Pragmatisme
Swasembada atau Penguatan Pangan
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketua Perhepi
|
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2014
SAMA seperti pendahulunya, pemerintahan
baru pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga
mencanangkan target-target swasembada pangan. Bahkan, target swasembada
pangan pokok dan strategis, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula secara
amat berani ditetapkan pada rentang waktu 3 atau 4 tahun ke depan. Tidak ada
hal yang salah dari pencanangan targettarget politis seperti itu. Masyarakat
berharap-harap cemas terhadap langkah dan strategi apa saja yang akan
dilaksanakan pemerintah, termasuk jika harus melibatkan sektor swasta dan
masyarakat madani di tingkat lapangan.
Masyarakat hanya tidak ingin
pemerintahan sekarang ini terjebak pada strategi pragmatisme swasembada
pangan jika dibandingkan dengan misalnya melakukan penguatan fondasi
kemandirian dan kedaulatan pangan. Target-target jangka pendek swasembada
pangan, jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat berorientasi pada
penggunaan jalan pintas. Penguatan fondasi kedaulatan pangan dapat
diterjemahkan menjadi perubahan fundamental yang dilakukan secara gradual dan
mampu bermanfaat ganda, yaitu menguatkan landasan kebijakan bagi aparat
birokrasi dan landasan berpijak bagi pelaku usaha yang kelak akan mampu
berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Beberapa
hal itulah yang akan dibahas pada artikel ini.
Kinerja komoditas pangan pokok
dan strategis Indonesia dapat diikhtiarkan sebagai berikut: Pertama, produksi
padi pada 2014 diperkirakan mencapai 69,9 juta ton gabah atau mengalami
penurunan sebesar 2% dari 71,3 juta ton pada 2013. Angka tersebut setara
dengan 40 juta ton beras dengan angka konversi 0. 57. Jika angka konsumsi
beras sebesar 113,48 kg per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253
juta penduduk berkisar sekitar 29 juta ton. Artinya, Indonesia seharusnya
telah mencapai target surplus beras 10 juta ton.
Fakta yang terjadi ialah bahwa
pada 2013, Indonesia masih melakukan impor beras sebanyak 472 ribu ton.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan tahun ini Indonesia
akan melakukan impor beras sebesar 1,4 juta ton. Pemerintah dan perum bulog
tidak secara terus terang menyampaikan berapa besar Indonesia akan mengimpor
beras tahun ini.
Konsistensi
Produksi jagung pada 2014
mencapai 18,6 juta ton jagung pipilan kering atau mengalami sedikit
peningkatan sebesar 40 ribu ton jika dibandingkan dengan produksi 2013.
Target swasembada jagung berkelanjutan mungkin akan sulit tercapai disebabkan
impor jagung pada 2013 diperkirakan mencapai 3,2 juta ton. Swasembada jagung
mungkin tercapai dalam jangka panjang asalkan semua kebijakan insentif
peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar dilaksanakan secara
konsisten.
Produksi kedelai pada 2014
ialah 892 ribu ton atau terus mengalami penurunan dengan laju yang sangat
signifikan, yaitu sebesar 4,2% per tahun. Produksi sekecil itu tentu sangat
jauh dari target swasembada kedelai sebesar 2,5 juta ton pada 2015. Sistem
usaha tani kedelai di Indonesia telah telanjur `rusak' selama 20 tahun
terakhir dan semakin parah sejak liberalisasi perdagangan kedelai pada akhir
1990-an semasa ekonomi krisis Asia.
Produksi gula pada 2014
sebenarnya mencatat peningkatan sampai sekitar 2,46 juta ton, walaupun masih
sangat jauh dari target produksi 4,2 juta ton untuk dapat dikatakan
swasembada gula. Apabila pada 2014 laju peningkatan produksi gula di dalam
negeri dapat dipertahankan dan insentif untuk bergantung pada gula impor
dikurangi, kebutuhan impor gula akan dapat dikurangi. Saat ini, angka
konsumsi gula sekitar 4,5 juta ton, terdiri dari 2,5 juta ton gula konsumsi
dan 2 juta ton gula rafinasi dengan bahan baku gula mentah asal impor.
Pragmatisme target
Dari uraian singkat tentang
kinerja empat komoditas pangan pokok dan strategis tersebut, sebenarnya,
titik lemah utama upaya pencapaian target-target swasembada selama 10 tahun
terakhir ialah minimnya `perubahan teknologi produksi'. Peningkatan produksi
pangan tidak banyak didorong perubahan teknologi pertanian dan adaptasi
inovasi baru sehingga pertambahan produktivitasnya nyaris stagnan. Kalau pun
terdapat peningkatan produktivitas pada padi, jagung, kedelai, dan gula, itu
pun hanya karena kebetulan, misalnya kebetulan iklim sedang bersahabat dan
musim hujan sedang berpihak pada petani.
Pragmatisme target-target
swasembada pangan yang cenderung jangka pendek tersebut membuat aparat birokrasi
untuk senantiasa `menggarap' daratan Jawa, Madura, dan Bali. Selain karena
daerah-daerah sentra produksi di Jawa termasuk kategori target-target yang
mudah untuk menggenjot produksi kecuali penanggulangan alih fungsi lahan
sawah, fakta dominasi Jawa terhadap pangan nasional tidak terbantahkan lagi.
Sekitar 38 juta ton padi (52,6%) l di Indonesia berasal dari Jawa, demid kian
juga dengan 10 juta ton jagung k (54,5%), 520 ribu ton kedelai (66,9%), dan
1,6 juta ton (67,4%) gula yang berasal dari Jawa.
Jika pragmatisme pemikiran
pencapaian target swasembada tersebut yang dikedepankan, pada 5 tahun,
pemerintahan baru tidak akan berani ambil risiko untuk langsung menggeser
basis produksi pangan ke luar Jawa. Mungkin saja kebijakan konkret di Pulau
Jawa akan difokuskan pada pencegahan alih fungsi lahan sesuai dengan amanat
UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)
dan serangkaian peraturan pelaksanaannya.
Berbeda halnya jika Pemerintah
baru pada Kabinet Kerja ini lebih fokus pada penguatan fondasi kebijakan
pangan termasuk penciptaan areal tanah baru dan pencetakan sawah-sawah baru
di Luar Jawa. Penguatan fondasi yang dimaksudkan di sini juga termasuk
pembenahan dan perbaikan infrastruktur pertanian dan infrastruktur lain yang
berhubungan dengan pertanian secara langsung dan tidak langsung. Tidak ada
jalan lain kecuali untuk mencurahkan tenaga dan pikiran untuk memperbaiki dan
membenahi infrastruktur pertanian. Infrastruktur pertanian mampu membuat
proses perubahan teknologi biologi-kimiawi serta teknologi mekanis yang
begitu progresif. Proses tersebut tentunya didukung kapasitas petani dan
sumber daya manusia pertanian lainnya yang melahirkan inovasi.
Pemerintah wajib mengembangkan
sistem insentif baru yang berbasis inovasi dan teknologi, mulai dari benih,
produksi, dan panen-pascapanen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar