Jumat, 14 November 2014

Bila Saling Melapor Tindak Pidana

                           Bila Saling Melapor Tindak Pidana

Herie Purwanto ;   Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung Semarang
SUARA MERDEKA,  13 November 2014

                                                                                                                       


“Perlu ada pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi pelapor agar tak dituduh sebagai penyebar fitnah”

MENJADI fenomena hukum yang menarik dalam masyarakat, ketika ada orang dilaporkan namun balik melaporkan dengan pasal pencemaran nama baik. Penyidik Polri tidak bisa menolak laporan pihak yang melapor balik, kendati perkara yang dilaporkan masih dalam proses penyelidikan atau penyidikan.

Tetap diprosesnya laporan kedua pihak itu mendasarkan pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Regulasi itu tidak mengatur bila penyidik menerima laporan dari dua pihak dalam ’’waktu sama’’. Dengan demikian, jadi kewajiban hukum bagi penyidik untuk menerima laporan dari dua pihak.

Hanya, dalam proses nanti, akan diajukan ke penuntut umum lebih dulu, apakah perkara yang dilaporkan pihak pertama itu terbukti di pengadilan atau tidak. Bila yang diajukan tadi terbukti maka laporan soal pencemaran nama baik gugur dengan sendirinya. Sebaliknya, bila tindak pidana awal terbukti maka pencemaran nama baik akan diproses dan diajukan ke penuntut umum.

Seperti terjadi pada kasus saling lapor antara Ketua KPU Husni Malik dan Ketua DPD Gerindra M Taufik, beberapa waktu lalu. Husni melapor bahwa dirinya merasa terancam akan diculik oleh M Taufik, dan sebaliknya Taufik melaporkan Husni dengan pasal pencemaran nama baik.

Sikap Mabes Polri, sebagaimana disampaikan Kadiv Humas Irjen Polisi Ronny Sompie, tidak ada pemprioritasan, semua laporan diperlakukan sama. Namun tetap dilihat dari urutan yang melaporkan. Polri juga akan melihat pasalnya dan mengujinya kembali ke para pelapor mengenai adanya tindak pidana dari laporan itu. Semisal seperti diadukan Taufik soal pencemaran nama baik, apakah itu merupakan perbuatan pidana, akan dilihat di KUHP ataupun hukum acaranya.

Hal yang perlu diperhatikan adalah jika pengancaman itu terbukti benar secara hukum berarti tak ada pencemaran nama baik. Polri tidak bisa serta merta menghentikan penyidikan laporan jika belum ada keputusan sidang.

Dalam konteks kekinian, hal itu terjadi pula pada Rony Maryanto, pegiat antikorupsi dari Semarang. Kasus yang menjeratnya berawal dari kampanye Pilpres 2014 pada 2 Juli lalu. Waktu itu ada pemberitaan bahwa Fadli Zon membagi-bagikan uang. Rony yang membaca berita itu segera melapor ke Panwaslu. Hasil penyelidikan Panwaslu, tuduhan Rony itu tak terbukti dan kemudian Fadli Zon melapor balik ke Bareskrim Polri.

Bersama Ronny dilaporkan pula jurnalis Tribunnews Jateng Raka F Pujangga, editor Hasanudin Acu, dan direktur media itu, Herman Darmo, dengan delik Pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta pasal pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP).

Menjadi Bumerang

Merunut penjelasan Kadiv Humas Polri besar kemungkinan penetapan Rony sebagai tersangka berlanjut dengan penuntutan dan pemeriksaan persidangan. Pertanyaannya, bagaimana dengan perlindungan bagi pelapor? Bukankah hal ini jadi preseden buruk bagi kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana?

Jangan-jangan kasus seperti dialami Rony akan memupuskan partisipasi publik untuk melaporkan dugaan tindak pidana. Pasalnya, sudah terbayang bila dugaan tindak pidana yang dilaporkan itu tidak terbukti, bisa jadi bumerang baginya dan ia segera menyandang status tersangka.

Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh sesuatu hal yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 300.

Karena itu, sebaiknya menyiapkan alat bukti yang cukup bila hendak melaporkan seseorang atau menduga orang lain melakukan tindak pidana, agar tidak terjerat pasal penvcemaran nama baik. Dengan menyertakan minimal dua dari lima alat bukti, yaitu saksi minimal dua orang, surat, petunjuk, keterangan ahli atau keterangan tersangka, laporan itu akan menguatkan material substansinya.

Dengan adanya alat bukti yang cukup, penyidik pun lebih terbantu dalam membuktikan apa yang menjadi sangkaan. Makin tercukupi alat bukti, makin mudah bagi penyidik untuk membuktikan benar tidaknya. Sebaliknya, makin kurang alat bukti, makin terbuka peluang bagi penyidik untuk menghentikan perkara. Andai hal ini terjadi maka maksud hati untuk jadi pelapor, justru berbalik menjadi tersangka.

Sebagai sebuah ius constituendum, perlu ada pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi pelapor yang dalam proses penyidikan, bila laporan itu dianggap kurang cukup bukti, pelapor tidak dituduh sebagai penyebar fitnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar