Jumat, 14 November 2014

Dari Daerah untuk Indonesia

Dari Daerah untuk Indonesia

Bawono Kumoro  ;  Peneliti Politik The Habibie Center
JAWA POS, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


PEMBERLAKUAN otonomi daerah (otoda) sejak 1999, kemudian diikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung enam tahun berselang membawa berkah sekaligus musibah. Dikatakan musibah karena tindak pidana korupsi tumbuh subur dengan kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagai tersangka utama.

Berdasar data Kementerian Dalam Negeri per Januari 2014, tercatat 318 orang di antara total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Terbaru, Gubernur Riau Annas Maamun diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat dugaan suap peralihan izin kehutanan. Alhasil, korupsi pun menjadi salah satu persoalan akut dalam pelaksanaan otoda di Indonesia.

Namun, beruntung bangsa ini, tidak melulu musibah yang hadir dalam pelaksanaan otoda dan pilkada langsung selama ini. Tidak sedikit berkah yang mengalir akibat pemberlakuan otoda dan pilkada langsung di Indonesia. Berkah paling dirasakan adalah kedekatan ”jarak politik” antara kepala daerah selaku pemimpin dan rakyat sehingga menjadikan penanganan masalah sehari-hari relatif lebih cepat karena tidak perlu lagi menunggu komando pemerintah pusat di Jakarta.

Beberapa pemimpin daerah juga dikenal memiliki leadership kuat sehingga dapat menangani ribuan masalah di daerah tersebut. Yang lebih mengejutkan, sebagian dari mereka justru tidak memiliki latar belakang politisi, tetapi mampu mengatasi berbagai hambatan politik yang muncul selama periode kepemimpinan mereka di daerah bersangkutan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi salah satu contoh kepala daerah dimaksud. Datang dari latar belakang pegawai negeri sipil (PNS) tidak menjadi kendala bagi Risma –sapaan Tri Rismaharini– untuk berani menolak pembangunan jalan tol dan papan reklame besar meskipun DPRD Surabaya mengancam akan mencopot sang wali kota. Bahkan, Risma juga berhasil menutup lokalisasi prostitusi Dolly setelah puluhan tahun beroperasi.

Ada contoh kepala daerah lain bernama Ridwan Kamil, sang wali kota Bandung. Sejak dilantik sebagai wali kota 16 September 2013, Kang Emil –demikian Ridwan Kamil akrab disapa– terus melakukan berbagai gebrakan agar wajah kota berjuluk Paris van Java itu lebih tertib, teratur, dan indah.

Di bidang infrastruktur, gebrakan-gebrakan tersebut antara lain berupa program pengaspalan jalan melalui unit reaksi cepat tambal jalan dan penataan taman kota. Selain itu, renovasi pasar menjadi salah satu penataan di bidang infrastruktur seperti renovasi Pasar Cijerah.

Kemudian, di bidang reformasi birokrasi, Pemkot Bandung menjalin kerja sama dengan KPK untuk pengendalian gratifikasi. Tidak memiliki latar belakang dan pengalaman sebagai politisi maupun PNS tidak lantas membuat Ridwan kehilangan keberanian untuk memberlakukan lelang jabatan bagi kepala dinas dan sejumlah jabatan eselon lain.

Contoh lain kepala daerah berprestasi dengan tidak memiliki latar belakang politisi adalah Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah. Sebelum menduduki kursi bupati, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 51 tahun silam itu dikenal sebagai guru besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Nurdin menjadi bupati Bantaeng kali pertama melalui pilkada 2008. Pertumbuhan pesat Bantaeng membuat masyarakat Bantaeng meminta sang bupati kembali mencalonkan diri pada pilkada 2013. Nurdin pun kembali terpilih sebagai bupati dengan meraup 82 persen suara.

Nurdin memang dikenal sebagai bupati merakyat dan pekerja keras. Dia sangat jarang duduk lama di kantor karena lebih sering blusukan turun langsung ke bawah memetakan masalah sehari-hari untuk kemudian membuat solusi.

Lokal, Kualitas Nasional

Tiga contoh kepala daerah berprestasi di atas memberikan satu pesan politik penting kepada kita semua bahwa tidak relevan lagi melulu melihat panggung politik nasional di Jakarta untuk mencari pemimpin bangsa berkualitas di masa depan. Padahal, apabila kita bersedia lebih mengalihkan pandangan ke daerah, akan ditemukan banyak pemimpin daerah dengan sederet prestasi mengesankan, penuh integritas, dan berdedikasi tinggi. Dalam bahasa lebih sederhana, mereka merupakan figur lokal berkualitas nasional.

Kehadiran daerah menjadi penting dalam konstelasi politik nasional mengingat perubahan sistem politik pasca-Orde Baru mengharuskan kehadiran desentralisasi otoritas dan administratif dalam pengelolaan daerah. Apalagi, selama ini eksplorasi publik secara luas tidak memberikan ruang luas bagi kepala-kepala daerah potensial untuk lebih jauh berkiprah di pentas nasional.

Satu hal penting dalam memunculkan kepala daerah sebagai figur alternatif adalah kapasitas eksekutif yang dimiliki berdasar pengalaman di daerah. Keberhasilan dalam membuat sejumlah kebijakan yang kemudian berbuah prestasi adalah eksperimen jabatan eksekutif paling riil dalam mengelola negara di level mikro.

Untuk itu, partai politik sebagai sarana partisipasi politik harus mulai mengarahkan para kepala daerah berprestasi tersebut menuju level kepemimpinan lebih strategis di tingkat nasional agar dapat mendatangkan manfaat lebih besar bagi publik. Tidak melulu memberikan ruang itu kepada para elite berduit dan memiliki akses politik besar di Jakarta.

Namun, harapan untuk terus dapat melihat kehadiran kepala-kepala daerah berprestasi di masa mendatang terancam punah pasca pengesahan Undang-Undang Pilkada yang mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pengembalian pilkada lewat DPRD akan membuat para calon dengan dukungan dana dan akses politik besar lebih dimungkinkan untuk terpilih daripada para calon dengan minim dana dan akses politik, tetapi visioner dan kompeten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar