Minggu, 09 November 2014

Ulah DPR dan Sepak Bola Gajah

Ulah DPR dan Sepak Bola Gajah

Gunawan Witjaksana  ;  Dosen dan Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


“Tinggal dua pilihan yang bisa dilakukan DPR: mau mengubah sikap atau tetap memperlihatkan adu kekuatan”

KITA saat  ini sangat gusar oleh ulah sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang setelah sebulan dilantik terus melakukan benturan, bahkan saat ini terbelah dua kelompok. Di sisi lain juga kecewa dengan sepak bola kita yang seharusnya dijadikan pangkal suportivitas tapi malah mempertontonkan sepak bola gajah hingga dua tim yang melakukan didiskualifikasi.

Meski sifat  dan tujuannya berbeda, PSIS dan PSS sama-sama takut dan ingin menghindari Borneo FC di semifinal, dan DPR dua kelompok saling berdalih ingin menyejahterakan rakyat dengan versi masing-masing, urgensi keduanya sama. Baik DPR maupun tim sepak bola itu sangatlah memalukan dan tidak mampu menjaga marwah lembaganya. Keduanya pun memperoleh kecaman bertubi-tubi dari masyarakat, baik langsung, melalui media massa, bahkan media sosial.

Sadar dan segera mau berubahkah keduanya? Atau sebaliknya akan tidak acuh dan terus nyenyak dalam mimpi yang memuakkan hingga rakyat terpaksa menjauhinya, dan bila perlu menindaknya?

Kita yang saat ini hidup dalam era informasi yang penuh kebebasan dan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, terlebih sekelas elite politik DPR atau pemain, pelatih, dan manajer klub sepak bola, mestinya paham kekuatan media. Dengan fungsi mediasi dan advokasinya yang makin maksimal maka apa pun yang mereka lakukan, tentu cepat tersebar hingga ke seantero jagad.

Betapa malunya mestinya, bila sikap dan perilaku buruk mereka terlipatgandakan melalui kekuatan pelipatgandaan pengetahuan (multiplier of knowledge) oleh berbagai media sehingga rakyat mengetahui dan menilainya. Terlebih dari dampak komunikasi seperti yang disampaikan Towne dan Alder, komunikasi itu tidak bisa diulang dan diperbaiki (communication is unrepeatable and irreversible). Nenek moyang kita pun jauh lebih cermat dan menasihatkan bahwa sabda padhita ratu, tan kena wola-wali.

Intinya, sikap dan perbuatan orang atau sekelompok orang yang hakikatnya adalah pesan komunikasi itu tidak boleh terkonotasi buruk, karena konotasi buruk (karakter buruk) tersebut akan berpengaruh terhadap kredibilitas orang atau lembaga, seperti sinyalemen Yale.

Terpuruknya prestasi persepakbolaan kita yang baru saja mulai beranjak pulih dengan sedikit prestasi U-19, kembali ternodai oleh dua klub divisi utama yang akhirnya didiskualifikasi. Demikian pula dengan citra DPR dan partai politik (parpol) yang hampir pada titik nadir, bahkan makin terpuruk dengan model pemilihan brutal karena mengandalkan dana, ternyata diperparah oleh sikap dan perilaku buruk anggota yang terliput media, setelah terpilih.

Teori Kekerasan        

Alasan mengalihkan konflik ke legislasi tatkala mereka berdalih pada UU Pilkada yang tidak langsung, ternyata justru memberikan tontonan sekaligus contoh buruk kepada masyarakat akar rumput. Wakil rakyat barangkali lupa atau bahkan tidak tahu ada teori kekerasan melalui televisi: aggressive cues theory dan observasional learning theory, yang justru memicu akar rumput belajar sekaligus mencontoh tanda-tanda kekerasan yang mereka pertontonkan.

Para elite sering dengan gampangnya menuduh rakyat belum dewasa dalam berpolitik. Namun, kenyataannya justru rakyat sudah sangat dewasa. Bersatu dan guyupnya rakyat ketika mengadakan pesta menyambut pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden dengan melupakan pilihannya ketika Pilpres 2014, seharusnya membuat para elite malu dan introspeksi, sekaligus berkaca pada sikap dan perilaku rakyat. Pepatah kebo nusu gudel, seharusnya mereka anut, terlebih bila mengaku menjalankan demokrasi Pancasila.

Demokrasi  Pancasila yang intinya mengedepankan musyawarah mufakat, dalam bahasa komunikasi sama saja dengan dialog. Sebuah dialog akan berhasil menemukan titik temu (mutual understanding) bila para pihak yang berdialog mau saling mengalah. Sebaliknya, jalan buntu seperti kita saksikan saat ini semata karena kata musyawarah itu hanya lips service, namun kenyataannya yang kuat tetap berupaya memaksakan kehendak.

Akhirnya, tinggal dua pilihan yang bisa dilakukan DPR. Mengubah sikap, saling berdialog, saling mengalah sehingga tercapai titik temu demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan NKRI seperti antara lain dijanjikan Ketua MPR. Atau sebaliknya, tetap memperlihatkan adu kuat tanpa penyelesaian, dan pemerintah yang tampak prorakyat tidak bisa bekerja sehingga akhirnya rakyat marah dan memorakporandakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar