Dari
Daerah untuk Indonesia
Bawono Kumoro ; Peneliti
Politik The Habibie Center
|
JAWA
POS, 13 November 2014
PEMBERLAKUAN otonomi daerah (otoda) sejak 1999, kemudian diikuti
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung enam tahun berselang
membawa berkah sekaligus musibah. Dikatakan musibah karena tindak pidana
korupsi tumbuh subur dengan kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagai
tersangka utama.
Berdasar data Kementerian Dalam Negeri per Januari 2014,
tercatat 318 orang di antara total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala
daerah tersangkut kasus korupsi. Terbaru, Gubernur Riau Annas Maamun diciduk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat dugaan suap peralihan izin
kehutanan. Alhasil, korupsi pun menjadi salah satu persoalan akut dalam
pelaksanaan otoda di Indonesia.
Namun, beruntung bangsa ini, tidak melulu musibah yang hadir
dalam pelaksanaan otoda dan pilkada langsung selama ini. Tidak sedikit berkah
yang mengalir akibat pemberlakuan otoda dan pilkada langsung di Indonesia.
Berkah paling dirasakan adalah kedekatan ”jarak politik” antara kepala daerah
selaku pemimpin dan rakyat sehingga menjadikan penanganan masalah sehari-hari
relatif lebih cepat karena tidak perlu lagi menunggu komando pemerintah pusat
di Jakarta.
Beberapa pemimpin daerah juga dikenal memiliki leadership kuat sehingga dapat
menangani ribuan masalah di daerah tersebut. Yang lebih mengejutkan, sebagian
dari mereka justru tidak memiliki latar belakang politisi, tetapi mampu
mengatasi berbagai hambatan politik yang muncul selama periode kepemimpinan
mereka di daerah bersangkutan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi salah satu contoh
kepala daerah dimaksud. Datang dari latar belakang pegawai negeri sipil (PNS)
tidak menjadi kendala bagi Risma –sapaan Tri Rismaharini– untuk berani
menolak pembangunan jalan tol dan papan reklame besar meskipun DPRD Surabaya
mengancam akan mencopot sang wali kota. Bahkan, Risma juga berhasil menutup
lokalisasi prostitusi Dolly setelah puluhan tahun beroperasi.
Ada contoh kepala daerah lain bernama Ridwan Kamil, sang wali
kota Bandung. Sejak dilantik sebagai wali kota 16 September 2013, Kang Emil
–demikian Ridwan Kamil akrab disapa– terus melakukan berbagai gebrakan agar
wajah kota berjuluk Paris van Java itu lebih tertib, teratur, dan indah.
Di bidang infrastruktur, gebrakan-gebrakan tersebut antara lain
berupa program pengaspalan jalan melalui unit reaksi cepat tambal jalan dan
penataan taman kota. Selain itu, renovasi pasar menjadi salah satu penataan
di bidang infrastruktur seperti renovasi Pasar Cijerah.
Kemudian, di bidang reformasi birokrasi, Pemkot Bandung menjalin
kerja sama dengan KPK untuk pengendalian gratifikasi. Tidak memiliki latar
belakang dan pengalaman sebagai politisi maupun PNS tidak lantas membuat
Ridwan kehilangan keberanian untuk memberlakukan lelang jabatan bagi kepala
dinas dan sejumlah jabatan eselon lain.
Contoh lain kepala daerah berprestasi dengan tidak memiliki
latar belakang politisi adalah Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah. Sebelum
menduduki kursi bupati, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 51 tahun
silam itu dikenal sebagai guru besar Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.
Nurdin menjadi bupati Bantaeng kali pertama melalui pilkada
2008. Pertumbuhan pesat Bantaeng membuat masyarakat Bantaeng meminta sang
bupati kembali mencalonkan diri pada pilkada 2013. Nurdin pun kembali
terpilih sebagai bupati dengan meraup 82 persen suara.
Nurdin memang dikenal sebagai bupati merakyat dan pekerja keras.
Dia sangat jarang duduk lama di kantor karena lebih sering blusukan turun
langsung ke bawah memetakan masalah sehari-hari untuk kemudian membuat
solusi.
Lokal, Kualitas Nasional
Tiga contoh kepala daerah berprestasi di atas memberikan satu
pesan politik penting kepada kita semua bahwa tidak relevan lagi melulu
melihat panggung politik nasional di Jakarta untuk mencari pemimpin bangsa
berkualitas di masa depan. Padahal, apabila kita bersedia lebih mengalihkan
pandangan ke daerah, akan ditemukan banyak pemimpin daerah dengan sederet
prestasi mengesankan, penuh integritas, dan berdedikasi tinggi. Dalam bahasa
lebih sederhana, mereka merupakan figur lokal berkualitas nasional.
Kehadiran daerah menjadi penting dalam konstelasi politik
nasional mengingat perubahan sistem politik pasca-Orde Baru mengharuskan
kehadiran desentralisasi otoritas dan administratif dalam pengelolaan daerah.
Apalagi, selama ini eksplorasi publik secara luas tidak memberikan ruang luas
bagi kepala-kepala daerah potensial untuk lebih jauh berkiprah di pentas
nasional.
Satu hal penting dalam memunculkan kepala daerah sebagai figur
alternatif adalah kapasitas eksekutif yang dimiliki berdasar pengalaman di
daerah. Keberhasilan dalam membuat sejumlah kebijakan yang kemudian berbuah
prestasi adalah eksperimen jabatan eksekutif paling riil dalam mengelola
negara di level mikro.
Untuk itu, partai politik sebagai sarana partisipasi politik
harus mulai mengarahkan para kepala daerah berprestasi tersebut menuju level
kepemimpinan lebih strategis di tingkat nasional agar dapat mendatangkan
manfaat lebih besar bagi publik. Tidak melulu memberikan ruang itu kepada
para elite berduit dan memiliki akses politik besar di Jakarta.
Namun, harapan untuk terus dapat melihat kehadiran kepala-kepala
daerah berprestasi di masa mendatang terancam punah pasca pengesahan
Undang-Undang Pilkada yang mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah
melalui DPRD. Pengembalian pilkada lewat DPRD akan membuat para calon dengan
dukungan dana dan akses politik besar lebih dimungkinkan untuk terpilih
daripada para calon dengan minim dana dan akses politik, tetapi visioner dan
kompeten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar