Kamis, 13 November 2014

Hegemoni Buku

Hegemoni Buku

S Prasetyo Utomo  ;  Dosen Universitas PGRI Semarang; Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah
KOMPAS, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SANGGUPKAH RUU Perbukuan yang tengah diproses menjadi UU mengembalikan demokratisasi penerbitan dan kualitas buku pelajaran sekolah pada para penerbit dan penulis?Kenyataannya, penanganan pemerintah terhadap buku pelajaran pemerintah selama ini memendam empat kelemahan besar.

Pertama, buku pelajaran ditulis dan diterbitkan dengan sistem proyek, dalam ketergesa-gesaan, sekadar memenuhi target. Kedua, di negara yang memiliki tingkat pluralisme etnis, kultur, bahasa, dan latar sosial, tak lazim mewajibkan buku pelajaran yang sama.

Ketiga, para penulis tak pernah mendapatkan hak-haknya untuk mengembangkan kualitas buku pelajaran menurut pandangan mereka. Keempat, penulis tak pernah memiliki kesempatan memperoleh royalti jika menerbitkan buku pelajaran itu pada penerbit tanpa hegemoni pemerintah.

Dari empat kelemahan itu, saya ingin mengangkat pentingnya kita mencipta buku yang memuliakan pluralisme. Kita tidak mungkin merancang dan melaksanakan pendidikan yang mengabaikan pluralitas.

Atmosfer kebudayaan kita yang multikultur, multietnis, dengan kesenjangan antara masyarakat kota dan pedalaman yang tajam telah menciptakan cultural lag.

Kesenjangan stratifikasi sosial menempatkan kaum miskin semakin terpinggirkan. Sudah selayaknya pembelajaran tidak lagi dengan keseragaman metanarasi: kurikulum, buku pelajaran, pendekatan, dan evaluasi. Justru narasi pendidikan hendaknya memenuhi pluralisme kebudayaan, kesenjangan sosial, dan kebutuhan masyarakat di berbagai wilayah geografi yang amat luas.

Dalam UU Perbukuan nanti pemerintah wajib mengembangkan konsep narasi pendidikan yang tak tunggal dan menghargai keunikan di setiap daerah sehingga mengangkat derajat dan martabat seluruh bangsa.

Beri pencerahan

Bagaimanapun, masyarakat perbatasan, masyarakat dengan status sosial ekonomi miskin atau masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman memerlukan pula pendidikan yang dapat membawa mereka pada dunia baru yang memberi pencerahan, memberi kesadaran akan makna perkembangan kebudayaan.

Lingkungan sekolah, efektivitas pendidikan, dan iklim sosial menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan.
Lihat, anak-anak buruh kelapa sawit Indonesia di Malaysia, mereka harus melintasi perbatasan untuk menempuh jenjang pendidikan di sekolah Indonesia. Mereka lebih mengenal kebudayaan dan ideologi Malaysia dibandingkan dengan bahasa, budaya, dan ideologi negeri leluhurnya.

Sudah semestinya para siswa daerah perbatasan ini mendapat perlakuan yang tak sama dengan siswa-siswa Indonesia lainnya yang memperoleh fasilitas memadai.

Di daerah-daerah miskin, sumber daya manusia tanpa keterampilan—dengan pendidikan yang rendah, tanpa peluang lapangan kerja—menyebabkan mereka terjerat kasus hukum dengan berbagai dakwaan, dari pekerja gelap sampai perdagangan manusia. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan yang kontekstual sesuai dengan problematika wilayahnya.

Pendidikan harus memberi jawaban atas tuntutan lingkungan sosial. Jika pendidikan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan sosial, masyarakat miskin menjadi tenaga kerja yang rendah dan tak memperoleh kesempatan untuk mengangkat derajat dan martabat sendiri.

Pendidikan di lingkungan masyarakat miskin, dengan kebutuhan mendesak untuk memperoleh pekerjaan, tentu tak mungkin dirancang dengan metanarasi yang bersifat seragam, dengan buku pelajaran seragam untuk mencapai mutu yang distandardisasikan.

Dengan demikian, setiap sekolah di setiap wilayah membutuhkan buku pelajaran yang saling berbeda. Kalau buku pelajaran yang mesti diangkat sebagai materi pembelajaran sama dengan yang beredar untuk siswa di ibu kota negara, hal itu tentu tidak akan membangkitkan kesadaran apa pun.

Picu nasionalisme

Menyadari bahwa pendidikan mesti dirancang dengan melihat keadaan sosial-ekonomi masyarakat, demografi, dan ideologi yang diperlukan untuk memacu nasionalisme peserta didik, tentu tidak mungkin menerapkan pendidikan dengan seperangkat kurikulum, buku pelajaran, pendekatan, pembelajaran, dan evaluasi yang bersifat tunggal. Apalagi, kenyataannya saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnis yang menggunakan lebih dari 250 bahasa.

Kesadaran untuk mengembalikan sekolah membeli buku pelajaran sesuai dengan latar sosial-ekonomi, keadaan demografi, dan ideologi masyarakat akan membentuk karakter siswa sekaligus lebih memuliakan siswa.

Memang kita memerlukan Badan Perbukuan Nasional—sebagaimana diamanatkan Pasal 32 RUU Perbukuan—demi mengkaji tren, minat, dan kebutuhan membaca masyarakat.

Namun, pemerintah tak mungkin memenuhi tren, minat, dan kebutuhan 
membaca masyarakat itu dengan hegemoni buku pelajaran. Maka, kembalikan pemenuhan kebutuhan itu pada para penerbit dan penulis. Biarkan sekolah membeli buku sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tantangan sosial, keadaan demografis, dan kultur yang melingkupi atmosfer pembelajaran.

Setiap sekolah memiliki tanggung jawab pendidikan untuk mencipta generasi yang terdidik, sanggup mengatasi persoalan sosial di hadapannya, dan memberi sumbangan pada pembentukan sumber daya manusia yang memiliki integritas dalam perkembangan kebudayaan. Bebaskan mereka dari hegemoni buku pelajaran yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kirimkan saja dana pembelian buku ke sekolah-sekolah. Biarkan mereka menentukan sendiri pembelian buku pelajaran yang memiliki kualitas dan konteks sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar