Selasa, 11 November 2014

Jalan Terjal Pengakuan Hak Masyarakat Adat atas Hutan

Jalan Terjal

Pengakuan Hak Masyarakat Adat atas Hutan

Firdaus Cahyadi  ;  Direktur Informasi dan Komunikasi (Infokom)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
KOMPAS, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SEORANG perempuan suku Dayak Iban bernama Ilfinda bersaksi di inkuiri nasional tentang hak masyarakat adat atas wilayah hutan. Dalam acara yang diselenggarakan Komnas HAM untuk region Kalimantan, Oktober lalu, itu, ia ingat tahun 1997 Desa Semunying banyak menghasilkan tengkawang, juga durian, rambutan, dan belimbing hutan.

Saya ingat hutan masih lebat, banyak kayu berharga seperti tengkawang dan gaharu. Saya ikut mencari gaharu, juga rotan. Tetapi, sekarang semua tergusur kebun kelapa sawit,” kata Ilfinda.

Penggusuran hutan adat bukan hanya dialami masyarakat Iban. Ada banyak masyarakat adat yang hutannya digusur industri perkebunan dan tambang. Konflik lahan juga terjadi di Jambi. Di situ, hutan tempat tinggal suku Anak Dalam beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tak heran jika kemudian (mantan) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji akan memimpin registrasi hutan adat sebagai bagian dari pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Komitmen itu ditindaklanjuti awal September lalu ketika sembilan kementerian dan lembaga negara menandatangani kesepakatan untuk Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Melalui REDD+ (Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), yang berlangsung di Istana Wakil Presiden.

Pengakuan hutan adat terkait erat dengan pengakuan hak-hak masyarakat adat, baik sipil-politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Namun, tampaknya pernyataan pemerintah untuk mengakui hutan adat sekadar pencitraan. Politik pencitraan itu semakin tampak dari ketidakseriusan mereka dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA). Mengapa demikian? Sebab, mustahil mengakui keberadaan hutan adat tanpa mengakui hak-hak masyarakat adat.

Pembahasan RUU PPMHA tahun 2012 dijanjikan selesai pembahasaannya. Namun, hingga akhir masa kerja DPR 2009-2014, RUU PPMHA tidak pernah disahkan. Kabarnya, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) justru menjadi pihak yang menghambat pengesahan RUU PPMHA menjadi UU.

Kemenhut adalah pihak pemerintah yang sering bersinggungan dengan konflik hutan adat, tetapi tampaknya belum begitu legawa dengan keputusan MK yang mengakui keberadaan hutan adat. Bisa jadi karena pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas hutan adat yang dituangkan dalam UU, berpotensi menggerus kepentingan ekonomi-politik yang muncul dari perizinan eksploitasi di sektor kehutanan.

Sebuah penelitian Rights and Resources Initiative yang berjudul ”Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies” mengungkapkan bahwa sedikitnya 56.102 hektar lahan adat di Kalimantan tumpang tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit.

SBY saat menjadi presiden dan membawahkan para menteri seharusnya memanfaatkan kesempatan untuk memulai pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui UU. Dengan kewenangannya, mantan Presiden SBY tentu memiliki kewenangan untuk menghentikan sepak terjang pihak-pihak yang ”menghambat” pembahasan RUU PPMHA menjadi UU. Namun, kenyataannya tidak ada tindakan apa pun. Gara-gara politik pencitraan, masyarakat adatlah yang dirugikan.

Pemerintahan baru

Lantas, bagaimana nasib masyarakat adat di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla? Apakah hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas wilayah hutan, juga akan mendapat pengakuan penuh dari pemerintahan baru?

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi seharusnya menghentikan politik pencitraan dalam persoalan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Dalam visi dan misinya saat kampanye pemilihan presiden (pilpres), Jokowi secara jelas akan memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Artinya, pemerintahan baru di bawah Jokowi harus melanjutkan pembahasaan RUU PPMHA.

Namun, melanjutkan RUU PPMHA oleh pemerintahan baru bukan semudah membalikkan telapak tangan. Jika di rezim SBY halangan datang dari pemerintah, bisa jadi kali ini halangan untuk mengesahkan RUU PPMHA menjadi UU datang dari parlemen. Ini karena mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sekarang duduk menjadi Ketua MPR. Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengusung Zulkifli Hasan menjadi anggota parlemen adalah bagian Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini menguasai parlemen.

Sangat sulit bagi Presiden Jokowi untuk memuluskan pengesahan RUU PPMHA menjadi UU. Di sinilah tantangan yang harus diselesaikan oleh Jokowi. Sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara, Jokowi harus memiliki alternatif kebijakan untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas wilayah hutan adatnya.

Jokowi tentu tidak sendiri dalam persoalan pengakuan hutan adat ini. Sebentar lagi Komnas HAM akan memberikan rekomendasi terkait dengan hak masyarakat adat atas wilayah hutan adatnya. Rekomendasi Komnas HAM itu bisa menjadi landasan bagi Jokowi untuk memberikan pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas wilayah hutan adat. Jalan untuk mengakui hak masyarakat adat atas hutan adatnya memang cukup terjal, tetapi itu bukan berarti tidak bisa dilewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar