Rabu, 12 November 2014

Kepahlawanan Pemimpin

Kepahlawanan Pemimpin

Achmad Firdaus  ;  Pengurus International Student Society
National University of Singapore
REPUBLIKA, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Siapa yang tidak kenal dengan Khalid bin Walid? Beliau adalah seorang pemuda suku Quraisy yang dijuluki sebagai Saifullah al-Maslul (pedang Allah yang terhunus). Dia sebagai panglima perang pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang termahsyur dan ditakuti di medan perang.

Khalid bin Walid juga merupakan pahlawan besar yang berhasil meruntuhkan kekuatan Persia, Romawi, dan Mesopotamia hanya dalam waktu empat tahun. Bahkan, Khalid bin Walid merupakan salah satu panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang karier kepemimpinannya di medan pertempuran. Di bawah kepemimpinan militernya, negara-negara Arab untuk pertama kalinya dalam sejarah membentuk entitas politik yang bersatu (kekhalifaan).

Kisah perjuangan para pahlawan sekitar 14 abad silam dalam mempertahankan wilayahnya sekaligus menegakkan kebenaran di atas muka bumi ini rupanya mewarnai juga perjuangan para pahlawan dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Indonesia. Sebut saja perjuangan Sultan Hasanuddin di Gowa-Makassar pada 1666 melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman. Atau, aksi heroisme yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda pada 1827 serta perjuangan Teuku Umar ketika Perang Aceh meletus pada 1873 yang saat itu baru menginjak usia 19 tahun, tapi dia tak gentar ikut berjuang melawan penjajah Belanda bersama pejuang Aceh lainnya.

Nilai-nilai perjuangan para pahlawan menegakkan kebenaran di zaman Nabi dan aksi heroik para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan tentunya harus selalu hadir dalam diri setiap insan, khususnya bagi para pemimpin di negeri ini. Namun, nilai kepahlawanan itu tentu tidak cukup jika dimaknai dengan kunjungan ke makam pahlawan atau seremonial peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November, tetapi harus diwujudkan dalam aksi nyata dengan meneruskan perjuangan orang-orang terdahulu.

Jika saat ini kita tidak diperhadapkan lagi pada situasi pertumpahan darah di medan perang, tapi perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kemiskinan adalah salah satu nilai kepahlawanan yang harus ada dalam jiwa setiap pemimpin saat ini.

Disadari atau tidak, di negeri yang beradab ini hampir tidak ditemukan lagi adanya sosok yang bisa dijadikan panutan. Namun, yang banyak berkeliaran hanyalah para pengkhianat yang membuat bangsa ini kehilangan nilai-nilai kepahlawanan.

Mereka yang mendambakan panutan kepahlawanan hanya mampu melihat batu nisan para pendahulu sebagai penawar rindu. Kegagapan para pemimpin dalam menjadi figur teladan dan memperjuangkan nasib rakyat seolah mencitrakan bahwa jiwa kepahlawanan tidak disertakan dalam kepemimpinan mereka. Para pemimpin belum mampu menjadi pelopor dan inspirator bagi rakyatnya. Padahal, secara semantik makna lain dari pahlawan adalah pelopor dan inspirator masa kini yang lebih dari sekadar produk zaman, memiliki inovasi dan gagasan, serta berjuang agar rakyatnya menjadi cerdas, sejahtera, dan beradab.

Selain kepahlawanan dan kepeloporan, dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini sangat dibutuhkan hadirnya pemimpin transformasional agar perubahan dapat melibatkan segenap komponen bangsa menuju pada keadaan yang lebih baik sehingga perlu adanya kesamaan cita-cita perjuangan antara pemimpin dan rakyat agar bisa terjalin hubungan dialogis. Berbagai studi tentang kepemimpinan transformasional ini mengungkapkan bahwa semua pemimpin transformasional memiliki kesamaan perilaku, yaitu visioning, inspiring, coaching, stimulating, dan team building.

Di era kebangkitan bangsa saat ini yang diperlukan adalah heroisme prokerakyatan. Dibutuhkan pemimpin yang bisa bekerja keras dan berjuang untuk rakyat tanpa pamrih. Namun, sosok dengan jiwa patriotisme seperti yang diperlihatkan Sukarno-Hatta, H Agus Salim, dan pahlawan lainnya kini mulai sangat langka ditemui di negeri ini.

Para pemimpin di negeri ini mendadak menjadi pahlawan bagi rakyat hanya ketika pemilu akan digelar. Mareka terjun langsung ke tengah masyarakat dan mendengarkan suara jeritan rakyat, aksi yang mereka perankan pun seolah mencitrakan bahwa mereka adalah pahlawan sejati. Sayangnya, mungkin mereka tidak memahami bahwa pahlawan itu bukan hanya berani mendengarkan jeritan rakyat, tetapi juga berani mengabdikan dirinya demi kesejahteraan bangsa tanpa batas waktu.

Pemimpin transformasional harus mampu memahami bahwa tujuan bersama yang hendak dicapai dalam kehidupan bernegara jauh lebih penting dari kepentingan kelompok. Karena itu, pemimpin transformasional harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai pendorong pada segenap jajarannya untuk bergerak cepat mencapai tujuan negara dan menempatkannya jauh lebih utama dibandingkan kepentingan individu masing-masing.

Pemimpin transformasional juga harus berkarakter melayani (servant leader) yang menekankan pada pelayanan publik secara konsisten dan etis terhadap rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang mampu membimbing, menggerakkan seluruh komponen bangsa, dan siap memderita dalam perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana dalam sebuah ungkapan Belanda yang sangat menarik, "leiden is lijden" (memimpin adalah menderita).

Di tengah krisis nilai kepahlawanan saat ini, masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepahlawanan dalam kepemimpinannya. Semoga pemimpin yang baru saat ini dapat mewarisi nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan para pahlawan terdahulu sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Begitu pula kebenaran yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dahulu kala, semoga akan tetap abadi di negeri tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar