Harapan
Demokrasi Tunisia
Zuhairi Misrawi ; Analis
Pemikiran dan Politik Timur Tengah
The Middle East Institute
|
KOMPAS,
11 November 2014
KOMISI Pemilihan Umum Tunisia memutuskan Partai Nidaa Tounes
sebagai pemenang pemilu dengan 85 kursi (39,1 persen). Disusul Partai Ennahda
mendapatkan 69 kursi (24,4 persen), Partai Ettehad Wathani 16 kursi, Partai
Koalisi Gabha Sya’biya 15 kursi, Afaq Tounes 8 kursi, serta beberapa calon
independen dan 11 partai lain 24 kursi.
Di tengah pesimisme atas masa depan revolusi dan demokrasi di
dunia Arab, Tunisia tampil sebagai harapan sekaligus contoh terbaik dalam
transisi demokrasi. Setidaknya proses demokrasi berjalan mulus, tidak ada
kudeta militer. Negara-negara Arab yang disapu angin revolusi mesti
menjadikan Tunisia sebagai contoh.
Tunisia mematahkan tesis bahwa dunia Arab merupakan pengecualian
dalam demokrasi (an exceptionalism).
Demokrasi bisa berkembang di mana saja sejauh didukung konstitusi yang
demokratis dan pelaku demokrasi yang berkomitmen terhadap demokrasi.
Pertanyaannya, kenapa demokrasi di Tunisia relatif mulus dan memberi harapan
bagi demokratisasi di Arab?
Ennahda
Apresiasi patut diberikan kepada Ennahda, partai pimpinan Rachid
Ghannouchi. Sebagai pemenang pemilu setelah revolusi akhir Desember 2011
dengan perolehan 41 persen kursi di parlemen, Ennahda tak memonopoli
kekuasaan. Ia berbagi dengan faksi sekuler dan mengangkat Moncef Marzouki,
mantan aktivis hak asasi manusia dan elite Partai Kongres sebagai presiden.
Ennahda juga berhasil melahirkan konstitusi yang demokratis
dengan menghapus diktum ”formalisasi Syariat Islam”, menegaskan pentingnya
hak asasi manusia, dan menegakkan nilai-nilai kewarganegaraan.
Tunisia menjadi satu-satunya negara Arab yang di dalam
konstitusinya secara eksplisit tidak menyebut formalisasi Syariat Islam.
Padahal, dunia Arab pada umumnya menjadikan upaya itu sebagai isu politik. Di
Mesir, diktum formalisasi Syariat Islam ditolak Gamal Abdel Nasser, tetapi
diakomodasi Anwar Sadat sebagai konsesi politik dengan kelompok islamis,
khususnya Ikhwanul Muslimin.
Setelah tumbangnya Hosni Mubarak, perdebatan formalisasi Syariat
Islam kembali mengemuka. Rencana menghapus diktum itu kandas karena Al-Azhar
dan beberapa faksi Islam mendesak agar Syariat Islam dicantumkan dalam
konstitusi sebagai bagian dari identitas keislaman.
Tunisia berbeda dengan Mesir. Negara yang mayoritas penduduknya
Muslim ini memilih jalur demokrasi substantif dengan mengakomodasi
prinsip-prinsip demokrasi: kesetaraan jender, pluralisme, dan hak asasi.
Tunisia memilih liberal democracy
daripada illiberal democracy
seperti Mesir, Libya, dan Yaman.
Istimewanya, lokomotif liberal
democracy tersebut adalah Ennahda yang berhaluan islamis. Sebagai partai
politik dengan akar geneologis Ikhwanul
Muslimin, Ennahda memilih jalan yang berbeda. Di bawah kepemimpinan
Rachid Ghannouchi memilih demokrasi secara kafah. Islamisme direkonstruksi
dan direvitalisasi menjadi konsep demokrasi utuh dan diformulasikan dalam
konstitusi Tunisia.
Dua hal yang menjadi kunci keberhasilan Ennahda membangun
demokrasi di Tunisia: Pertama, toleransi kembar (twin toleration). Tunisia di bawah rezim Ennahda menggarisbawahi
pentingnya agama dan negara menjaga jarak serta melakukan intervensi satu
domain atas domain yang lain. Agama tak mengintervensi kebijakan publik yang
selaras dengan substansi demokrasi dan kemaslahatan publik. Sebaliknya,
negara tidak mengintervensi aktivitas agama-agama. Negara menjamin kebebasan
beribadah dan kebebasan berekspresi setiap kelompok agama.
Kedua, membangun konsensus dan konsultasi. Ennahda sebagai
kekuatan politik terbesar di Tunisia setelah revolusi belajar dari rezim
diktator Ben Ali. Ia ingin merangkul semua faksi politik meskipun basis
Ghannouchi adalah kaum islamis.
Menurut Alfred Stepan dan Juan J Linz, Tunisia berhasil melewati
hambatan dalam membangun demokrasi karena kubu islamis dan kubu sekuler mampu
membangun konsensus melalui konsultasi dan musyawarah delapan tahun terakhir.
Saat Ennahda berkuasa setelah revolusi, otomatis kubu islamis dan kubu
sekuler mudah membangun koalisi. Transisi demokrasi yang kondusif di Tunisia
ini tidak terjadi di Mesir karena ketidakmampuan kubu islamis dan kubu
sekuler membangun konsensus sehingga militer mengambil alih (Journal of Democracy, 2013).
Puncaknya, saat kalah telak dalam pemilu Oktober 2014, Ennahda
menerima kekalahan dengan elegan. Ennahda menganggapnya sebagai konsekuensi
kegagalan dalam memerintah sehingga publik memilih Partai Nidaa Tounes yang
berhaluan liberal untuk berkuasa.
Di sini, kubu islamis sangat determinan menentukan masa depan
demokrasi di dunia Arab. Jika kubu islamis tidak mampu membangun liberal democracy, dunia Arab akan
masuk dalam kubangan kehancuran, apalagi kelompok islamis menggunakan
cara-cara ekstrem dalam meraih kekuasaan. Pengalaman Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS) menjadi pelajaran berharga karena kegagalan dalam membangun
demokrasi akan menjadikan negara berada di tangan kaum ekstremis.
Harapan
Tunisia membuka cakrawala politik dunia Arab bahwa demokrasi
bukan utopia. Slogan ”Islam sebuah solusi” tak mampu menggagalkan isu-isu
substantif, seperti penanggulangan kemiskinan, pemerintahan bersih, dan reformasi
birokrasi. Publik Tunisia terlihat lebih dewasa dalam memaknai politik dan
tidak mudah terkecoh retorika kaum islamis.
Kemenangan Nidaa Tounes juga tidak bisa dilepaskan dari trauma
atas NIIS yang menyebabkan publik sangat hati-hati dengan kelompok serupa.
Perubahan di Tunisia sangat tergantung dari sejauh mana partai pemenang
pemilu mampu menerjemahkan liberal democracy dalam kebijakan langsung ke
publik.
Bagi Ennahda, kekalahan dalam pemilu bukan akhir dari sejarah.
Mereka dapat menjadi oposisi yang efektif di parlemen sembari mereformasi
internal.
Dalam konteks keindonesiaan, saatnya pemerintah membangun
hubungan bilateral yang lebih intensif dengan Tunisia. Indonesia dan Tunisia
dapat menyuarakan kepada dunia bahwa Islam dan demokrasi tidak bertentangan
dalam memperkuat demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar