Bila
Saling Melapor Tindak Pidana
Herie Purwanto ; Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota, Mahasiswa
Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 13 November 2014
“Perlu
ada pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi pelapor agar tak dituduh
sebagai penyebar fitnah”
MENJADI fenomena hukum yang menarik dalam masyarakat, ketika ada orang
dilaporkan namun balik melaporkan dengan pasal pencemaran nama baik. Penyidik
Polri tidak bisa menolak laporan pihak yang melapor balik, kendati perkara
yang dilaporkan masih dalam proses penyelidikan atau penyidikan.
Tetap diprosesnya laporan kedua pihak itu mendasarkan pada Peraturan
Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana. Regulasi itu tidak mengatur bila penyidik menerima laporan dari dua
pihak dalam ’’waktu sama’’. Dengan demikian, jadi kewajiban hukum bagi
penyidik untuk menerima laporan dari dua pihak.
Hanya, dalam proses nanti, akan diajukan ke penuntut umum lebih dulu,
apakah perkara yang dilaporkan pihak pertama itu terbukti di pengadilan atau
tidak. Bila yang diajukan tadi terbukti maka laporan soal pencemaran nama
baik gugur dengan sendirinya. Sebaliknya, bila tindak pidana awal terbukti
maka pencemaran nama baik akan diproses dan diajukan ke penuntut umum.
Seperti terjadi pada kasus saling lapor antara Ketua KPU Husni Malik
dan Ketua DPD Gerindra M Taufik, beberapa waktu lalu. Husni melapor bahwa dirinya
merasa terancam akan diculik oleh M Taufik, dan sebaliknya Taufik melaporkan
Husni dengan pasal pencemaran nama baik.
Sikap Mabes Polri, sebagaimana disampaikan Kadiv Humas Irjen Polisi
Ronny Sompie, tidak ada pemprioritasan, semua laporan diperlakukan sama.
Namun tetap dilihat dari urutan yang melaporkan. Polri juga akan melihat
pasalnya dan mengujinya kembali ke para pelapor mengenai adanya tindak pidana
dari laporan itu. Semisal seperti diadukan Taufik soal pencemaran nama baik,
apakah itu merupakan perbuatan pidana, akan dilihat di KUHP ataupun hukum
acaranya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah jika pengancaman itu terbukti benar
secara hukum berarti tak ada pencemaran nama baik. Polri tidak bisa serta
merta menghentikan penyidikan laporan jika belum ada keputusan sidang.
Dalam konteks kekinian, hal itu terjadi pula pada Rony Maryanto, pegiat
antikorupsi dari Semarang. Kasus yang menjeratnya berawal dari kampanye
Pilpres 2014 pada 2 Juli lalu. Waktu itu ada pemberitaan bahwa Fadli Zon
membagi-bagikan uang. Rony yang membaca berita itu segera melapor ke
Panwaslu. Hasil penyelidikan Panwaslu, tuduhan Rony itu tak terbukti dan
kemudian Fadli Zon melapor balik ke Bareskrim Polri.
Bersama Ronny dilaporkan pula jurnalis Tribunnews Jateng Raka F Pujangga,
editor Hasanudin Acu, dan direktur media itu, Herman Darmo, dengan delik
Pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta pasal
pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP).
Menjadi
Bumerang
Merunut penjelasan Kadiv Humas Polri besar kemungkinan penetapan Rony
sebagai tersangka berlanjut dengan penuntutan dan pemeriksaan persidangan.
Pertanyaannya, bagaimana dengan perlindungan bagi pelapor? Bukankah hal ini
jadi preseden buruk bagi kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana?
Jangan-jangan kasus seperti dialami Rony akan memupuskan partisipasi
publik untuk melaporkan dugaan tindak pidana. Pasalnya, sudah terbayang bila
dugaan tindak pidana yang dilaporkan itu tidak terbukti, bisa jadi bumerang
baginya dan ia segera menyandang status tersangka.
Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa barang
siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh
sesuatu hal yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 300.
Karena itu, sebaiknya menyiapkan alat bukti yang cukup bila hendak
melaporkan seseorang atau menduga orang lain melakukan tindak pidana, agar
tidak terjerat pasal penvcemaran nama baik. Dengan menyertakan minimal dua
dari lima alat bukti, yaitu saksi minimal dua orang, surat, petunjuk,
keterangan ahli atau keterangan tersangka, laporan itu akan menguatkan
material substansinya.
Dengan adanya alat bukti yang cukup, penyidik pun lebih terbantu dalam
membuktikan apa yang menjadi sangkaan. Makin tercukupi alat bukti, makin
mudah bagi penyidik untuk membuktikan benar tidaknya. Sebaliknya, makin
kurang alat bukti, makin terbuka peluang bagi penyidik untuk menghentikan
perkara. Andai hal ini terjadi maka maksud hati untuk jadi pelapor, justru
berbalik menjadi tersangka.
Sebagai sebuah ius constituendum, perlu ada pasal yang memberikan
perlindungan hukum bagi pelapor yang dalam proses penyidikan, bila laporan
itu dianggap kurang cukup bukti, pelapor tidak dituduh sebagai penyebar
fitnah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar