Kebijakan
Pembangunan yang Perlu Diperbaiki
di
Papua
Agus Pambagio dan Edie Haryoto
;
Agus Pambagio adalah adalah Pemerhati
Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen;
Edie Haryoto adalah mantan Dirut PT Angkasa Pura II
|
DETIKNEWS,
11 November 2014
Harian Republika tanggal 6 November 2014, memberitakan bahwa
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan meninjau kembali Dana Otonomi
Khusus (Otsus) Papua yang oleh APBN 2014 dialokasikan sebesar Rp 7 triliun
karena dianggap belum efektif menyejahterakan rakyat Papua. Dana Otsus
dianggap salah sasaran karena hanya digunakan untuk kebutuhan rutin
Pemerintah Daerah Papua, antara lain untuk membayar gaji dan alokasi yang
tidak jelas lainnya.
Sayang, dana yang berlimpah ini (Pemerintah Pusat sejak tahun
2002-2013 sudah mengucurkan dana sekitar Rp 40 triliun) digunakan tidak tepat
sasaran. Buktinya dari bumi Papua kita masih mendapatkan fakta adanya
kelaparan, gizi buruk dan kematian di beberapa daerah, seperti di Distrik
Kwor Kabupaten Tamrauw Provinsi Papua Barat serta di Distrik Samenage
Kabupaten Yahukimo. Seharusnya dana Otsus utamanya digunakan untuk petani,
nelayan dan pembangunan infrastruktur yang dapat menumbuhkan ekonomi di Papua
termasuk Papua Barat.
Dengan pola Otsus yang semakin tidak jelas ini membuat
pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di Papua menjadi tidak dapat optimal untuk
kepentingan rakyat. Sementara SDA yang ada di Papua dan Papua Barat sudah
mulai diekplorasi sejak awal tahun tujuh puluhan ini seharusnya dapat
dinikmati oleh rakyat Papua sejak awal. Namun sampai hari ini kondisi di
Papua masih sangat terbelakang.
Dari sisi pemanfaatan SDA, di Papua ada dua (2) sumber
pendapatan yang besar potensi ekonominya, yaitu gas di Tangguh yang dikelola
oleh Beyond Petroleum Plc (BP) dan konsorsiumnya serta Kontrak Karya
Pertambangan Tembaga dan mineral lain yang dikelola oleh PT Freeport
Indonesia (FI). Dari keduanya yang paling disorot publik saat ini adalah
operasional pertambangan mineral yang dikelola oleh PT FI, khususnya paska
pelaksanaan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba dan MOU beberapa bulan lalu
terkait dengan kewajiban membangun smelter dan larangan ekspor bijih tembaga
serta perpanjangan kontrak karya.
Membangun Infrastruktur
Secara Komprehensif
Kucuran Dana Otsus ke Papua yang sudah mendekati Rp 50 triliun
tahun ini, belum termasuk dana Tambahan Infrastruktur dari Pemerintah Pusat
melalui Dana Alokasi Khusus. Jumlah uang dari dana Otsus ini lebih banyak
dari pada jumlah penduduk Papua yang hanya 2 juta orang. Namun tetap saja
pembangunan di Papua masih terbelakang. Pasti ada yang salah dalam kebijakan
Pemerintah dalam membangun Papua.
Pada Pasal 36 UU No. 21 tahun 2001 Tentang Otsus mengatur bahwa
sekurang-kurangnya 15% dana Otsus ditambah dengan 20% dana APBD diperuntukan
atau dianggarkan untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Nyatanya menguap tak
tentu rimbanya tanpa ada yang bertanggungjawab dan penindakan hukum.
Berbagai pihak menyatakan bahwa dana tersebut terlalu kecil
karena biaya pembangunan di Papua yang mahal. Detiknews tanggal 6 November
2014 menyatakan bahwa harga satu sak semen di Puncak Papua Rp 1,5 juta karena
kendala transportasi. Gubernur Papua menyarankan kepada Pemerintah Pusat
supaya jangan kurangi Dana Otsus, namun Pemerintah harus bangun industri yang
bersifat integral dengan infrastruktur di Papua.
Misalnya, bangun smelter untuk PT FI di Papua bersama-sama
dengan industri pengguna smelter, seperti industri petrokimia, industri
semen, industri pupuk dan sebagainya. Sehingga dalam 10 tahun kedepan ekonomi
Papua akan tumbuh seperti di kepulauan Indonesia bagian Barat lainnya.
Perkara tersebut di atas amat menarik dicermati. Di satu sisi
Pemerintah Pusat merasa memberikan dana Otsus dengan tujuan untuk
menyejahterakan rakyat, antara lain untuk petani, nelayan dan pembangunan
infrastruktur. Namun di Papua dana tersebut pelaksanaannya berubah karena
digunakan untuk membayar gaji dan membangun gedung-gedung yang pada akhirnya
banyak yang terbengkalai, seperti Kantor DPRD di Timika.
Terkait dengan pembangunan di Papua, sebenarnya Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sudah sepakat bahwa yang diperlukan Papua adalah
infrastruktur. Meskipun pembangunan infrastruktur juga sudah ditetapkan di
dalam MP3EI antara lain melalui: peningkatan dan perluasan Pelabuhan
(Jayapura, Manokwari, Sorong), pembangunan Jalan Trans Papua (Nabire-Timika),
pembangunan transmisi listrik, pembangunan PLTU (Timika dan Urumka),
pembangunan backbone broadband (Sorong-Merauke) dan sebagainya tapi sayang
belum ada yang terwujud. Membangun infrastruktur memang harus secara
komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong.
Solusi Pembangunan di
Papua
Pembangunan infrastruktur di Papua dapat dilakukan secara multi
years menggunakan dana APBN/P (termasuk dana Otsus) maupun dana-dana lainnya,
seperti dana hibah, dana pinjaman, investasi swasta dan sebagainya. Jika
secara APBN tidak memungkinkan, maka wajib hukumnya bagi Pemerintah untuk
MEMAKSA investasi swasta membangun infrastruktur di Papua.
Dengan adanya UU No. 4 tahun 2009 yang melarang perusahaan
minerba untuk mengekspor biji mentahnya tanpa diolah terlebih dahulu, menjadi
dasar Pemerintah untuk memaksa PT FI ikut membangun smelter dan infrastruktur
di Papua. Selain itu Pemerintah juga
dapat memaksa industri pupuk, petrokimia (misalnya milik BUMN) dan sebagainya
yang selama ini mengkonsumsi hasil smelter, melakukan hal yang sama. Dengan
demikian dana Otsus akan lebih leluasa digunakan secara multi years untuk
pembangunan infrastruktur dan mensejahterakan rakyat Papua dengan cepat.
Jika saran di atas ditetapkan, maka kemungkinan yang akan
terjadi adalah:
1. PT FI akan menolak membangun Smelter di Papua karena dalam di
MoU disepakati smelter PT FI dibangun di Gresik (padahal hambatan masalah
lingkungan di Gresik berat karena harus mereklamasi pantai dan ketersediaan
listrik di Pulau Jawa juga kritis dalam dua tahun mendatang).
2. PT FI dan industri pengguna hasil smelter akan menolak dengan
berbagai alasan bahwa smelter tidak dapat dibangun di Papua karena
infrastruktur yang diperlukan untuk smelter belum siap di Papua dan
memerlukan waktu lebih panjang dibanding kalau dibangun di Gresik. Sehingga
PT FI akan meminta pada Pemerintah supaya jangka waktu di MoU direvisi.
Saya tidak bermaksud menyederhanakan persoalan, akan tetapi
dikaji dari sisi apapun baik untuk Papua, seperti: ekonomi meningkat, hasil
bumi Papua diproses di Papua, infrastruktur untuk industri yang jelas sudah
ada terbangun, kesejahteraan rakyat Papua meningkat karena lapangan pekerjaan
bertambah dan yang lebih penting program maritim Presiden Jokowi akan
terlaksana lebih cepat. Untuk itu kebijakan pembangunan di Papua memang harus
diperbaiki.
Besar kemungkinan PT FI dan investasi swasta lainnya akan
menolak. Jika demikian halnya, sebaiknya Pemerintah juga harus memberikan
kompensasi dan secara bersamaan melakukan 'pemaksaan'. Secara finansial
Pemerintah memang merugi tetapi secara ekonomi sangat menguntungkan karena
pembangunan bisa merata seperti keinginan Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar