Jumat, 14 November 2014

Agile President

Agile President

Rhenald Kasali  ;  Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


PRESIDEN Jokowi, sebagaimana orang Jawa, saya lihat kerap berbicara dengan simbol. Misalnya, ketika dinyatakan sebagai pemenang pemilu oleh KPU, Jokowi-JK memilih menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal pinisi. Pilihan kapal dan lokasi jelas mewakili materi kampanye Jokowi-JK yang ingin mengembalikan kejayaan maritim Indonesia.

Suasana serupa juga terasa ketika dia mengumumkan menteri-menterinya yang diminta berlari dalam balutan baju putih dengan lengan digulung saat namanya dipanggil. Kita tentu bisa menangkap simbol tersebut, yang artinya ya kerja, kerja dengan cepat.

Bagi saya, ritme kerja yang cepat itu cerminan keinginan Jokowi-JK untuk menjadikan kabinetnya sebagai agile organization, organisasi yang lincah, cekatan! Lalu, menteri-menterinya menjadi sosok yang agile minister. Kemudian, Jokowi dan JK menjadi agile leader dan pemerintahannya agile government.

Mengapa postur organisasi dan personalia semacam itu penting bagi pemerintahan Jokowi-JK? Sebab, sebagaimana yang dilontarkan semasa kampanye, Jokowi-JK ingin menggeser orientasi pembangunan yang semula berpusat pada birokrasi yang rigid menjadi organisasi yang melayani dan mampu bekerja dalam batasan yang serba menyulitkan. Duitnya terbatas, aturannya merepotkan, lalu kualitas SDM birokrasinya memprihatinkan. Sangat administratif dan panjang susahnya.

Perubahan yang cepat itu berpotensi menimbulkan kekacauan. Banyak birokrat yang bingung karena telanjur terbiasa bekerja dengan cara-cara lama, lalu tiba-tiba dituntut bekerja dengan cara-cara baru. Bahkan dengan ritme kerja yang jauh lebih cepat.

Kondisi tersebut menuntut personalia yang cepat beradaptasi dan tangkas menata diri di tengah situasi yang serbakacau. Mereka dituntut untuk mampu mengorganisasi diri sendiri. Itulah ciri-ciri personalia yang agile dan pada akhirnya melahirkan agile organization.

Belajar dari UEA

Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan kisah di Uni Emirat Arab (UEA). Sudah sejak dulu para petinggi Kerajaan UEA, yang lulusan sekolah Barat, sadar betul bahwa mereka tak bisa selamanya mengandalkan pendapatan dari migas. Sebagai non-renewable resource, cadangan migas kelak bakal habis. Maka, sebelum habis, UEA harus menemukan sumber-sumber pendapatan baru.

Di bawah kepemimpinan Syekh Zayed, penerus Emir Abu Dhabi, dan Syekh Rashid yang merupakan penerus takhta Dubai, UEA melakukan transformasi pembangunan negaranya. Mereka ingin mengalihkan pendapatan dari yang semula bergantung pada migas menjadi bergantung pada bisnis jasa.

Buat saya, itu transformasi luar biasa. Sulitnya bukan main. Bagi mereka yang pernah berkunjung ke negara-negara kaya di Timur Tengah, tentu pernah merasakan betapa buruknya kualitas layanan di sana. Kolega saya mengalaminya.

Saat turun dari pesawat dan antre di loket imigrasi, antreannya luar biasa panjang.  Mengapa? Petugas loket rupanya sedang asyik menelepon sambil tertawa-tawa. Sementara loket di sebelahnya tutup karena petugasnya sedang beristirahat.

Itulah potret yang ada di negara-negara Arab. Juga, kondisi itulah yang harus diubah oleh Syekh Zayed dan Syekh Rashid. Anda tentu bisa membayangkan betapa sulitnya. Namun, saya lihat, UEA berhasil melakukannya.

Kini industri pariwisata menjadi salah satu sumber penting bagi penerimaan kerajaan itu. Lalu, dua maskapai penerbangan UEA, yakni Emirates dan Etihad Airways berhasil menempati #1 dan #7 The World Best Airline pada 2013 versi Skytrax. Anda tentu tahu bahwa bisnis pariwisata dan penerbangan adalah bisnis pelayanan.

Agile Society

Faktor kunci keberhasilan transformasi UEA adalah strategi mereka yang mengedepankan ekonomi, bukan politik. Syekh Rashid percaya betul bahwa untuk bisa berpolitik secara benar, masyarakatnya harus sejahtera terlebih dahulu. Bukan dibalik, meningkatkan kesejahteraan melalui politik. Lalu, proses transformasi juga harus dilakukan dengan cepat dan jeli dalam memanfaatkan momentum. Ibarat menempa besi, harus segera dilakukan selagi panas.

Supaya bisa cepat, selain personalianya harus agile, organisasinya juga harus simpel. Bagaimana mungkin kita bergerak cepat kalau struktur organisasinya begitu rumit dan bertingkat-tingkat. Setiap keputusan harus melalui banyak meja dan memperoleh tanda tangan dari banyak pejabat.

Saya berharap keberhasilan transformasi UEA menginspirasi pemerintahan Jokowi-JK. Majalah Time menulis dalam cover-nya, A New Hope. Saya kira Time benar. Tapi, kita juga tak boleh menyerahkan segala urusan kepada pemerintah. Kita berharap kabinet Jokowi-JK akan mampu membentuk agile government. Tapi, untuk mengimbanginya, kita juga harus menjadi agile society. Hanya dengan cara itu, cita-cita kita akan terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar