Keadilan
Pengelolaan Kekayaan Alam
Purbayu Budi Santosa ; Guru
Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro, Pengampu
Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan
|
SUARA
MERDEKA, 11 November 2014
MULTATULI (nama samaran Eduard Douwes Dekker) dalam novel Max
Havelaar menyebut keelokan dan kekayaan alam Indonesia dengan zamrud
khatulistiwa. Grup pemusik legendaris, Koes Plus dalam lagu ”Kolam Susu”
mengibaratkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Arysio Santos, ilmuwan
Brasil, secara kontroversial menyataakan Indonesia dulu negara Atlantis yang
kaya raya. Tuhan menenggelamkannya karena perilaku negatif pemimpin dan
warganya, dan Atlantis kembali muncul sebagai negara Indonesia.
Pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014 disambut
sukacita, sukarelawan menggelar pesta rakyat. Pembentukan kabinet pun, meski
ada yang menyebut bukan kabinet impian, tetap menyiratkan harapan. Banyak
pengamat memberi antara 6 dan 7, tak maksimal. Lebih baik pada masa awal
sedang-sedang saja, yang penting nilai akhirnya maksimal.
Tantangan Jokowi-JK adalah mengembalikan nasionalisme.
Menurunnya semangat nasional kita mengakibatkan Indonesia sering dipandang
sebelah mata oleh negara lain, bahkan negara yang dulu menghormati kita.
Saking malunya, beberapa teman yang melawat ke luar negeri, tak mengaku orang
Indonesia karena pasti dikatakan,” Anda bodoh, negaranya dirampok pihak lain
kok dibiarkan.”
Sangat mengagumkan sumber daya alam Indonesia, antara lain hasil
tambangnya. Freeport, semasa penulis masih SD terkenal sebagai Tembagapura
(padahal hanya bagian wilayah) tak hanya menghasilkan tembaga tapi ada yang
menyebut juga penghasil emas terbesar di dunia, dan uranium. Kendati sebegitu
besar tambang yang dikelola pihak asing, sumbangannya kepada kita tahun 2011
”hanya” Rp 13,77 triliun. Padahal sumbangan cukai rokok pada tahun yang sama
bisa Rp 62,759 triliun.
Sumbangan dari cukai rokok yang sekian kali lipat dibanding
sektor pertambangan, cukup dilematis. Di satu sisi hasil cukai rokok tetap
diharapkan naik tetapi di sisi lain kampanye antirokok begitu masifnya
dilakukan. Sampai-sampai kemasan rokok sekarang ditambah gambar mengerikan.
Apakah dalam mengelola sumber daya alam, Indonesia tidak punya
kemandirian, alias dihegemoni pihak lain. Jokowi harus berani menyoroti akar
penyebab masalah ini karena jangan-jangan kita nanti hanya tetap mendapat
pemasukan kecil, dan pemasukan besar dikantongi perorangan atau kelompok
tertentu.
Dalam disiplin ilmu ekonomi kelembagaan, dikenal rent-seeking
theory (teori perburuan rente). Teori ini kurang lebihnya menyatakan berbagai
pihak mengadakan kerja sama untuk mencari keuntungan dari suatu kegiatan,
yang ujung-ujungnya merugikan rakyat banyak. Repotnya yang bekerja sama itu
adalah para penguasa yang sangat kuat.
Jadi Pengendali
Mafia penguasaan sumber daya alam Indonesia bukan saja di sektor
pertambangan melainkan di sektor lain yang menguasai hajat hidup orang
banyak, seperti sektor pangan dan pertanian. Kedelai Grobogan, yang
kualitasnya terbaik di dunia, dulu pada masa Orba bisa swasembada, sekarang
ini 80% digantikan kedelai transgenik dari AS. Padahal kedelai transgenik
masih tanda tanya dalam hal pengaruhnya bagi kesehatan, terbukti di AS
dipakai pakan ternak.
Komoditas pertanian lain pun tetap bermasalah, seperti beras
yang katanya surplus tapi kita tetap mengimpor. Di berbagai daerah beberapa
waktu lalu panen tebu, anehnya gula rafinasi impor membanjiri pasar.
Akibatnya harga tebu anjlok drastis sehingga di berbagai daerah petani tebu
rugi besar, bahkan tidak mau memanen.
Lewat Nawacita, Jokowo-JK berjanji konsisten dengan ajaran Bung
Karno, yaitu Trisakti. Pengembalian kekayaan Indonesia yang begitu
berlimpah-ruah tentu masuk ranah Trisakti. Ujian pertama adalah kenaikan
harga BBM yang subsidinya begitu besar. Semasa era SBY, yang menaikkan harga
BBM pasti ditentang oleh partai pendukung presiden.
Memang mustahil seluruh usaha sumber daya alam Indonesia
dikelola bangsa kita mengingat pihak asing juga sudah berinvestasi cukup
besar. Namun ke depan, paling tidak porsi untuk kita bisa lebih besar, dan
eksploitasinya tidak remang-remang seperti sekarang. Bung Hatta mengatakan,
dalam hal kerja sama pengelolaan sumber daya alam dengan luar negeri,
putra-putri Indonesia dilibatkan dan perlu dilatih. Bila sudah mampu, bangsa
kita mestinya jadi pengendali dan pengelola.
Presiden dan para pembantunya harus menjamin pemberlakuan hukum
secara adil tanpa pandang bulu. Kalau sisi hukum tumpul untuk kalangan atas
dan tajam untuk kalangan bawah, hasilnya akan merusak semuanya. Termasuk
kepercayaan rakyat yang begitu besar kepada pemimpin baru. Pasalnya. pemimpin
apalagi presiden, adalah cermin dan anutan bagi kalangan bawahan.
Selamat bekerja Jokowi, presiden harapan rakyat. Dengan anggota
kabinet yang baru mestinya kekayaan alam kita yang melimpah-ruah bisa kembali
dinikmati sebagian besar rakyat. Pertimbangkan kembali berbagai kebijakan
pengelolaan sumber daya alam, terutama mengingat dalam waktu dekat akan
menaikkan harga BBM dengan alasan beban defisit yang begitu besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar