wajib mengembangkan sistem insentif baru yang berbasis inovasi dan teknologi, mulai dari benih, produksi, dan panen-pascapanen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar