Susun
Rapor Jokowi
Anas Urbaningrum ; Ketua
Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
REPUBLIKA,
10 November 2014
Berbagai kalangan merespons
kabinet Presiden Joko Widodo, mulai dari kompetensi, rekam jejak,
personalitas, hingga keterwakilan. Secara umum, responsnya relatif datar dan
tanpa euforia berlebihan. Respons kalkulatif itu menunjukkan ekspektasi yang
tinggi.
Tantangan berat Jokowi adalah
mengelola harapan yang membuncah. Apalagi, Jokowi dipersepsikan merakyat,
bersih, dan menunjukkan penguasaan substansi-praksis dan ketegasan.
Ekspektasi yang tinggi itulah
yang sempat menyerimpung langkah Presiden Jokowi menyusun kabinet. Pernyataan
sebelumnya tentang kabinet ramping, tidak ada bagi-bagi kursi, serta
posisinya yang bukan figur sentral dalam partai politik membuatnya tersandera
oleh tarik-menarik kepentingan.
Hasil dari proses yang intens
itu adalah kabinet yang diumumkan dengan simbol menarik; baju putih,
(sebagian) masuk sambil berlari, suasana informal dan egaliter di taman dalam
kompleks Istana, serta busana batik saat pelantikan.
Paling tidak, simbol ini
memberi kesegaran baru dan secercah gambaran tentang pemerintahan macam apa
yang akan hadir lima tahun ke depan.
Kritik pun muncul. Salah satu
kritik, tidak adanya kementerian yang spesifik menyebut ekonomi kreatif. Padahal,
ekonomi kreatif ini salah satu "jual kecap" Presiden Jokowi yang
direspons positif dan menjadi salah satu dari sedikit "smes" yang
menukik tajam saat debat calon presiden. Bagaimana Presiden Jokowi merespons
kritik ini, kita tunggu saja. Kabarnya, akan dibentuk Badan Ekonomi Kreatif.
Saya ingin mengajak masyarakat
membuat indikator makro menilai pemerintahan Jokowi sehingga kita tidak
terjebak pada tingkah laku dan personalitas anggota kabinet Jokowi. Mari kita
melihat hal yang lebih substansial.
Jika kita ingin memberi rapor
pada Presiden Jokowi setelah 100 hari pertama, semester pertama, tahun
pertama, kita harus menetapkan indikatornya.
Pertama, gagasan yang
ditawarkan.
Dalam Pilpres 2014, Jokowi mengusung
gagasan Revolusi Mental dan sembilan agenda perubahan (Nawacita). Butir-butir
utama Nawacita, ter utama meng hadirkan kembali negara yang bekerja untuk
melindungi segenap bangsa, mewujudkan kemandirian ekonomi, serta menolak
negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi beresonansi dengan kerinduan rakyat.
Gagasan besar ini merupakan
"kontrak politik" antara Jokowi dan rakyat Indonesia yang bisa
ditagih. Gagasan ini akan mewarnai tiga indikator, yaitu orang, kebijakan,
dan eksekusi.
Kedua, pemilihan dan penempatan
orang. Gagasan yang baik harus dijalankan oleh orang yang tepat. Jokowi telah
memilih orang yang tepat mewujudkan gagasan Revolusi Mental dan Nawacita.
Kita masih menunggu siapa yang
dianggap tepat untuk jadi Jaksa Agung yang tentu sangat instrumental dalam
mewujudkan visi pemerintahan bersih Jokowi.
Saya menilai, kabinet ini hasil
terbaik usaha Jokowi dari stok yang ada dan lingkungan politik yang menyertai
pembentukannya. Memberi kesempatan kabinet bekerja adalah pilihan bijak.
Pemilihan dan penempatan orang
yang tepat juga harus dilakukan Presiden Jokowi dalam membangun lembaga kepresidenan.
Sejak Presiden Abdurrahman Wahid, kita punya juru bicara kepresidenan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat unit kerja kepresidenan.
Juga ada staf dan kedeputian.
Apa pun formatnya, "ring satu" Presiden Jokowi di Istana harus
diisi orang yang tepat.
Ketiga, perumusan kebijakan.
Turunan konkret dari gagasan abstrak sebuah pemerintahan adalah kebijakan.
Kebijakan inilah yang
bersentuhan dengan masyarakat. Ujian besar Jokowi adalah kebijakan harga BBM
karena presiden terdahulu di masa akhir pemerintahannya enggan bertanggung
jawab mengambil kebijakan tak populer ini.
Tantangan Jokowi makin berat
karena suara koalisi pendukungnya bukan mayoritas di DPR. Karena itu, Jokowi
perlu membangun komunikasi politik yang berdaya rangkul kuat untuk memastikan
dukungan politik pada kebijakan yang akan diambilnya.
Keempat, kecakapan eksekusi.
Inilah tantangan terberat bagi setiap pemimpin dan pembuktian kemampuan
pemimpin mengolah masakan dari racikan ketiga di atas. Agar suatu kebijakan
bisa dieksekusi, harus ada tatanan kelembagaan yang sesuai corak dan
konsekuensinya.
Ketika ada kebijakan yang tidak
men capai tujuan, orang sering langsung menilai kebijakan itu salah. Padahal,
harus dicermati kembali, apakah kebijakannya yang salah atau kebijakan itu
tidak dieksekusi dengan baik. Tugas pemimpin memastikan eksekusi kebijakan.
Eksekusi bukan semata masalah
taktis yang dapat dilempar ke bawah dengan bungkus istilah "delegasi".
Jokowi sudah punya modal manajemen
blusukan. Gaya komunikasi informal juga meminimalkan jarak dan potensi
kesalahan penerjemahan oleh pembantunya. Terobosan ini semoga dapat menjembatani
kesenjangan antara cita-cita seorang pemimpin dan kemampuan organisasi yang
dipimpin dalam mencapai cita-cita itu. Blusukan bukan sekadar blusukan,
melainkan harus bermakna bagi eksekusi kebijakan.
Setelah kita menyusun indikator
penilaian kinerja, baru kita bisa melakukan penilaian. Penilaian objektif,
setajam dan sekritis apapun tidak perlu dinilai sebagai upaya menjatuhkan
pemerintahan. Kritik adalah vitamin untuk menyehatkan dan menguatkan. Sudah
bukan masanya pemimpin alergi kritik.
Kita mengenal istilah 100 hari
pertama yang dimulai oleh Presiden AS Franklin D Rossevelt pada 1933. Ini
referensi populer untuk mengukur hasil-hasil cepat (quick wins) dan manajemen ekspektasi jangka pendek. Presiden Yudhoyono
juga pernah mencobanya.
Pada jangka yang lebih panjang
dan institusional, kita mengenal pidato Presiden pada 16 Agustus tiap tahun
sebagai pidato kenegaraan menyambut HUT RI sekaligus menjadi pengantar pembahasan
Rancangan APBN. Pidato ini merupakan konvensi ketatanegaraan kita yang
positif dan perlu dilanjutkan.
Penyusunan APBN dapat menjadi
momen evaluasi pemerintahan, khususnya bidang ekonomi dan kesejahteraan,
karena dalam APBN itulah tercantum indikator kuantitatif. Penilaian berjalan
setiap saat sesuai perkembangan.
Presiden Jokowi harus mampu
meracik empat elemen di atas untuk merawat harapan dan kepercayaan publik.
Kita juga harus merawat harapan terhadap pemerintahan yang lebih baik dengan
cara memberi kesempatan Jokowi bekerja dan tak segan menyampaikan kritik
konstruktif. Akhirnya, rapor final Jokowi akan diberikan rakyat pada Pemilu
2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar