Pahlawan
Pembelajar
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2014
"The warrior of the light is always trying to improve. A
warrior of the light is always committed. He is the slave of his dream and
free to act."
PENGGALAN kalimat tersebut
berasal dari penulis The Alchemist,
Paulo Coelho, dalam kumpulan nasihat sederhana dan memikatnya, Warrior of the Light: A Manual (2011).
Sebagai sebuah catatan pendek tentang betapa pentingnya menerima kegagalan,
menghargai kehidupan, dan mengubah jalan hidup untuk mengubah takdir
seseorang, buku itu sarat akan pesan moral tentang laku spiritual seorang
pejuang sejati. Di Hari Pahlawan yang kita peringati hari ini, penting bagi
bangsa mencari figur yang dapat memberikan teladan tentang laku spiritual
seorang pejuang sejati seperti pernah ditunjukkan para tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Tjokroaminoto, dan Agus Salim.
Proses alih generasi makna
pahlawan tampaknya tak begitu diperhatikan dunia pendidikan kita. Kata
pahlawan selalu menemui jalan buntu pemaknaan yang berkelanjutan sehingga di
ruang kelas kata pahlawan selalu dimaknai masa lalu (the past), tanpa ada upaya menemukan makna pahlawan di masa depan
(the future). Pahlawan selalu
identik dengan kondisi fisik kematian melalui sebuah peperangan sehingga elan
dasar kata pahlawan seperti sebuah museum kehidupan di masa lalu. Padahal,
sejatinya setiap siswa kita di sekolah harus diberi keyakinan untuk menemukan
makna pahlawan bagi dirinya sendiri, untuk masa depannya sendiri.
Itulah, misalnya, yang kita
temui dalam kamu bahasa Indonesia WJS Poerwadarminto.Kata pahlawan diartikan
sebagai `pejuang yang gagah berani atau yang terkemuka'. Sebuah definisi
dengan batasan yang sangat luas, multiintepretasi, karena ukurannya hanya
gagah berani tanpa ada penjelasan gagah berani dalam hal apa, untuk siapa,
dan menurut siapa. Kata itu, jika diterjemahkan dalam konteks ruang dan waktu
sekarang oleh para siswa kita, bisa jadi, bermakna para jagoan superhero,
bersenjata lengkap, berotot kawat, dan bertulang besi laksana film-film
Hollywood. Jika kata pahlawan diikuti dengan kata lainnya seperti `pahlawan
tanpa tanda jasa' untuk para guru, dan `pahlawan devisa' untuk para TKI,
ukuran `gagah berani' pasti akan bermakna lain. Karena itu, penting bagi kita
untuk menambahkan, misalnya, kata berlandaskan hati nurani di belakang kata
gagah berani.
Jika arti pahlawan tetap
dibiarkan dengan definisi ala Poerwadarminto, bisa jadi anak-anak kita tetap
akan mengasosiasi dan berimajinasi bahwa pahlawan identik dengan peperangan,
senjata, dan ketidakadilan semata. Kasusnya ya seperti di Indonesia ini,
yakni hampir semua pahlawan nasional ialah mereka yang pernah terlibat perang
(kemerdekaan), berbau militeristis, serta diberikan identitas kepahlawanan
nasional melalui surat keputusan presiden. Adakah yang tanpa SK presiden?
Jawabnya ada. Ketika saya mengajar pada beberapa sekolah tenda di Aceh
pascagempa dan tsunami, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada siswa-siswa
di Aceh tentang nama-nama pahlawan nasional. Jawaban mereka sungguh membuat
saya cukup geli dan kaget karena mereka menyebut hampir semua pejuang GAM
seperti Ahmad Syafi'i, Muzakkir Manaf, dan Hasan Tiro sebagai pejuang dan pahlawan
nasional. Hampir tak ada anak di sekolah yang menganggap guru mereka sebagai
figur pahlawan.
Epos kepahlawanan
Pendidikan kita harus melakukan
reorientasi pemaknaan pahlawan melalui sebuah proses belajar yang
berkeadilan, konsisten, serta setia terhadap proses belajar itu sendiri.
Sebagaimana kehidupan yang selalu berproses, makna pahlawan harus kita
semaikan pemaknaannya di sekolah melalui sebuah proses alamiah yang benar,
bukan melalui penciptaan mitos yang belum tentu kebenarannya. Kesadaran
semacam inilah yang diperlukan para guru kita dalam membingkai makna pahlawan
dalam proses belajar-mengajar. Kata pahlawan harus memperoleh padanannya
dalam konteks pendidikan, yaitu pahlawan pembelajar.
Para guru di sekolah harus
belajar dari perspektif Joseph Campbell dalam Hero's Journey, bahwa perjalanan hidup setiap pahlawan pasti akan
melalui enam tahapan penting, yaitu innocence,
the call, initiation, allies, breakthrough, dan celebration. Sebelum seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pasti
mereka ialah orang biasa dan bersahaja (innocence).
Barulah ketika mereka merasa ada sesuatu yang harus diperjuangkan dan merasa
terpanggil (the call, beruf) untuk
melakukan sesuatu, dimulailah perjalanan seseorang untuk menjadi pahlawan.
Melalui sebuah usaha dan kerja keras serta melalui rintangan dan tantangan
yang hebat (initiation), seorang
calon pahlawan pastilah membutuhkan teman satu visi dan misi (allies) untuk mencapai tujuan
perjuangannya.
Dari pertemanan itulah
diharapkan akan muncul berbagai ide dan terobosan (breakthrough) yang akan memudahkan seseorang mencapai sasaran dan
tujuan yang dikehendaki. Barulah setelah itu seseorang bisa dikatakan sebagai
pahlawan (celebration) karena dapat
membuktikan dirinya berhasil dan bermanfaat bagi sesama bukan hanya karena
kerja kerasnya secara pribadi, melainkan juga melalui sebuah kesepakatan dan
bantuan teman-temannya.
Tahapan yang digambarkan itu
dengan jelas memperlihatkan esensi dari sebuah epos kepahlawanan yang akan
direngkuh seseorang. Bagi para pendidik, kesemua tahapan itu ialah sebuah
kelayakan yang harus dipenuhi. Dengan dimulai dari kesediaan untuk selalu
belajar, menyadari bahwa mendidik ialah sebuah panggilan dan tanggung jawab,
membutuhkan peer (sejawat) yang
bisa memberi motivasi sekaligus memberi kritik, serta membutuhkan kreativitas
dan imajinasi yang tak sedikit. Mendidik ialah proses mencari jati diri
kepahlawanan yang sesungguhnya. Bungkusan kesempurnaan dari dedikasi
kepahlawanan seorang guru dalam mendidik ialah kejujuran dan keikhlasan,
sebuah pedoman berharga yang hanya diketahui tempat dan sifatnya oleh diri
kita masing-masing.
Jika para menteri diminta
Presiden Jokowi untuk bekerja, bekerja,
dan bekerja, para guru sebagai pahlawan pembelajar harus meneruskan epos
kepahlawan baru dengan belajar,
belajar, dan belajar. Selamat meneruskan perjuangan, wahai para pahlawan
pembelajar tanpa tanda jasa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar