Jumat, 14 November 2014

Merangkul Sektor Pelayaran

Merangkul Sektor Pelayaran

Siswanto Rusdi  ;  Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)
KORAN SINDO, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Dahulu ada film berjudul Mendadak Dangdut yang lumayan terkenal. Film ini menggambarkan bagaimana dua anak manusia yang tidak mengenal musik itu, karena keadaan terpaksa, menyanyikannya di atas panggung musik di sebuah kampung demi menghindari kejaran polisi.

Dengan kepemimpinan nasional dipegang oleh Presiden Joko Widodo, kini muncullah “mendadak maritim”. Mirip seperti Mendadak Dangdut, isu kemaritiman dibicarakan oleh berbagai kalangan, tidak peduli apakah mereka memiliki pengetahuan atau tidak tentang apa itu kemaritiman.

Yang terjadi akhirnya adalah oversimplifikasi makna kemaritiman. Kemaritiman dimaknai sama dengan keluatan, padahal ini dua hal yang berbeda. Menurut diplomat emeritus Hasjim Djalal, kelautan bersifat fisikal, sementara kemaritiman adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut.

Jika Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut kata “maritim” atau “kemaritiman”, ini sejatinya harus dimaknai bagaimana memanfaatkan lautan Nusantara untuk pelayaran (shipping) dan aspek ikutannya seperti perdagangan, asuransi, dan lainnya. Berlaku umum di dunia, memang pelayaranlah yang lazim disebut kemaritiman, tidak yang lainnya.

Alasannya sederhana, bisa saja sebuah negara memiliki industri perikanan yang modern, wisata bahari yang eksotik, atau yang lainnya. Namun, selama negara itu tidak memiliki pelayaran yang kuat semua tadi tidak akan banyak gunanya karena tidak ada yang akanmengangkutnya. Kolonialisme menjadi mungkin dilakukan oleh negeri penjajah karena mereka memiliki armada kapal yang tangguh.

Keberadaan Angkatan Laut (AL) sebuah negara, paling tidak menurut Capt A T Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal dalam bukunya, The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, muncul dari aktivitas pelayaran. Katanya: “...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping...”.

Pelayaran Nasional dan Tol Laut

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan banyak masyarakat yang berbicara kemaritiman kendati mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk itu. Malah ini patut diapresiasi mengingat lebih dari 30 tahun isukemaritiman tenggelam dari wacana publik di Indonesia.

Di sinilah Presiden Joko Widodo layak dihargai karena pilihannya dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) yang lalu dengan mengangkat isu kemaritiman sangat thought provoking sehingga isu kemaritiman menjadi in. Kendati demikian, “mendadak maritim” tetap saja memiliki dampak yaitu membelokkan arah kemaritiman yang seharusnya ditempuh.

Kondisi ini terasa sekali dalam penerapan gagasan tol laut Presiden Joko Widodo. Tol laut diartikan sebagai pembangunan pelabuhan besar-besaran di hampir seluruh daerah yang masuk dalam koridor tol laut (Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, Bitung, dan Sorong). Sementara aspek pelayarannya hampir tidak terdengar disinggung.

Pembangunan pelabuhan sah-sah saja, tapi membangunnya tanpa memikirkan apakah kapal akan menyandarinya kelak jelas suatu pemborosan. Kita memiliki banyak contoh bagaimana pola ini dijalankan. Salah satunya Pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat. Sebelum reformasi, di pelabuhan ini dibangun fasilitas terminal untuk melayani peti kemas seperti gantry crane, namun bongkar muat peti kemas hampir tidak ada.

Pengusaha lebih memilih Pelabuhan Belawan di Sumater Utara yang jauh lebih banyak dikunjungi kapal. Menurut cerita, Pelabuhan Teluk Bayur dibangun fasilitasnya lebih karena pejabat yang mengurusi perhubungan negeri ini saat itu adalah urang awak . Dengan begitu, rasanya tidak elok jika pelabuhan di daerah asalnya tidak dikembangkan.

Kasus Teluk Bayur adalah sebait cerita tentang bagaimana pembangunan pelabuhan lebih dilihat dari sudut daratan (port view). Idealnya, pengembangan pelabuhan haruslah dari sudut lautan atau ship view. Implementasi gagasan tol laut Presiden Joko Widodo yang berjalan saat ini menguarkan aroma pendekatan pembangunan pelabuhan zaman Orde Baru.

Operator pelabuhan, baik dari kalangan BUMN maupun swasta, sertapemerintahdaerah sepertinya berlomba-lomba merencanakan pembangunan pelabuhan demi mendukung tol laut. Padahal, jika dilihat dari sudut ship view, pelabuhan yang mereka usulkan tidak termasuk dalam pola berlayar operator kapal.

Pengembang pelabuhan barangkali berpikiran bila mereka berhasil membuat pelabuhan yang modern, kapal akan datang dengan sendiri. Mereka salah. Dalam dunia pelayaran berlaku prinsip ship follows the trade dan ini tidak berlaku kebalikannya.

Karena itu, mumpung tol laut sedang disiapkan implementasinya ada baiknya semua pemangku kepentingan kemaritiman bersungguh-sungguh melibatkan kalangan pelayaran dalam pembahasan gagasan Presiden tersebut. Untuk memulai itu, Presiden Joko Widodo tentu sangat berperan.

Ia bisa merangkul kalangan pelayaran yang tergabung dalam wadah The Indonesian National Shipowners Association (INSA) duduk bareng membicarakan program tol laut. Dari mereka, Presiden meminta masukan apakah pelabuhan-pelabuhan yang masuk dalam koridor tol laut itu sudah sesuai pola berlayar.

Bisa juga Presiden bertanya kepada INSA mengenai insentif seperti apakah yang mereka perlukan dalam mendukung program tol laut. Di samping itu, dan ini yang paling penting, Presiden bisa meminta masukan apakah dengan tol laut program beyond cabotage INSA dapat dijalankan secara sinergis.

Ini berarti pelayaran nasional nanti tidak hanya diminta merajut Nusantara, tapi juga merajut kawasan Asia-Pasifik. Jadi, Pak Jokowi. Pelayaran diajak juga dong dalam mewujudkan visi maritim Anda. Jangan hanya bergantung pada satu stakeholder untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar