Jalan
Terjal
Pengakuan
Hak Masyarakat Adat atas Hutan
Firdaus Cahyadi ; Direktur
Informasi dan Komunikasi (Infokom)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
|
KOMPAS,
10 November 2014
SEORANG perempuan suku Dayak
Iban bernama Ilfinda bersaksi di inkuiri nasional tentang hak masyarakat adat
atas wilayah hutan. Dalam acara yang diselenggarakan Komnas HAM untuk region
Kalimantan, Oktober lalu, itu, ia ingat tahun 1997 Desa Semunying banyak
menghasilkan tengkawang, juga durian, rambutan, dan belimbing hutan.
Saya ingat hutan masih lebat,
banyak kayu berharga seperti tengkawang dan gaharu. Saya ikut mencari gaharu,
juga rotan. Tetapi, sekarang semua tergusur kebun kelapa sawit,” kata Ilfinda.
Penggusuran hutan adat bukan
hanya dialami masyarakat Iban. Ada banyak masyarakat adat yang hutannya
digusur industri perkebunan dan tambang. Konflik lahan juga terjadi di Jambi.
Di situ, hutan tempat tinggal suku Anak Dalam beralih fungsi menjadi perkebunan
kelapa sawit.
Tak heran jika
kemudian (mantan) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji
akan memimpin registrasi hutan adat sebagai bagian dari pelaksanaan putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui bahwa hutan adat bukan lagi hutan
negara. Komitmen itu ditindaklanjuti awal September lalu ketika sembilan
kementerian dan lembaga negara menandatangani kesepakatan untuk Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Melalui REDD+ (Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation/Reduksi
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), yang berlangsung di Istana Wakil
Presiden.
Pengakuan hutan adat terkait
erat dengan pengakuan hak-hak masyarakat adat, baik sipil-politik maupun
ekonomi, sosial dan budaya. Namun, tampaknya pernyataan pemerintah untuk
mengakui hutan adat sekadar pencitraan. Politik pencitraan itu semakin tampak
dari ketidakseriusan mereka dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA).
Mengapa demikian? Sebab, mustahil mengakui keberadaan hutan adat tanpa
mengakui hak-hak masyarakat adat.
Pembahasan RUU PPMHA tahun 2012
dijanjikan selesai pembahasaannya. Namun, hingga akhir masa kerja DPR
2009-2014, RUU PPMHA tidak pernah disahkan. Kabarnya, Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) justru menjadi pihak yang menghambat pengesahan RUU PPMHA menjadi
UU.
Kemenhut adalah pihak
pemerintah yang sering bersinggungan dengan konflik hutan adat, tetapi
tampaknya belum begitu legawa dengan keputusan MK yang mengakui keberadaan
hutan adat. Bisa jadi karena pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak
atas hutan adat yang dituangkan dalam UU, berpotensi menggerus kepentingan
ekonomi-politik yang muncul dari perizinan eksploitasi di sektor kehutanan.
Sebuah penelitian Rights and Resources Initiative yang
berjudul ”Global Capital, Local
Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial
Concessions in Emerging Market Economies” mengungkapkan bahwa sedikitnya
56.102 hektar lahan adat di Kalimantan tumpang tindih dengan konsesi
perkebunan kelapa sawit.
SBY saat menjadi presiden dan
membawahkan para menteri seharusnya memanfaatkan kesempatan untuk memulai
pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui UU. Dengan kewenangannya, mantan
Presiden SBY tentu memiliki kewenangan untuk menghentikan sepak terjang
pihak-pihak yang ”menghambat” pembahasan RUU PPMHA menjadi UU. Namun,
kenyataannya tidak ada tindakan apa pun. Gara-gara politik pencitraan,
masyarakat adatlah yang dirugikan.
Pemerintahan baru
Lantas, bagaimana nasib
masyarakat adat di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla? Apakah hak-hak
masyarakat adat, termasuk hak atas wilayah hutan, juga akan mendapat
pengakuan penuh dari pemerintahan baru?
Pemerintahan di bawah
kepemimpinan Presiden Jokowi seharusnya menghentikan politik pencitraan dalam
persoalan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Dalam visi dan misinya saat
kampanye pemilihan presiden (pilpres), Jokowi secara jelas akan
memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Artinya, pemerintahan
baru di bawah Jokowi harus melanjutkan pembahasaan RUU PPMHA.
Namun, melanjutkan RUU PPMHA
oleh pemerintahan baru bukan semudah membalikkan telapak tangan. Jika di
rezim SBY halangan datang dari pemerintah, bisa jadi kali ini halangan untuk
mengesahkan RUU PPMHA menjadi UU datang dari parlemen. Ini karena mantan
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sekarang duduk menjadi Ketua MPR. Partai
Amanat Nasional (PAN) yang mengusung Zulkifli Hasan menjadi anggota parlemen
adalah bagian Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini menguasai parlemen.
Sangat sulit bagi Presiden
Jokowi untuk memuluskan pengesahan RUU PPMHA menjadi UU. Di sinilah tantangan
yang harus diselesaikan oleh Jokowi. Sebagai kepala pemerintahan dan
sekaligus kepala negara, Jokowi harus memiliki alternatif kebijakan untuk
memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas
wilayah hutan adatnya.
Jokowi tentu tidak sendiri
dalam persoalan pengakuan hutan adat ini. Sebentar lagi Komnas HAM akan
memberikan rekomendasi terkait dengan hak masyarakat adat atas wilayah hutan
adatnya. Rekomendasi Komnas HAM itu bisa menjadi landasan bagi Jokowi untuk
memberikan pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas
wilayah hutan adat. Jalan untuk mengakui hak masyarakat adat atas hutan
adatnya memang cukup terjal, tetapi itu bukan berarti tidak bisa dilewati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar