Minggu, 09 November 2014

Perspektif Konvensional Keluarga Korban NAPZA

Perspektif Konvensional Keluarga Korban NAPZA

Zukhri  ;  Pemerhati Sosial
HALUAN, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Era moderenisasi dan teknologi berbanding lurus dengan dina­misasi aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya aspek sosial. Semakin maju sebuah peradaban akan meninggalkan sesuatu yang opposite (bertentangan) yakni “ketidakberadaban”.

Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau sering diringkas NAPZA merupakan salah satu bagian dari pening­galan peradaban di atas semakin pesatnya peningkatan dan perkembangan ilmu tekno­logi, ilmu kesehatan (medical science), serta termakologi untuk membantu manusia dalam proses penyembuhan dari penyakit, semakin besar pula kesempatan manusia untuk menggunakan dan menyalah­gunakan hasil perkembangan tersebut.

Namun, seiring dengan perkembangan peradaban itu muncullah perilaku masyarakat yang mencoba menik­mati dan menyalahgunakan NAPZA tersebut, bukan lagi untuk kebutuhan medis namun sudah menjadi suatu kebutu­han komersial, dan kebutuhan biologis semata.

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) di Provinsi Sumatera Barat khususnya dan atau Indonesia pada umumnya dalam beberapa tahun terakhir ini menun­jukkan peningkatan grafik yang sangat signifikan baik kualitas maupun kuantitas. Banyak pengguna atau pema­kai NAPZA mulai kalangan anak-anak sampai orang dewasa  yang masih dikatakan usia produktif.

Hal ini juga bukan hanya berdampak negatif terhadap diri korban/pengguna, tetapi lebih luas lagi berdampak negatif pada kehidupan berke­luarga, masyarakat dan kese­hatan, lebih jauh lagi berakibat terjadinya biaya sosial yang lebih tinggi (social high cost) dan generasi yang diharap­kan sebagai penerus menjadi terbuang. Permasalahan ini sangat mempengaruhi keber­fungsian fisik, psikologi mau­pun sosial.

Timbulnya masalah pe­nyalah­gunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat multi dimensi dengan meluasnya angka penularan HIV/AIDS dari kalangan penyalah­gunaan NAPZA jarum suntik. Sebanyak 3.829 kasus baru HIV dan 1.673 kasus baru AIDS terjadi di Indonesia selama April hingga Juni 2013. Data itu ditulis oleh Kementerian Sosial.

Implikasi lain dari penyalahgunaan NAPZA ini korban dalam kuan­titas pemakai yang panjang meng­akibatkan kerusakan system syaraf otak yang akan berujung kepada gangguan kerja otak sampai kepada gangguan kejiwaan (psikis), gangguan pencernaan, gang­guan perna­fasan, gangguan reproduksi, gangguan perkem­bangan fisik, dan lain-lain. Dari daftar di atas hanya menun­jukkan implikasi aspek fisik yang akan didapat korban penyalahgunaan NAPZA.
Belum lagi aspek social seperti konflik sosial, dishar­monisasi hubungan inter­personal dan ekstra personal, aspek hukum. Semua perbuatan menyalahgunakan NAPZA sudah diatur dalam Undang-Undang.

Sudah sedemikian peliknya permasalahan penyalahgunaan NAPZA ini sehingga dituntut kepedulian semua pihak dalam memerangi dan memberantas penyalahgunaan NAPZA baik pemerintah, pihak swasta, organisasi sosial, masyarakat dan keluarga. Sebagaimana diketahui keluarga merupakan satuan terkecil dari masya­rakat.

Perspektif Konvensional

Menurut penelitian data dari BPS dan BNN tahun 2014 di LP dan rutan bagi Napi­kasus NAPZA yang  ada di Sumatera Barat ini sekitar 75 orang penyalahgunaan NAPZA mayoritas menggunakan NAP­ZA karena ditawari teman, sehingga timbul rasa penasaran dan ingin coba-coba kemudian ketagihan. Selain hal di atas, beberapa hal di bawah ini yang dilakukan orang tua meru­pakan faktor yang langsung ataupun tidak langsung menye­babkan anak/anggota keluarga rentan dalam penyalahgunaan NAPZA antara lain: kurang memberikan perhatian, terlalu mengekang  (otoritas), menun­tun hal yang kurang realitas, membeda-bedakan kasih sa­yang, mem­berikan panutan yang negatif, membuta aturan yang kurang realitas, takut kepada anak, dan mungkin juga ada orang tua yang suka men­bandingkan anaknya dengan anak orang lain.

Keluarga merupakan sa­tuan terkecil dari masya­rakat. Kumpulan dari keluarga ini akan membentuk sebuah komunitas, kemudian kumpu­lan dari komunitas ini akan membentuk sebuah masya­rakat dalam lingkungan tertentu. Korban yang keter­gantungan NAPZA atau dengan kata lain disebut addict (pecandu), hidup dalam sebuah keluarga inti. Pada banyak keluarga hidup bersama dengan pecandu aktif bagaikan hidup dalam kete­gangan yang tidak ada habisnya, anggota keluarga dalam keluarga tersebut akan selalu mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga. Suasana keluarga yang penuh ketegangan akan memberikan tekanan, kebu­tuhan dan keributan me­nim­bulkan keter­gantungan (code­pendent). Kehar­monisan dan keba­hagiaan keluarga akan tergan­tung bahkan dalam kasus-kasus tertentu meng­akibatkan kehancuran.

Bila salah satu anggota masyarakat terbelenggu jeratan lingkaran setan narkotika, psikotropika dan zat lainnya maka seluruh anggota keluarga ikut menderita karena dam­paknya. Reaksi umum anggota keluarga biasanya bingung, panik, kecewa, marah, merasa bersalah, merasa malu, saling curiga, saling menyalahkan, hingga putus asa. Kondisi “kacau” ini sering dijadikan pecandu sebagai pembenaran untuk melanjutkan gaya hidupnya (Addict’s life style).

Pada awalnya anggota keluarga akan sangat sulit menerima kenyataan bahwa salah satu dari anggota keluar­ganya menjadi seorang pecan­du. Setelah mengetahui akan hal tersebut, pada banyak keluarga mereka akan menyembunyikannya dengan ekspektasi (harapan) korban akan sembuh sebelum diketa­hui olehbanyak orang. Perspek­tif (pandangan) keluarga seperti ini timbul karena menganggap korban membuat aib bagi keluarga. Ketika ekspektasi di awal tadi meleset atau tidak terjadi akan muncul sikap penolakan (denial) memaksa keluarga untuk mengizinkan korban untuk memakai di dalam rumah atau bahkan membelikan drugs (obat-obatan/minuman terlarang) kembali untuk memberikannya kepada pecandu, akibat ketidaktahanan keluarga melihat penderitaan yang dialami korban akibat gejala dari toleransi tambahan dari drugs tersebut bagi tubuh korban. Tanpa disadari terdapat dampak emosional yang sangat mengganggu di dalam keluarga seperti rasa bersalah, murung, bingung, panik, amarah, malu dan sebagainya.

Kemudian barulah keluarga berjuang untuk membawa si pecandu untuk “menjelajah” dari satu deteksifikasi (mene­mukan) satu kedeteksifikasi yang lainnya ke rumah sakit, pesantren, sinsei, dukun bahkan wisata rohani ke Mekkah bagi umat muslim, ke Jarusalem bagi umat nasrani dan sebagai­nya. Sampai pada titik keluarga merasa jenuh dan lelah, sema­kin bingung dan putus asa. Pada kebanyakan keluarga upaya yang keras berusaha hingga menemukan solusi mendaftarkan anaknya untuk menjalani rehabilitasi sosial, medis, atau gabungan dari keduanya.

Usaha preventif (pencegah) ini harusnya sudah dilakukan keluarga diawal tadi atau jauh setelah mengetahui bahwa ada anggota keluarga yang menjadi pecandu, yaitu dengan mem­bawa sikorban ke tempat rehabilitasi bagi korban pen­yalah­gunaan NAPZA untuk mengikuti rehabilitasi sosial, rehabilitasi medis atau gabu­ngan keduanya untuk memutus zat atau melepaskan korban dari masa sulit di awal. Dan membantu proses pemu­lihan si korban dari ketergan­tungan NAPZA dengan terus mendapat dukungan dari keluarga, peker­ja sosial, konselor, para medis serta teman-teman korban dalam program rehabilitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar