Dari
ISIS Kembali Belajar (Sejarah) Islam
Muhammad Kholid Asyadulloh ; Mahasiswa Pascasarjana
UIN Surabaya; Alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2014
HARI-hari ini pembicaraan
tentang relasi khilafah dan kebajikan Islam menjadi pembicaraan yang menyedot
perhatian banyak orang. Itu tidak lepas dari dua deklarasi kekhalifahan yang
dilakukan Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS) berubah menjadi Islamic
State (IS) di Timur Tengah (29/6), disusul Boko Haram di Nigeria (24/8).
Dua kekhilafahan yang pendiriannya berlumuran darah karena tidak segan
membantai siapa saja yang dianggap `kafir'. Aksi yang mengatasnamakan agama
itu kontan mengharuskan pemeluk Islam kembali belajar (sejarah) Islam lebih
intens.
Pembunuhan dua khilafah yang
mengklaim penganut Islam ahlu sunnah
wal jamaah (Sunni) itu tidak hanya dilakukan pada nonmuslim, tapi juga
mereka yang memegang kuat dua kalimat syahadat. Bukan hanya kalangan muslim
Syiah yang sejak awal mereka anggap berbeda, melainkan juga pada sesama
kelompok Sunni yang tidak bersepakat dengan perjuangan mereka. Tidak heran
jika para pakar pemikir Islam memasukkan keduanya sebagai gerakan Islam `Neokhawarij' karena meyakini muslim
yang tidak segaris sebagai kafir.
Contoh kesadisan ISIS terlihat
dari video pemenggalan James Wright Foley (20/8) dan Steven Sotloff (2/9).
Keduanya bukanlah awal atau akhir pembantaian karena ISIS sebelumnya juga
telah menyembelih tawanan `kafir'. Di dunia maya begitu mudah untuk
mendapatkan video kebrutalan dengan cara menembaki `tawanan' yang tidak
berdaya. Kekejaman yang serumpun juga diperlihatkan Boko Haram dengan
pembantaian ribuan warga sipil, tidak terkecuali menculik dua ratusan pelajar
yang tidak terlibat dalam persengketaan politik.
Bukan cerita baru
Aksi barbarian dua khilafah
abad ke-21 itu bukan sesuatu yang baru dalam sejarah Islam.Sejak 24 tahun
pascawafatnya Nabi Muhammad SAW, praktik saling membunuh sesama muslim sudah
muncul dalam sejarah perebutan kekuasaan.Pengalaman kelam cara bernegara umat
Islam lewat model khilafah sebenarnya tercatat gamblang dalam kitab-kitab
sejarah yang mu'tabarah. Kumpulan khilafah berdarah itu dirangkum Farag Fouda
dalam al-Haqiqah al-Ghaibah, dia hanya mengakhiri pada Dinasti Abbasiyah.
Buku itulah yang dalam terjemahan Novriantoni diberi judul Kebenaran yang
Hilang Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim.
Tragedi berdarah yang sadis
pertama kali menimpa Usman bin Affan, khalifah ketiga dari empat khalifah
al-Rasyidun. Ada riwayat yang menyatakan jenazah Usman langsung dikubur
sesaat setelah pembunuhan tapi banyak riwayat yang menyatakan baru dua atau
tiga hari kemudian. Sebagian besar pemberontak yang sama-sama muslim, ternyata
tidak menyalatkan dan menguburkan jenazah Usman secara layak, itu yang
mencengangkan. Ketika jasad Usman ditandu ke pemakaman, ada saja yang
melempari, meludahi, mematahkan persendian tangan, hingga melarang dikuburkan
di pemakaman Islam.
Versi kelam itu tampaknya lebih
mendekati kebenaran karena fakta menunjukkan kuburan Usman awalnya di
kompleks pemakaman Yahudi, Hisy Kaukab. Barulah ketika Dinasti Umayyah
berkuasa, kompleks itu disulap menjadi pemakaman Islam dan disatukan dengan
Baqi'. Cerita kelam itu dicatat Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi Tarikh vol
II, h 19, Ibnu Katsir (al-Bidayah wa
al-Nihayah vol VII, h 213-222), Al-Tabari (Tarikh al-Rusul wa al-Muluk vol III, h 5-7), dan al-Suyuthi (Tarikh al-Khulafa vol I, h 66). Cerita
yang sama juga terekam dalam Asad alGhabah vol I, Mukhtashar Tarikh Dimasyqi
vol V, al-Badu wa al-Tarikh vol I, Masalik al-Absar fi Mamalik al-Amshar vol
I, Tarikh al-Madinah vol I, III, dan IV, Tarikh Ibn Khaldun vol II, dan
lain-lain.
Catatan berdarah sesama umat
Islam yang dipicu kekuasaan secara benderang juga dilakukan Yazid bin
Muawiyah (679-683 M), khalifah kedua Dinasti Umayyah. Ba nyak catatan yang
menguraikan perlakuan sadisnya pada Husain bin Ali bin Abi Thalib dalam
tragedi Karbala. Bukan hanya bentuk pengepungan berhari-hari yang membuat
Husain dan pengikutnya kelaparan serta kehausan, melainkan juga cara
eksekusinya yang brutal.
Kekejaman Yazid terhadap
penentangnya juga tergambar dalam pembantaian massal yang dikenal dengan
istilah `peristiwa Harrah' di Madinah. Tidak kurang dari 4.500-an penduduk
Madinah yang mencabut baiat dibunuh, bahkan ketika dalam posisi tertawan. Hampir
semua buku sejarah klasik Islam yang mu'tabarah
mencatat peristiwa itu secara rinci dan cara eksekusinya.Harrah merupakan
peristiwa kematian terbesar yang menimpa para sahabat Nabi yang dilakukan
sesama umat Islam.
Kekhilafahan berdarah juga
diperlihatkan Abu al-Abbas al-Saffah (749-753) ketika mendirikan Dinasti
Abbasiyah.Setelah berhasil membunuh khalifah terakhir Dinasti Umayyah, Marwan
bin Muhammad, dia terus memburu dan membunuh sanak keluarga juga pendukung
Dinasti Umayyah. Kesadisan itu tercatat dalam al-Kamil fi al-Tarikh vol II,
al-Bidayah wa al-Nihayah vol X, Muruj al-Dzahab vol I, Mukhtashar Tarikh
Dimasyqi vol VII, al-Mukhtashar fi Akhbar al-Basyar vol I, Tarikh al-Ya'qubi
vol I, dan Tarikh Mukhtashar al-Duwal vol I.
Kesadisan yang licik al-Saffah
terhadap (bekas) lawan politiknya dicatat Ibnu Khaldun dalam Tarikh Ibn
Khaldun vol III. Awalnya, al-Shaffah menjanjikan keamanan nyawa bagi mereka
yang bertalian darah dengan Dinasti Umayyah, dan mengundangnya dalam jamuan
makan. `Kebaikan' itu membuat 80-an famili `bukan inti' Dinasti Umayyah mau
hadir di istana Abbasiyah. Saat itulah al-Saffah memerintahkan pasukannya
untuk mengeksekusi para tamu. Cerita serupa dicatat Ibnu al-Atsir dalam
al-Kamil fi al-Tarikh vol II dan Abu al-Fida dalam al-Mukhtashar fi Akhbar
al-Basyar vol I.
Wajib ditelaah
Membaca sekilas catatan
ketidakmanusiaan praktik khilafah itu, seharusnya umat Islam kembali menelaah
ajar annya tanpa melupakan historisitas yang menyertainya. Tidak terkecuali
memahami betul makna khilafah yang seringkali dijadikan `dagangan' salesman ideologi transnasional. Banyak
umat Islam yang mengira bahwa pada masa klasik, kemajuan umat Islam terjadi
dalam semua bidang sehingga semuanya dilihat serba indah dan maju. Padahal,
dilihat secara jeli, dunia Islam telah terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil,
dan khalifah menjadi simbol.
Dalam QS al-Maidah ayat 44-47
yang sering dijadikan landasan pengkhayal khilafah menyebut pentingnya
`kepemimpinan' untuk men jamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sudah
tentu tafsirnya tidak bisa ditarik sebagai keharusan negara model `khilafah'
dalam artian sejarah peradaban Islam. Apalagi merujuk pada praktik Indonesia
misalnya, pelaksanaan syariat Islam sebenarnya sudah bisa berjalan tanpa
melabeli negara dengan khilafah. Mulai dari kebebasan melaksanakan salat,
memakai jilbab, puasa, sekolah, menikah, penarikan zakat, pemberangkatan
haji, eksistensi peradilan Islam, dan seterusnya.
Dari sudut sejarah dan dogma,
kehadiran kekhilafahan sebagai institusi politik bukanlah sebuah keharusan
yang dibebankan agama. Kepemimpinan ialah masalah yang sangat fundamental
karena tugasnya untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama serta
memberikan kesejahteraan pada warga. Tentu kepemimpinan tidak sama dengan
khilafah. Apalagi khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang berkuasa penuh,
tidak mengenal pembagian kekuasaan (trias
politica), tidak mengenal pembatasan masa jabatan, dan tidak mengenal
batas teritorial.
Sejarah menunjukkan bahwa
praktik `bernegara' umat muslim tidak selalu bertaburan dengan kebajikan
sebagaimana yang diajarkan agama. Itu pula yang harus dipahami dari deklarasi
kekhalifahan ISIS dan Boko Haram yang menyam pingkan prinsip dan nilai-nilai
keluhuran lslam tentang perdamaian, kesantunan, dan keadaban. Selain
penegakan khilafah tidak berdasarkan dalil-dalil syar'i, tapi praktik berdarah mereka juga menyimpang jauh dari
Islam. Jika umat Islam semakin mengkaji sejarah dan Islam lebih mendalam,
akan semakin paham tidak ada justifikasi tentang keharusan khilafah. Allahu a'lam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar