Rabu, 12 November 2014

Kebijakan Pembangunan yang Perlu Diperbaiki di Papua

Kebijakan Pembangunan yang Perlu Diperbaiki

di Papua

Agus Pambagio dan Edie Haryoto  ;  Agus Pambagio adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen;
Edie Haryoto adalah mantan Dirut PT Angkasa Pura II
DETIKNEWS, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Harian Republika tanggal 6 November 2014, memberitakan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan meninjau kembali Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang oleh APBN 2014 dialokasikan sebesar Rp 7 triliun karena dianggap belum efektif menyejahterakan rakyat Papua. Dana Otsus dianggap salah sasaran karena hanya digunakan untuk kebutuhan rutin Pemerintah Daerah Papua, antara lain untuk membayar gaji dan alokasi yang tidak jelas lainnya.

Sayang, dana yang berlimpah ini (Pemerintah Pusat sejak tahun 2002-2013 sudah mengucurkan dana sekitar Rp 40 triliun) digunakan tidak tepat sasaran. Buktinya dari bumi Papua kita masih mendapatkan fakta adanya kelaparan, gizi buruk dan kematian di beberapa daerah, seperti di Distrik Kwor Kabupaten Tamrauw Provinsi Papua Barat serta di Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo. Seharusnya dana Otsus utamanya digunakan untuk petani, nelayan dan pembangunan infrastruktur yang dapat menumbuhkan ekonomi di Papua termasuk Papua Barat.

Dengan pola Otsus yang semakin tidak jelas ini membuat pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di Papua menjadi tidak dapat optimal untuk kepentingan rakyat. Sementara SDA yang ada di Papua dan Papua Barat sudah mulai diekplorasi sejak awal tahun tujuh puluhan ini seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat Papua sejak awal. Namun sampai hari ini kondisi di Papua masih sangat terbelakang.

Dari sisi pemanfaatan SDA, di Papua ada dua (2) sumber pendapatan yang besar potensi ekonominya, yaitu gas di Tangguh yang dikelola oleh Beyond Petroleum Plc (BP) dan konsorsiumnya serta Kontrak Karya Pertambangan Tembaga dan mineral lain yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia (FI). Dari keduanya yang paling disorot publik saat ini adalah operasional pertambangan mineral yang dikelola oleh PT FI, khususnya paska pelaksanaan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba dan MOU beberapa bulan lalu terkait dengan kewajiban membangun smelter dan larangan ekspor bijih tembaga serta perpanjangan kontrak karya.

Membangun Infrastruktur Secara Komprehensif

Kucuran Dana Otsus ke Papua yang sudah mendekati Rp 50 triliun tahun ini, belum termasuk dana Tambahan Infrastruktur dari Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Khusus. Jumlah uang dari dana Otsus ini lebih banyak dari pada jumlah penduduk Papua yang hanya 2 juta orang. Namun tetap saja pembangunan di Papua masih terbelakang. Pasti ada yang salah dalam kebijakan Pemerintah dalam membangun Papua.

Pada Pasal 36 UU No. 21 tahun 2001 Tentang Otsus mengatur bahwa sekurang-kurangnya 15% dana Otsus ditambah dengan 20% dana APBD diperuntukan atau dianggarkan untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Nyatanya menguap tak tentu rimbanya tanpa ada yang bertanggungjawab dan penindakan hukum.

Berbagai pihak menyatakan bahwa dana tersebut terlalu kecil karena biaya pembangunan di Papua yang mahal. Detiknews tanggal 6 November 2014 menyatakan bahwa harga satu sak semen di Puncak Papua Rp 1,5 juta karena kendala transportasi. Gubernur Papua menyarankan kepada Pemerintah Pusat supaya jangan kurangi Dana Otsus, namun Pemerintah harus bangun industri yang bersifat integral dengan infrastruktur di Papua.

Misalnya, bangun smelter untuk PT FI di Papua bersama-sama dengan industri pengguna smelter, seperti industri petrokimia, industri semen, industri pupuk dan sebagainya. Sehingga dalam 10 tahun kedepan ekonomi Papua akan tumbuh seperti di kepulauan Indonesia bagian Barat lainnya.

Perkara tersebut di atas amat menarik dicermati. Di satu sisi Pemerintah Pusat merasa memberikan dana Otsus dengan tujuan untuk menyejahterakan rakyat, antara lain untuk petani, nelayan dan pembangunan infrastruktur. Namun di Papua dana tersebut pelaksanaannya berubah karena digunakan untuk membayar gaji dan membangun gedung-gedung yang pada akhirnya banyak yang terbengkalai, seperti Kantor DPRD di Timika.

Terkait dengan pembangunan di Papua, sebenarnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sudah sepakat bahwa yang diperlukan Papua adalah infrastruktur. Meskipun pembangunan infrastruktur juga sudah ditetapkan di dalam MP3EI antara lain melalui: peningkatan dan perluasan Pelabuhan (Jayapura, Manokwari, Sorong), pembangunan Jalan Trans Papua (Nabire-Timika), pembangunan transmisi listrik, pembangunan PLTU (Timika dan Urumka), pembangunan backbone broadband (Sorong-Merauke) dan sebagainya tapi sayang belum ada yang terwujud. Membangun infrastruktur memang harus secara komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong.

Solusi Pembangunan di Papua

Pembangunan infrastruktur di Papua dapat dilakukan secara multi years menggunakan dana APBN/P (termasuk dana Otsus) maupun dana-dana lainnya, seperti dana hibah, dana pinjaman, investasi swasta dan sebagainya. Jika secara APBN tidak memungkinkan, maka wajib hukumnya bagi Pemerintah untuk MEMAKSA investasi swasta membangun infrastruktur di Papua.

Dengan adanya UU No. 4 tahun 2009 yang melarang perusahaan minerba untuk mengekspor biji mentahnya tanpa diolah terlebih dahulu, menjadi dasar Pemerintah untuk memaksa PT FI ikut membangun smelter dan infrastruktur di Papua. Selain itu  Pemerintah juga dapat memaksa industri pupuk, petrokimia (misalnya milik BUMN) dan sebagainya yang selama ini mengkonsumsi hasil smelter, melakukan hal yang sama. Dengan demikian dana Otsus akan lebih leluasa digunakan secara multi years untuk pembangunan infrastruktur dan mensejahterakan rakyat Papua dengan cepat.

Jika saran di atas ditetapkan, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah:

1. PT FI akan menolak membangun Smelter di Papua karena dalam di MoU disepakati smelter PT FI dibangun di Gresik (padahal hambatan masalah lingkungan di Gresik berat karena harus mereklamasi pantai dan ketersediaan listrik di Pulau Jawa juga kritis dalam dua tahun mendatang).

2. PT FI dan industri pengguna hasil smelter akan menolak dengan berbagai alasan bahwa smelter tidak dapat dibangun di Papua karena infrastruktur yang diperlukan untuk smelter belum siap di Papua dan memerlukan waktu lebih panjang dibanding kalau dibangun di Gresik. Sehingga PT FI akan meminta pada Pemerintah supaya jangka waktu di MoU direvisi.

Saya tidak bermaksud menyederhanakan persoalan, akan tetapi dikaji dari sisi apapun baik untuk Papua, seperti: ekonomi meningkat, hasil bumi Papua diproses di Papua, infrastruktur untuk industri yang jelas sudah ada terbangun, kesejahteraan rakyat Papua meningkat karena lapangan pekerjaan bertambah dan yang lebih penting program maritim Presiden Jokowi akan terlaksana lebih cepat. Untuk itu kebijakan pembangunan di Papua memang harus diperbaiki.

Besar kemungkinan PT FI dan investasi swasta lainnya akan menolak. Jika demikian halnya, sebaiknya Pemerintah juga harus memberikan kompensasi dan secara bersamaan melakukan 'pemaksaan'. Secara finansial Pemerintah memang merugi tetapi secara ekonomi sangat menguntungkan karena pembangunan bisa merata seperti keinginan Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar