Hegemoni
Buku
S Prasetyo Utomo ; Dosen
Universitas PGRI Semarang; Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas
Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah
|
KOMPAS,
12 November 2014
SANGGUPKAH RUU Perbukuan yang
tengah diproses menjadi UU mengembalikan demokratisasi penerbitan dan
kualitas buku pelajaran sekolah pada para penerbit dan penulis?Kenyataannya,
penanganan pemerintah terhadap buku pelajaran pemerintah selama ini memendam empat
kelemahan besar.
Pertama, buku pelajaran ditulis
dan diterbitkan dengan sistem proyek, dalam ketergesa-gesaan, sekadar
memenuhi target. Kedua, di negara yang memiliki tingkat pluralisme etnis,
kultur, bahasa, dan latar sosial, tak lazim mewajibkan buku pelajaran yang
sama.
Ketiga, para penulis tak pernah
mendapatkan hak-haknya untuk mengembangkan kualitas buku pelajaran menurut
pandangan mereka. Keempat, penulis tak pernah memiliki kesempatan memperoleh
royalti jika menerbitkan buku pelajaran itu pada penerbit tanpa hegemoni
pemerintah.
Dari empat kelemahan itu, saya
ingin mengangkat pentingnya kita mencipta buku yang memuliakan pluralisme.
Kita tidak mungkin merancang dan melaksanakan pendidikan yang mengabaikan
pluralitas.
Atmosfer kebudayaan kita yang
multikultur, multietnis, dengan kesenjangan antara masyarakat kota dan
pedalaman yang tajam telah menciptakan cultural
lag.
Kesenjangan stratifikasi sosial
menempatkan kaum miskin semakin terpinggirkan. Sudah selayaknya pembelajaran
tidak lagi dengan keseragaman metanarasi: kurikulum, buku pelajaran,
pendekatan, dan evaluasi. Justru narasi pendidikan hendaknya memenuhi
pluralisme kebudayaan, kesenjangan sosial, dan kebutuhan masyarakat di
berbagai wilayah geografi yang amat luas.
Dalam UU Perbukuan nanti pemerintah
wajib mengembangkan konsep narasi pendidikan yang tak tunggal dan menghargai
keunikan di setiap daerah sehingga mengangkat derajat dan martabat seluruh
bangsa.
Beri pencerahan
Bagaimanapun, masyarakat
perbatasan, masyarakat dengan status sosial ekonomi miskin atau masyarakat
yang bermukim di wilayah pedalaman memerlukan pula pendidikan yang dapat
membawa mereka pada dunia baru yang memberi pencerahan, memberi kesadaran
akan makna perkembangan kebudayaan.
Lingkungan sekolah, efektivitas
pendidikan, dan iklim sosial menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan.
Lihat, anak-anak buruh kelapa
sawit Indonesia di Malaysia, mereka harus melintasi perbatasan untuk menempuh
jenjang pendidikan di sekolah Indonesia. Mereka lebih mengenal kebudayaan dan
ideologi Malaysia dibandingkan dengan bahasa, budaya, dan ideologi negeri
leluhurnya.
Sudah semestinya para siswa
daerah perbatasan ini mendapat perlakuan yang tak sama dengan siswa-siswa
Indonesia lainnya yang memperoleh fasilitas memadai.
Di daerah-daerah miskin, sumber
daya manusia tanpa keterampilan—dengan pendidikan yang rendah, tanpa peluang
lapangan kerja—menyebabkan mereka terjerat kasus hukum dengan berbagai
dakwaan, dari pekerja gelap sampai perdagangan manusia. Oleh karena itu,
diperlukan pendidikan yang kontekstual sesuai dengan problematika wilayahnya.
Pendidikan harus memberi
jawaban atas tuntutan lingkungan sosial. Jika pendidikan bersikap masa bodoh
terhadap lingkungan sosial, masyarakat miskin menjadi tenaga kerja yang rendah
dan tak memperoleh kesempatan untuk mengangkat derajat dan martabat sendiri.
Pendidikan di lingkungan
masyarakat miskin, dengan kebutuhan mendesak untuk memperoleh pekerjaan,
tentu tak mungkin dirancang dengan metanarasi yang bersifat seragam, dengan
buku pelajaran seragam untuk mencapai mutu yang distandardisasikan.
Dengan demikian, setiap sekolah
di setiap wilayah membutuhkan buku pelajaran yang saling berbeda. Kalau buku
pelajaran yang mesti diangkat sebagai materi pembelajaran sama dengan yang beredar
untuk siswa di ibu kota negara, hal itu tentu tidak akan membangkitkan
kesadaran apa pun.
Picu nasionalisme
Menyadari bahwa pendidikan
mesti dirancang dengan melihat keadaan sosial-ekonomi masyarakat, demografi,
dan ideologi yang diperlukan untuk memacu nasionalisme peserta didik, tentu
tidak mungkin menerapkan pendidikan dengan seperangkat kurikulum, buku
pelajaran, pendekatan, pembelajaran, dan evaluasi yang bersifat tunggal.
Apalagi, kenyataannya saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnis yang menggunakan
lebih dari 250 bahasa.
Kesadaran untuk mengembalikan
sekolah membeli buku pelajaran sesuai dengan latar sosial-ekonomi, keadaan
demografi, dan ideologi masyarakat akan membentuk karakter siswa sekaligus
lebih memuliakan siswa.
Memang kita memerlukan Badan
Perbukuan Nasional—sebagaimana diamanatkan Pasal 32 RUU Perbukuan—demi
mengkaji tren, minat, dan kebutuhan membaca masyarakat.
Namun, pemerintah tak mungkin
memenuhi tren, minat, dan kebutuhan
membaca masyarakat itu dengan hegemoni
buku pelajaran. Maka, kembalikan pemenuhan kebutuhan itu pada para penerbit
dan penulis. Biarkan sekolah membeli buku sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, tantangan sosial, keadaan demografis, dan kultur yang melingkupi
atmosfer pembelajaran.
Setiap sekolah memiliki tanggung
jawab pendidikan untuk mencipta generasi yang terdidik, sanggup mengatasi
persoalan sosial di hadapannya, dan memberi sumbangan pada pembentukan sumber
daya manusia yang memiliki integritas dalam perkembangan kebudayaan. Bebaskan
mereka dari hegemoni buku pelajaran yang selama ini menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Kirimkan saja dana pembelian
buku ke sekolah-sekolah. Biarkan mereka menentukan sendiri pembelian buku
pelajaran yang memiliki kualitas dan konteks sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar