Minggu, 09 November 2014

GBK

GBK

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
KORAN JAKARTA, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sayang, final sepak bola kemarin, antara Bandung melawan Persipura, tidak dilangsungkan di Senayan, Jakarta. Tapi tak berarti kompleks GBK sepi. Ini perlu penjelasan sendiri bahwa tiga huruf, ge-be-ka, merupakan singkatan dari Gelora Bung Karno, sedangkan kata gelora meskipun mempunyai makna juga singkatan dari gelanggang olah raga.

Bung Karno, panggilan akrab merakyat presiden pertama dan Proklamator RI. Namanya diabadikan karena beliau pencetusnya. Dibangun mulai tahun 1958, dengan bantuan Uni Soviet, mulai dipergunakan tahun 1962, untuk Asean Games tahun itu. Kisahnya panjang dan menjadi catatan tersendiri. Gegara takut nama Bung Karno, namanya pernah diubah menjadi Gelora Senayan. Lalu setelah reformasi balik lagi, sampai sekarang ini.

Kini stadion sepak bola bisa dipergunakan untuk kepentingan lain. Upacara keagamaan, pentas musik, atau sejenisnya, kampanye partai politik. Terbayang gelora dinamis 52 tahun lalu, stadion dengan kapasitas 100.000 orang , yang terbesar di dunia.

Konon sekarang setelah perbaikan jumlahnya tak mencapai segitu. Toh tetap besar, mengagumkan, juga membanggakan. Saya termasuk generasi yang naik kereta api 20 jam dari Solo untuk melihat stadion, hanya untuk menginjak halaman GBK. Yang waktu itu terasa sangat jauuuuh dari Jakarta, dan kendaraan juga masih harus berebut dalam artian yang sebenarnya. Dan GBK mengkukuhkan diri sebagai tempat olah raga. Kesadaran akan kesehatan, dan sebagainya dan sebagainya.

Jalan-jalan di sekitarnya baru mengikuti program itu belum terlalu dengan mengadakan “car free day”, atau mobil tak boleh melalui jalan utama tertentu. Jauh sebelum adanya tempat fitness, jauh sebelum ada istilah ngegym, bahkan sebutan senam pagi, GBK telah berjaya. Ini yang ingin saya tekankan. GBK, terutama sekeliling stadion, tak pernah sepi. Tanpa pertandingan sepak bola pun selalu ada – dan banyak mereka yang berolah raga.

Sekadar berjalan mengelilingi stadion yang konon sesuai standar internasional untuk jogging. Mereka yang menyempatkan diri berolah raga bersama ini tidak selalu mereka yang profesional. Namun justru di sini daya tarik utamanya. Mereka yang datang dengan anak-istrisuami, atau bahkan kakeknenek, dengan cucu menantu , tetangga atau komunitas terentu, selalu menghiasi pemandangan menakjubkan. Karena kebersamaan, karena guyub, karena niat sehat telah menjabat keinginan.

Ini yang saya kira besar artinya. Secara memori, tempat bersejarah yang membanggakan masih bisa dipergunakan dari sekarang. Banyak stadion lain dibangun, banyaaaaak sekali tempat olah raga terbuka tercipta, namun tak menyisihkan stadion di GBK ini.

Serentak dengan ini, ini maksud saya menuliskan, alangkah indah dan idealnya sekitar dan selingkaran stadion ini hanya untuk olah raga.

Khususnya pejalan kaki. Bukan untuk peluncur sepatu roda, bukan untuk peluncur papan, bukan apalagi mereka yang bersepeda, atau bersepeda motor, apa lagi mobil.

Banyak jalur lain bisa digunakan, dan biarkan stadion benar-benar bersih dari polusi, bersih dari berisik, dan kemungkinan yang membahayakan. Pada saat yang sama segala stand, atau tenda, penjual makanan, atau pakaian, juga sebaiknya berada di luar lingkaran.

Apa lagi kegiatan suatu komunitas, kelompok partisan, merayakan ini dan itu dengan menempel segala jenis baliho dan poster.

Sudahlah, banyak tempat lain. Biarkan stadion ini menjadi bagian yang bersih, merakyat, terasakan daya pikat yang sehat. Biarkan stadion memiliki memori indah dan diwujudkan kembali dalam irama jalan kaki.

Irama zaman sekarang ini, seharusnya begitu. Sehingga kalau pengelola tak mampu menciptakan itu dan malah menjadikan tempat tak bertanggung jawab, seharusnya mereka malu lahir batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar