Minggu, 09 November 2014

Penetapan Upah secara Damai

Penetapan Upah secara Damai

Arif Minardi  ;  Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja LEM SPSI
KORAN JAKARTA, 07 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Setiap akhir tahun  diwarnai   unjuk rasa besar-besaran terkait  penetapan upah buruh (UMP). Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri diharapkan mampu membuat tradisi baru  menetapkan upah secara damai. Selama ini para pengusaha menjelang akhir tahun dibuat pusing upah baru.

Bermacam persoalan   buruh dan pengusaha diharapkan teratasi  jika pemerintah berkomitmen kuat terhadap kesejahteraan kaum buruh dan keberlangsungan perusahaan. Masalah laten penetapan upah, kemelut outsourcing, dan amburadulnya jaminan sosial buruh jangan terus terulang. Semua  bisa dikompromikan  pemerintah, pengusaha, dan buruh.

Menjelang kenaikan harga BBM  kaum buruh perlu mendapat insentif  transportasi  dan kemudahan  memiliki rumah. Penetapan upah harus saling menguntungkan  buruh dan pengusaha. Jika ada kemandekan negosiasi, pemerintah turun tangan membantu berbagai kepentingan buruh seperti  kredit lunak.

Ke depan juga perlu diterjemahkan makna “layak” yang sering diperdebatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah terkait  komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dalam merumuskan upah.  Menteri Tenaga Kerja secara klise  menyatakan,  telah ada perbaikan komponen KHL secara signifikan pada sistem pengupahan buruh. Padahal tidak demikian. Buruh semakin terhimpit  harga kebutuhan pokok dan tidak berdaya meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Pemerintah menutup mata bahwa besaran biaya upah buruh dan segala turunannya ternyata hanya berkisar antara l0 dan  22 persen dari total harga pokok produksi. Di sisi lain  biaya “siluman”  mencapai  35 persen. Belum lagi  ketentuan  bahwa kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi yang sering bawah  inflasi. Upah riil  buruh  makin tergerus.

Idealnya,  KHL  buruh mencakup 163 komponen. Sedangkan, yang diatur pemerintah dalam Kepmenakertrans No 17 Tahun 2005 hanya  46. Dewan Pengupahan Daerah perlu dievaluasi agar  lebih luas.

Substansi pengupahan dan jaminan sosial kaum buruh  dibanding negara lain jauh berbeda. Komponen KHL  menyebabkan sistem pengupahan tidak  linier dengan  kompetensi kerja yang terukur secara baik. Posisi tawar buruh yang rendah disertai dengan ketidakmampuan pemerintah  memperluas lapangan kerja semakin memperpuruk sistem pengupahan.

Definisi Pengupahan menurut UU No 13 Th 2003, tentang Ketenagakerjaan “adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 1 angka 30 ).” Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi kehidupan  layak  kemanusiaan, pemerintah berkewajiban menetapkan kebijakan pengupahan guna  melindungi pekerja.

Penghasilan yang memenuhi penghidupan  layak adalah jumlah penerimaan pekerja supaya dapat  memenuhi kebutuhan hidup bersama  keluarga secara wajar. Ini  meliputi makanan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Namun antara semangat Undang-Undang Ketenagakerjaan dan kebijakan pemerintah  kerap tidak sejalan.

Sulit

Dalam menentukan kompomen KHL pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan investasi. Sedangkan  buruh terfokus  pada  produktivitas dan kesejahteraan yang berbasis daya beli aktual.

Maka,  keduanya sulit tercapai kompromi. Rumusan UMK semakin membuat para buruh kehilangan daya beli, sehingga sering  kekurangan gizi karena kebutuhan makanan tidak terpenuhi nutrisi yang baik. Mereka tak mampu mencapai  3.000 kalori. Buruh hanya  makan asal kenyang  untuk mengganjal perut dengan jajanan kaki lima  rendah kalori dan kurang  gizi.

 Penetapan besaran KHL yang dijadikan patokan UMK  sering sumir dan tidak logis. Padahal komponen, jenis, bobot dan volume  KHL merupakan kebutuhan seorang pekerja dan keluarganya. Nilainya harus terukur berdasarkan hasil survei yang jujur terhadap harga kebutuhan pokok.

Dewan Pengupahan yang bertugas menetapkan komponen KHL kurang obyektif dan  terkesan asal-asalan. Akibatnya perhitungan KHL versi organisasi buruh berbeda jauh dengan milik pemerintah.

Selanjutnya perumusan KHL sebaiknya melibatkan unsur  independen seperti  perguruan tinggi atau lembaga ilmiah. Komponen KHL yang berdampak negatif bagi penentuan UMK harus segera diatasi agar tidak menimbulkan gejolak tahunan. Sudah waktunya merombak postur dan kinerja dewan pengupahan daerah sehingga bisa lebih independen dan obyektif dalam merumuskan sistem dan besaran pengupahan buruh. 

Kini masalah ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut hak-hak normatif karyawan seperti upah, jaminan sosial, hak berserikat dan lain-lain. Tetapi lebih dari itu ada hal yang sangat substansial terkait  kesulitan perusahaan yang bisa berakibat kepailitan dan efek ikutannya. Jadi,  menjelang kenaikan harga BBM  agar subsidi lebih tepat sasaran, sebaiknya dijadikan introspeksi  kalangan serikat pekerja. Mereka harus turut memikirkan dan  bertanggung jawab terhadap masa depan perusahaan yang menjadi sumur kehidupannya.

Dalam situasi dunia yang sulit diprediksi dan  persaingan sengit, kondisi perusahaan bisa terancam pailit alias bangkrut sewaktu-waktu baik  swasta ataupun BUMN. Semua berpotensi mengalami kepailitan yang  berefek jauh lebih pahit bagi  karyawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar