Merangkul
Sektor Pelayaran
Siswanto Rusdi ; Direktur
The National Maritime Institute (NAMARIN)
|
KORAN
SINDO, 13 November 2014
Dahulu ada film berjudul Mendadak
Dangdut yang lumayan terkenal. Film ini menggambarkan bagaimana dua anak
manusia yang tidak mengenal musik itu, karena keadaan terpaksa,
menyanyikannya di atas panggung musik di sebuah kampung demi menghindari
kejaran polisi.
Dengan kepemimpinan nasional dipegang oleh Presiden Joko Widodo,
kini muncullah “mendadak maritim”. Mirip seperti Mendadak Dangdut, isu kemaritiman dibicarakan oleh berbagai
kalangan, tidak peduli apakah mereka memiliki pengetahuan atau tidak tentang
apa itu kemaritiman.
Yang terjadi akhirnya adalah oversimplifikasi makna kemaritiman.
Kemaritiman dimaknai sama dengan keluatan, padahal ini dua hal yang berbeda.
Menurut diplomat emeritus Hasjim Djalal, kelautan bersifat fisikal, sementara
kemaritiman adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut.
Jika Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut kata “maritim”
atau “kemaritiman”, ini sejatinya harus dimaknai bagaimana memanfaatkan
lautan Nusantara untuk pelayaran (shipping)
dan aspek ikutannya seperti perdagangan, asuransi, dan lainnya. Berlaku umum
di dunia, memang pelayaranlah yang lazim disebut kemaritiman, tidak yang
lainnya.
Alasannya sederhana, bisa saja sebuah negara memiliki industri
perikanan yang modern, wisata bahari yang eksotik, atau yang lainnya. Namun,
selama negara itu tidak memiliki pelayaran yang kuat semua tadi tidak akan
banyak gunanya karena tidak ada yang akanmengangkutnya. Kolonialisme menjadi
mungkin dilakukan oleh negeri penjajah karena mereka memiliki armada kapal
yang tangguh.
Keberadaan Angkatan Laut (AL) sebuah negara, paling tidak
menurut Capt A T Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal dalam bukunya,
The Influence of Sea Power Upon History
1660-1783, muncul dari aktivitas pelayaran. Katanya: “...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word,
springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping...”.
Pelayaran Nasional dan Tol
Laut
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan banyak masyarakat yang
berbicara kemaritiman kendati mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk itu. Malah ini patut diapresiasi mengingat lebih dari 30 tahun
isukemaritiman tenggelam dari wacana publik di Indonesia.
Di sinilah Presiden Joko Widodo layak dihargai karena pilihannya
dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) yang lalu dengan mengangkat isu
kemaritiman sangat thought provoking
sehingga isu kemaritiman menjadi in. Kendati demikian, “mendadak maritim”
tetap saja memiliki dampak yaitu membelokkan arah kemaritiman yang seharusnya
ditempuh.
Kondisi ini terasa sekali dalam penerapan gagasan tol laut
Presiden Joko Widodo. Tol laut diartikan sebagai pembangunan pelabuhan
besar-besaran di hampir seluruh daerah yang masuk dalam koridor tol laut
(Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, Bitung, dan Sorong).
Sementara aspek pelayarannya hampir tidak terdengar disinggung.
Pembangunan pelabuhan sah-sah saja, tapi membangunnya tanpa
memikirkan apakah kapal akan menyandarinya kelak jelas suatu pemborosan. Kita
memiliki banyak contoh bagaimana pola ini dijalankan. Salah satunya Pelabuhan
Teluk Bayur di Sumatera Barat. Sebelum reformasi, di pelabuhan ini dibangun
fasilitas terminal untuk melayani peti kemas seperti gantry crane, namun bongkar muat peti kemas hampir tidak ada.
Pengusaha lebih memilih Pelabuhan Belawan di Sumater Utara yang
jauh lebih banyak dikunjungi kapal. Menurut cerita, Pelabuhan Teluk Bayur
dibangun fasilitasnya lebih karena pejabat yang mengurusi perhubungan negeri
ini saat itu adalah urang awak . Dengan begitu, rasanya tidak elok jika
pelabuhan di daerah asalnya tidak dikembangkan.
Kasus Teluk Bayur adalah sebait cerita tentang bagaimana
pembangunan pelabuhan lebih dilihat dari sudut daratan (port view). Idealnya, pengembangan pelabuhan haruslah dari sudut
lautan atau ship view. Implementasi
gagasan tol laut Presiden Joko Widodo yang berjalan saat ini menguarkan aroma
pendekatan pembangunan pelabuhan zaman Orde Baru.
Operator pelabuhan, baik dari kalangan BUMN maupun swasta,
sertapemerintahdaerah sepertinya berlomba-lomba merencanakan pembangunan
pelabuhan demi mendukung tol laut. Padahal, jika dilihat dari sudut ship view, pelabuhan yang mereka
usulkan tidak termasuk dalam pola berlayar operator kapal.
Pengembang pelabuhan barangkali berpikiran bila mereka berhasil
membuat pelabuhan yang modern, kapal akan datang dengan sendiri. Mereka
salah. Dalam dunia pelayaran berlaku prinsip ship follows the trade dan ini tidak berlaku kebalikannya.
Karena itu, mumpung tol laut sedang disiapkan implementasinya ada
baiknya semua pemangku kepentingan kemaritiman bersungguh-sungguh melibatkan
kalangan pelayaran dalam pembahasan gagasan Presiden tersebut. Untuk memulai
itu, Presiden Joko Widodo tentu sangat berperan.
Ia bisa merangkul kalangan pelayaran yang tergabung dalam wadah The
Indonesian National Shipowners Association (INSA) duduk bareng membicarakan
program tol laut. Dari mereka, Presiden meminta masukan apakah pelabuhan-pelabuhan
yang masuk dalam koridor tol laut itu sudah sesuai pola berlayar.
Bisa juga Presiden bertanya kepada INSA mengenai insentif
seperti apakah yang mereka perlukan dalam mendukung program tol laut. Di
samping itu, dan ini yang paling penting, Presiden bisa meminta masukan
apakah dengan tol laut program beyond
cabotage INSA dapat dijalankan
secara sinergis.
Ini berarti pelayaran nasional nanti tidak hanya diminta merajut
Nusantara, tapi juga merajut kawasan Asia-Pasifik. Jadi, Pak Jokowi.
Pelayaran diajak juga dong dalam mewujudkan visi maritim Anda. Jangan hanya
bergantung pada satu stakeholder
untuk itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar