Pemerintahan
Orang-Orang Baik
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
13 November 2014
PLATO menyatakan bahwa negara ideal itu yang dipimpin para
filsuf. Orang Jawa menyatakan, dahulu, negara ideal harus dipimpin seorang
dewa-raja atau wakil Tuhan di dunia. Dunia modern menyatakan, negara ideal
dipimpin oleh mereka yang dipilih oleh rakyat.
Keyakinan terakhir, demokrasi bisa jadi masalah karena keinginan
rakyat itu banyak dan malah saling bertentangan. Pilihan rakyat yang mana?
Demokrasi adalah perebutan suara terbanyak. Mereka yang terpilih oleh suara
terbanyak merupakan pemimpin ideal. Sementara yang kalah suara harus tunduk
kepada mereka yang menang suara meskipun dalam penderitaan batin.
Negara dengan konflik batin semacam ini tentu saja bukan negara
ideal. Sekurang-kurangnya negara demokrasi semacam ini akan selalu muncul
konflik, tidak tenang dan tiap saat merasa terancam.
Sejarah demokrasi di Indonesia menunjukkan hal itu. Segera
setelah proklamasi, sampai 1950, para pemimpin saling menjegal, menculik, dan
memberontak. Setelah 1950 hingga 1959, para pemimpin saling menjatuhkan
kabinet dalam hitungan tahun atau bulan saja. Bahkan, ada yang mau membentuk
negara sendiri.
Pemecahannya dengan membentuk negara otoriter dengan presiden
seumur hidup. Namanya tetap demokrasi, tetapi tidak sesuai dengan keinginan
rakyat, terutama golongan intelektualnya. Sementara rakyat kebanyakan justru
kembali pada konsep dewa-raja dalam negara. Bung Karno itu sudah pilihan
takdir. Dapat pulung seperti rakyat yang jadi raja di zaman lampau. Begitu
pula pengganti Bung Karno, Jenderal Soeharto, tetap menggunakan alasan
Demokrasi Pancasila, seperti Soekarno menggunakan Demokrasi Terpimpin.
Lalu, sampailah Indonesia pada demokrasi-reformasi awal abad
ke-21. Tampaknya penyakit Demokrasi Liberal, 1950-an, hidup kembali.
Menjatuhkan presiden sebelum waktunya mirip menjatuhkan kabinet yang baru
bekerja setengah tahun. Demokrasi itu tidak aman, negara penuh ancaman dari
dalam.
Apa pun bentuk negara yang kita pilih, keinginan mendasar rakyat
hanya tiga: hidup sehat; hidup dalam kecukupan sandang, pangan, papan; dan
hidup dalam kedamaian dan keamanan. Kalau dirumuskan dalam kearifan lokal
adalah sehat, kaya, masuk surga.
Apakah negara ini akan dipimpin para filsuf, mereka yang
kejatuhan pulung, atau mereka yang dipilih rakyat dengan suara terbanyak,
yang penting para pemimpin itu mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup rakyat
pada umumnya: sehat, kaya, masuk surga. Semua itu dibuktikan oleh tindakan
negara yang nyata, bukan sekadar pemikiran berkualitas falsafi bagaimana Indonesia
ini dapat mencapai masyarakat adil dan makmur.
Tak cukup hanya kata-kata
Hidup ini tindakan yang nyata-nyata ada, terlihat, terdengar,
dan teralami. Hidup ini bukan kata-kata yang indah janji karena manusia tidak
dapat sembuh dari kata-kata, tidak dapat kenyang dari kata-kata, dan tidak
hidup dari kata-kata.
Tindakan untuk memenuhi tiga kebutuhan dasar rakyat itu tidak
dapat hanya berupa spontanitas keinginan baik belaka. Pemimpin negara yang
kita harapkan, apa pun konsepnya, adalah mereka yang memiliki kehendak baik
untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang tiga itu. Artinya, kita
mengharapkan pemimpin pemerintahan bermoral, jujur, tulus, ikhlas, jauh dari
kepentingan dirinya yang egoistik.
Inilah para pemimpin yang berkenan kepada Tuhan, mendapat pulung
dari atas, yang terpilih. Orang-orang demikian senantiasa spontan tanpa
disadari berkehendak baik, berbelas kasih, rela mengorbankan kepentingan atau
keinginan dirinya.
Kehendak baik saja tidak cukup karena banyak orang bodoh juga
baik. Pemimpin juga dituntut kapasitas berpikirnya karena risiko perbuatannya
akan ditanggung rakyat banyak.
Orang bodoh yang baik hanya punya risiko untuk lingkarannya yang
terbatas. Pemerintahan tidak lain adalah keputusan tindakan untuk banyak
orang. Hanya mereka yang punya kepedulian pada nasib banyak orang saja yang
akan berpikir ulang sebelum memutuskan bertindak. Dengan demikian, syarat
negara Plato dapat dipakai.
Demokrasi di Indonesia masih dalam masalah seperti halnya
bangsa-bangsa bekas jajahan yang lain. Pemilihan yang bebas itu memerlukan
syarat kedewasaan berpikir, terutama dalam politik. Rakyat Indonesia yang
lebih dari setengahnya kurang terdidik modern, apalagi terpelajar, kualitas
pemilihan bebasnya masih main dadu: untung-untungan. Rakyat yang demikian
hanya percaya mudah-mudahan pilihannya merupakan pulung, sesuai kehendak
Tuhan.
Kini semuanya bergantung pada pribadi para pemimpinnya. Apakah
mereka berkehendak baik, cerdas, serta bertindak efektif dan efisien. Kita
tidak menghendaki pemimpin yang hipokrit, bodoh, dan tindakannya memalukan
bangsa.
Berkatilah bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar