Jadikan
Perguruan Tinggi Seatap Saja
Sahala Tua Saragih ; Dosen
Prodi Jurnalistik,
Fikom Unpad Jatinangor, Jawa Barat
|
SATU
HARAPAN, 23 Oktober 2014
Ini benar-benar sejarah baru dalam dunia pemerintahan Republik
ini. Bagai gayung bersambut, tim transisi (peralihan) yang dibentuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung disambut hangat oleh Presiden baru
(2014-2019), Joko Widodo (Jokowi). Pada 4 Agustus lalu Jokowi membentuk tim
transisi untuk menyiapkan peralihan pemerintahan baru dari pemerintahan
sekarang.
Sebelum pembentukan Tim Transisi, tak lama setelah Komisi
Pemilihan Umum (KPU)memutuskan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sebagai
pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) di kantor KPU di Jakarta pada 22 Juli
malam lalu, Jokowi mengajak rakyat berperanserta dalam pembentukan Kabinet
Kerja tersebut. Siapa pun boleh mengusulkan nama-nama tokoh ternama dan
jabatan kementerian yang akan mereka emban melalui media sosial (terutama
Facebook dan Twitter).
Salah satu contoh, banyak pengguna media soaial mengusulkan Anies Baswedan sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena dianggap sukses dalam dunia
pendidikan, terutama program inovatif dan inspiratifnya yang sangat terkenal,
Indonesia Mengajar. Tentu saja keputusan akhir susunan Kabinet Kerja untuk
lima Tahun mendatang sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi plus Wapres
Jusuf Kalla.
Kementerian Pendidikan
Tinggi
Kita belum mengetahui secara pasti jumlah kementerian dalam
pemerintahan pertama Jokowi-JK ini. Sekarang SBY-Boediono dibantu oleh 37
Menteri (termasuk beberapa Menteri Koordinator). Melalui forum ini kita
mengusulkan kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) JK, agar dalam
Kabinet Kerja mereka dibentuk Sebuah kementerian baru bernama Kementerian
Pendidikan Tinggi (Kemendikti).
Kementerian ini khusus menangani dunia pendidikan tinggi saja,
sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengurus
Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kebudayaan saja. Selama ini bidang
garapan Kemendikbud dinilai terlalu banyak sehingga pendidikan dan kebudayaan
kita bagai orang-orang yang sangat asyik “berlari-lari mundur”.
Kita sangat mengharapkan, agar Kementerian baru tidak mewarisi
penyakit kronis birokrasi dan administrasi Kemdikbud sekarang. Tugasnya
Kemendikti tetap tri darma perguruan tinggi (PT) yakni pendidikan dan
pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat (PKM). Dalam
konteks ini, hal terpenting yang seyogianya dilakukan Kemendikti nanti, semua
PT harus berada di bawah satu atap (Kemdikti). Kementerian-kementerian lain
(Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kementerian
Sosial, dan lain-lain) tak boleh lagi mengelola PT kedinasan masing-masing.
Semua pendidikan tinggi harus dipercayakan sepenuhnya kepada Kemendikti.
Tentu saja kementerian baru ini mesti bekerja sama secara operasional dengan
kementerian-kementerian yang selama ini menyelenggarakan pendidikan tinggi
kedinasan.
Kita berpendapat, PT tidak perlu bergabung dengan Kementerian
Riset dan Teknologi (Kemristek) yang selama ini membawahi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengjaian dan Penerapan Teknologi
(BPPT). Biarlah LIPI dan BPPT sibuk menangani penelitian-penelitian terapan,
termasuk riset pesanan lembaga-lembaga pemerintah/negara dan swasta. Berbagai
riset yang dilakukan PT terutama diarahkan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, baik di bidang humaniora, sosial, maupun nirsosial atau eksakta,
baik yang murni (teoretis) maupun yang terapan. Hasil-hasil penelitian PT
harus menjadi salah satu materi utama kuliah, di samping dimanfaatkan juga
untuk PKM.
Para ilmuwan (dosen) di PT tak boleh lagi terus menerus
mengindoktrinasikan hanya teori-teori impor dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
dan negara-negara maju lainnya kepada mahasiswa. Para dosen, melalui
riset-riset sungguhan (bukan untuk kenaikan pangkat) harus mampu menghasilkan
teori-teori baru, yang kelak menjadi rujukan para ilmuwan dari berbagai
negara. Dosen tampil di ruang kuliah harus selalu membawa hasil-hasil riset,
baik yang dilakukannya sendiri atau bersama timnya maupun yang dilakukan para
dosen lain di tanah air.
Ini berarti, berbagai penelitian di PT, baik yang dilakukan
dosen maupun mahasiswa, terutama mahasiswa program S2 dan S3, harus
berorientasi kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil-hasil penelitian
bagus mereka haruslah dibukukan dan diedarkan di pasar buku. Cepat atau
lambat, ini tidak hanya meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan di republik
ini, melainkan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia (lulusan) PT
dari semua jenjang (diploma hingga pascasarjana).
Telah lama dimafhumi, salah satu indikator utama kemajuan sebuah
PT adalah kemampuannya melahirkan dan memiliki ilmuwan-ilmuwan hebat, yang
berandil besar dalam pembangunan umat manusia secara utuh di negeri ini
khususnya dan di dunia umumnya.
Mikhael Dua dalam
bukunya, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2011), menyatakan, dewasa
ini sebuah tantangan yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana
universitas (PT) dapat menjadikan dirinya sebagai pusat belajar bagi
kemanusiaan di tengah kepentingan-kepentingan pragmatis ilmu pengetahuan itu
sendiri. Seandainya PT memperhatikan struktur pengetahuan yang dibangunnya,
ia barangkali menjadi sebuah masyarakat peneliti untuk masa depan
kemanusiaan. Dengan orientasi ini, PT dapat menjadi pelopor kemanusiaan. Jika
ia mempertanggungjawabkan kebebasannya, ia seharusnya akan mengarahkan
dirinya pada tujuan-tujuan kemanusiaan yang lebih luas.
Secara historis dan universal diakui bahwa PT merupakan agen
perubahan. Akan tetapi selama ini PT kita bukan lagi agen perubahan melainkan
telah menjadi korban perubahan, korban segudang peraturan, korban birokrasi
yang melilit-lilit, dan korban tumpukan dan keruwetan administrasi di
Kemdikbud dan PT. Semoga Kemendikti yang sangat kita dambakan tersebut
sanggup melenyapkan penyakit kronis ini kelak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar