Selasa, 11 November 2014

Susun Rapor Jokowi

Susun Rapor Jokowi

Anas Urbaningrum  ;  Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia
REPUBLIKA, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Berbagai kalangan merespons kabinet Presiden Joko Widodo, mulai dari kompetensi, rekam jejak, personalitas, hingga keterwakilan. Secara umum, responsnya relatif datar dan tanpa euforia berlebihan. Respons kalkulatif itu menunjukkan ekspektasi yang tinggi.

Tantangan berat Jokowi adalah mengelola harapan yang membuncah. Apalagi, Jokowi dipersepsikan merakyat, bersih, dan menunjukkan penguasaan substansi-praksis dan ketegasan.

Ekspektasi yang tinggi itulah yang sempat menyerimpung langkah Presiden Jokowi menyusun kabinet. Pernyataan sebelumnya tentang kabinet ramping, tidak ada bagi-bagi kursi, serta posisinya yang bukan figur sentral dalam partai politik membuatnya tersandera oleh tarik-menarik kepentingan.

Hasil dari proses yang intens itu adalah kabinet yang diumumkan dengan simbol menarik; baju putih, (sebagian) masuk sambil berlari, suasana informal dan egaliter di taman dalam kompleks Istana, serta busana batik saat pelantikan. 

Paling tidak, simbol ini memberi kesegaran baru dan secercah gambaran tentang pemerintahan macam apa yang akan hadir lima tahun ke depan.
Kritik pun muncul. Salah satu kritik, tidak adanya kementerian yang spesifik menyebut ekonomi kreatif. Padahal, ekonomi kreatif ini salah satu "jual kecap" Presiden Jokowi yang direspons positif dan menjadi salah satu dari sedikit "smes" yang menukik tajam saat debat calon presiden. Bagaimana Presiden Jokowi merespons kritik ini, kita tunggu saja. Kabarnya, akan dibentuk Badan Ekonomi Kreatif.

Saya ingin mengajak masyarakat membuat indikator makro menilai pemerintahan Jokowi sehingga kita tidak terjebak pada tingkah laku dan personalitas anggota kabinet Jokowi. Mari kita melihat hal yang lebih substansial.

Jika kita ingin memberi rapor pada Presiden Jokowi setelah 100 hari pertama, semester pertama, tahun pertama, kita harus menetapkan indikatornya.
Pertama, gagasan yang ditawarkan.

Dalam Pilpres 2014, Jokowi mengusung gagasan Revolusi Mental dan sembilan agenda perubahan (Nawacita). Butir-butir utama Nawacita, ter utama meng hadirkan kembali negara yang bekerja untuk melindungi segenap bangsa, mewujudkan kemandirian ekonomi, serta menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi beresonansi dengan kerinduan rakyat.

Gagasan besar ini merupakan "kontrak politik" antara Jokowi dan rakyat Indonesia yang bisa ditagih. Gagasan ini akan mewarnai tiga indikator, yaitu orang, kebijakan, dan eksekusi.

Kedua, pemilihan dan penempatan orang. Gagasan yang baik harus dijalankan oleh orang yang tepat. Jokowi telah memilih orang yang tepat mewujudkan gagasan Revolusi Mental dan Nawacita.

Kita masih menunggu siapa yang dianggap tepat untuk jadi Jaksa Agung yang tentu sangat instrumental dalam mewujudkan visi pemerintahan bersih Jokowi.
Saya menilai, kabinet ini hasil terbaik usaha Jokowi dari stok yang ada dan lingkungan politik yang menyertai pembentukannya. Memberi kesempatan kabinet bekerja adalah pilihan bijak.

Pemilihan dan penempatan orang yang tepat juga harus dilakukan Presiden Jokowi dalam membangun lembaga kepresidenan. Sejak Presiden Abdurrahman Wahid, kita punya juru bicara kepresidenan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat unit kerja kepresidenan.

Juga ada staf dan kedeputian. Apa pun formatnya, "ring satu" Presiden Jokowi di Istana harus diisi orang yang tepat.

Ketiga, perumusan kebijakan. Turunan konkret dari gagasan abstrak sebuah pemerintahan adalah kebijakan.

Kebijakan inilah yang bersentuhan dengan masyarakat. Ujian besar Jokowi adalah kebijakan harga BBM karena presiden terdahulu di masa akhir pemerintahannya enggan bertanggung jawab mengambil kebijakan tak populer ini.

Tantangan Jokowi makin berat karena suara koalisi pendukungnya bukan mayoritas di DPR. Karena itu, Jokowi perlu membangun komunikasi politik yang berdaya rangkul kuat untuk memastikan dukungan politik pada kebijakan yang akan diambilnya.

Keempat, kecakapan eksekusi. Inilah tantangan terberat bagi setiap pemimpin dan pembuktian kemampuan pemimpin mengolah masakan dari racikan ketiga di atas. Agar suatu kebijakan bisa dieksekusi, harus ada tatanan kelembagaan yang sesuai corak dan konsekuensinya.

Ketika ada kebijakan yang tidak men capai tujuan, orang sering langsung menilai kebijakan itu salah. Padahal, harus dicermati kembali, apakah kebijakannya yang salah atau kebijakan itu tidak dieksekusi dengan baik. Tugas pemimpin memastikan eksekusi kebijakan.

Eksekusi bukan semata masalah taktis yang dapat dilempar ke bawah dengan bungkus istilah "delegasi".

Jokowi sudah punya modal manajemen blusukan. Gaya komunikasi informal juga meminimalkan jarak dan potensi kesalahan penerjemahan oleh pembantunya. Terobosan ini semoga dapat menjembatani kesenjangan antara cita-cita seorang pemimpin dan kemampuan organisasi yang dipimpin dalam mencapai cita-cita itu. Blusukan bukan sekadar blusukan, melainkan harus bermakna bagi eksekusi kebijakan.

Setelah kita menyusun indikator penilaian kinerja, baru kita bisa melakukan penilaian. Penilaian objektif, setajam dan sekritis apapun tidak perlu dinilai sebagai upaya menjatuhkan pemerintahan. Kritik adalah vitamin untuk menyehatkan dan menguatkan. Sudah bukan masanya pemimpin alergi kritik.

Kita mengenal istilah 100 hari pertama yang dimulai oleh Presiden AS Franklin D Rossevelt pada 1933. Ini referensi populer untuk mengukur hasil-hasil cepat (quick wins) dan manajemen ekspektasi jangka pendek. Presiden Yudhoyono juga pernah mencobanya.

Pada jangka yang lebih panjang dan institusional, kita mengenal pidato Presiden pada 16 Agustus tiap tahun sebagai pidato kenegaraan menyambut HUT RI sekaligus menjadi pengantar pembahasan Rancangan APBN. Pidato ini merupakan konvensi ketatanegaraan kita yang positif dan perlu dilanjutkan.

Penyusunan APBN dapat menjadi momen evaluasi pemerintahan, khususnya bidang ekonomi dan kesejahteraan, karena dalam APBN itulah tercantum indikator kuantitatif. Penilaian berjalan setiap saat sesuai perkembangan.

Presiden Jokowi harus mampu meracik empat elemen di atas untuk merawat harapan dan kepercayaan publik. Kita juga harus merawat harapan terhadap pemerintahan yang lebih baik dengan cara memberi kesempatan Jokowi bekerja dan tak segan menyampaikan kritik konstruktif. Akhirnya, rapor final Jokowi akan diberikan rakyat pada Pemilu 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar