Agile
President
Rhenald Kasali ; Akademisi,
Praktisi Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 12 November 2014
PRESIDEN Jokowi, sebagaimana orang Jawa, saya lihat kerap
berbicara dengan simbol. Misalnya, ketika dinyatakan sebagai pemenang pemilu
oleh KPU, Jokowi-JK memilih menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal
pinisi. Pilihan kapal dan lokasi jelas mewakili materi kampanye Jokowi-JK
yang ingin mengembalikan kejayaan maritim Indonesia.
Suasana serupa juga terasa ketika dia mengumumkan
menteri-menterinya yang diminta berlari dalam balutan baju putih dengan
lengan digulung saat namanya dipanggil. Kita tentu bisa menangkap simbol
tersebut, yang artinya ya kerja, kerja dengan cepat.
Bagi saya, ritme kerja yang cepat itu cerminan keinginan
Jokowi-JK untuk menjadikan kabinetnya sebagai agile organization, organisasi yang lincah, cekatan! Lalu,
menteri-menterinya menjadi sosok yang agile
minister. Kemudian, Jokowi dan JK menjadi agile leader dan
pemerintahannya agile government.
Mengapa postur organisasi dan personalia semacam itu penting
bagi pemerintahan Jokowi-JK? Sebab, sebagaimana yang dilontarkan semasa
kampanye, Jokowi-JK ingin menggeser orientasi pembangunan yang semula
berpusat pada birokrasi yang rigid menjadi organisasi yang melayani dan mampu
bekerja dalam batasan yang serba menyulitkan. Duitnya terbatas, aturannya
merepotkan, lalu kualitas SDM birokrasinya memprihatinkan. Sangat
administratif dan panjang susahnya.
Perubahan yang cepat itu berpotensi menimbulkan kekacauan.
Banyak birokrat yang bingung karena telanjur terbiasa bekerja dengan
cara-cara lama, lalu tiba-tiba dituntut bekerja dengan cara-cara baru. Bahkan
dengan ritme kerja yang jauh lebih cepat.
Kondisi tersebut menuntut personalia yang cepat beradaptasi dan
tangkas menata diri di tengah situasi yang serbakacau. Mereka dituntut untuk
mampu mengorganisasi diri sendiri. Itulah ciri-ciri personalia yang agile dan
pada akhirnya melahirkan agile
organization.
Belajar dari UEA
Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan kisah di Uni Emirat
Arab (UEA). Sudah sejak dulu para petinggi Kerajaan UEA, yang lulusan sekolah
Barat, sadar betul bahwa mereka tak bisa selamanya mengandalkan pendapatan
dari migas. Sebagai non-renewable
resource, cadangan migas kelak bakal habis. Maka, sebelum habis, UEA
harus menemukan sumber-sumber pendapatan baru.
Di bawah kepemimpinan Syekh Zayed, penerus Emir Abu Dhabi, dan
Syekh Rashid yang merupakan penerus takhta Dubai, UEA melakukan transformasi
pembangunan negaranya. Mereka ingin mengalihkan pendapatan dari yang semula
bergantung pada migas menjadi bergantung pada bisnis jasa.
Buat saya, itu transformasi luar biasa. Sulitnya bukan main.
Bagi mereka yang pernah berkunjung ke negara-negara kaya di Timur Tengah,
tentu pernah merasakan betapa buruknya kualitas layanan di sana. Kolega saya
mengalaminya.
Saat turun dari pesawat dan antre di loket imigrasi, antreannya
luar biasa panjang. Mengapa? Petugas
loket rupanya sedang asyik menelepon sambil tertawa-tawa. Sementara loket di
sebelahnya tutup karena petugasnya sedang beristirahat.
Itulah potret yang ada di negara-negara Arab. Juga, kondisi
itulah yang harus diubah oleh Syekh Zayed dan Syekh Rashid. Anda tentu bisa
membayangkan betapa sulitnya. Namun, saya lihat, UEA berhasil melakukannya.
Kini industri pariwisata menjadi salah satu sumber penting bagi
penerimaan kerajaan itu. Lalu, dua maskapai penerbangan UEA, yakni Emirates
dan Etihad Airways berhasil menempati #1 dan #7 The World Best Airline pada 2013 versi Skytrax. Anda tentu tahu
bahwa bisnis pariwisata dan penerbangan adalah bisnis pelayanan.
Agile Society
Faktor kunci keberhasilan transformasi UEA adalah strategi
mereka yang mengedepankan ekonomi, bukan politik. Syekh Rashid percaya betul
bahwa untuk bisa berpolitik secara benar, masyarakatnya harus sejahtera
terlebih dahulu. Bukan dibalik, meningkatkan kesejahteraan melalui politik.
Lalu, proses transformasi juga harus dilakukan dengan cepat dan jeli dalam
memanfaatkan momentum. Ibarat menempa besi, harus segera dilakukan selagi
panas.
Supaya bisa cepat, selain personalianya harus agile, organisasinya juga harus
simpel. Bagaimana mungkin kita bergerak cepat kalau struktur organisasinya
begitu rumit dan bertingkat-tingkat. Setiap keputusan harus melalui banyak
meja dan memperoleh tanda tangan dari banyak pejabat.
Saya berharap keberhasilan transformasi UEA menginspirasi
pemerintahan Jokowi-JK. Majalah Time menulis dalam cover-nya, A New Hope.
Saya kira Time benar. Tapi, kita juga tak boleh menyerahkan segala urusan
kepada pemerintah. Kita berharap kabinet Jokowi-JK akan mampu membentuk agile government. Tapi, untuk
mengimbanginya, kita juga harus menjadi agile
society. Hanya dengan cara itu, cita-cita kita akan terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar