Kepahlawanan
Pemimpin
Achmad Firdaus ; Pengurus
International Student Society
National University of Singapore
|
REPUBLIKA,
11 November 2014
Siapa yang tidak kenal dengan Khalid bin Walid? Beliau adalah
seorang pemuda suku Quraisy yang dijuluki sebagai Saifullah al-Maslul (pedang
Allah yang terhunus). Dia sebagai panglima perang pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin yang termahsyur dan ditakuti di medan perang.
Khalid bin Walid juga merupakan pahlawan besar yang berhasil
meruntuhkan kekuatan Persia, Romawi, dan Mesopotamia hanya dalam waktu empat
tahun. Bahkan, Khalid bin Walid merupakan salah satu panglima perang penting
yang tidak terkalahkan sepanjang karier kepemimpinannya di medan pertempuran.
Di bawah kepemimpinan militernya, negara-negara Arab untuk pertama kalinya
dalam sejarah membentuk entitas politik yang bersatu (kekhalifaan).
Kisah perjuangan para pahlawan sekitar 14 abad silam dalam
mempertahankan wilayahnya sekaligus menegakkan kebenaran di atas muka bumi
ini rupanya mewarnai juga perjuangan para pahlawan dalam berjuang merebut dan
mempertahankan kemerdekaan di Indonesia. Sebut saja perjuangan Sultan
Hasanuddin di Gowa-Makassar pada 1666 melawan penjajah Belanda di bawah
pimpinan Laksamana Cornelis Speelman. Atau, aksi heroisme yang dilakukan oleh
Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda pada 1827 serta perjuangan
Teuku Umar ketika Perang Aceh meletus pada 1873 yang saat itu baru menginjak
usia 19 tahun, tapi dia tak gentar ikut berjuang melawan penjajah Belanda
bersama pejuang Aceh lainnya.
Nilai-nilai perjuangan para pahlawan menegakkan kebenaran di
zaman Nabi dan aksi heroik para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan tentunya
harus selalu hadir dalam diri setiap insan, khususnya bagi para pemimpin di
negeri ini. Namun, nilai kepahlawanan itu tentu tidak cukup jika dimaknai
dengan kunjungan ke makam pahlawan atau seremonial peringatan Hari Pahlawan
setiap 10 November, tetapi harus diwujudkan dalam aksi nyata dengan
meneruskan perjuangan orang-orang terdahulu.
Jika saat ini kita tidak diperhadapkan lagi pada situasi
pertumpahan darah di medan perang, tapi perjuangan untuk menegakkan kebenaran
dan memberantas kemiskinan adalah salah satu nilai kepahlawanan yang harus
ada dalam jiwa setiap pemimpin saat ini.
Disadari atau tidak, di negeri yang beradab ini hampir tidak
ditemukan lagi adanya sosok yang bisa dijadikan panutan. Namun, yang banyak
berkeliaran hanyalah para pengkhianat yang membuat bangsa ini kehilangan
nilai-nilai kepahlawanan.
Mereka yang mendambakan panutan kepahlawanan hanya mampu melihat
batu nisan para pendahulu sebagai penawar rindu. Kegagapan para pemimpin
dalam menjadi figur teladan dan memperjuangkan nasib rakyat seolah
mencitrakan bahwa jiwa kepahlawanan tidak disertakan dalam kepemimpinan
mereka. Para pemimpin belum mampu menjadi pelopor dan inspirator bagi
rakyatnya. Padahal, secara semantik makna lain dari pahlawan adalah pelopor
dan inspirator masa kini yang lebih dari sekadar produk zaman, memiliki
inovasi dan gagasan, serta berjuang agar rakyatnya menjadi cerdas, sejahtera,
dan beradab.
Selain kepahlawanan dan kepeloporan, dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini sangat dibutuhkan hadirnya
pemimpin transformasional agar perubahan dapat melibatkan segenap komponen
bangsa menuju pada keadaan yang lebih baik sehingga perlu adanya kesamaan
cita-cita perjuangan antara pemimpin dan rakyat agar bisa terjalin hubungan
dialogis. Berbagai studi tentang kepemimpinan transformasional ini
mengungkapkan bahwa semua pemimpin transformasional memiliki kesamaan
perilaku, yaitu visioning, inspiring, coaching, stimulating, dan team
building.
Di era kebangkitan bangsa saat ini yang diperlukan adalah
heroisme prokerakyatan. Dibutuhkan pemimpin yang bisa bekerja keras dan
berjuang untuk rakyat tanpa pamrih. Namun, sosok dengan jiwa patriotisme
seperti yang diperlihatkan Sukarno-Hatta, H Agus Salim, dan pahlawan lainnya
kini mulai sangat langka ditemui di negeri ini.
Para pemimpin di negeri ini mendadak menjadi pahlawan bagi
rakyat hanya ketika pemilu akan digelar. Mareka terjun langsung ke tengah
masyarakat dan mendengarkan suara jeritan rakyat, aksi yang mereka perankan
pun seolah mencitrakan bahwa mereka adalah pahlawan sejati. Sayangnya,
mungkin mereka tidak memahami bahwa pahlawan itu bukan hanya berani
mendengarkan jeritan rakyat, tetapi juga berani mengabdikan dirinya demi
kesejahteraan bangsa tanpa batas waktu.
Pemimpin transformasional harus mampu memahami bahwa tujuan
bersama yang hendak dicapai dalam kehidupan bernegara jauh lebih penting dari
kepentingan kelompok. Karena itu, pemimpin transformasional harus mampu
menginternalisasikan nilai-nilai pendorong pada segenap jajarannya untuk
bergerak cepat mencapai tujuan negara dan menempatkannya jauh lebih utama
dibandingkan kepentingan individu masing-masing.
Pemimpin transformasional juga harus berkarakter melayani (servant leader) yang menekankan pada
pelayanan publik secara konsisten dan etis terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Pemimpin yang mampu membimbing, menggerakkan seluruh komponen bangsa, dan
siap memderita dalam perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana dalam sebuah ungkapan Belanda yang sangat menarik, "leiden is lijden" (memimpin
adalah menderita).
Di tengah krisis nilai kepahlawanan saat ini, masyarakat
Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepahlawanan dalam
kepemimpinannya. Semoga pemimpin yang baru saat ini dapat mewarisi
nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan para pahlawan terdahulu sehingga dapat
mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Begitu pula kebenaran yang
telah diperjuangkan oleh para pahlawan dahulu kala, semoga akan tetap abadi
di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar