Rabu, 19 November 2014

CSR dan Pembangunan Daerah

CSR dan Pembangunan Daerah

Mustajib  ; Warga Muhammadiyah
HALUAN, 18 November 2014

                                                                                                                       


Terdapat beberapa sumber pembiayaan pembangunan daerah yang telah diatur oleh peraturan perundangan-un­dangan, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Dekon­sentrasi, maupun Dana Tugas Pembantuan. Selain itu, peme­rintah daerah dapat mengek­splorasi berbagai sum­ber pendapatan potensial daerahnya yang kita kenal dengan Penda­patan Asli Daerah (PAD).

Namun sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang disebutkan di atas seringkali tidak cukup memadai bagi pemerintah daerah untuk menjalankan beberapa fung­sinya seperti pembangunan dan pelayanan.

Untuk itu, salah satu upaya yang perlu dila­kukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan entitas bisnis dalam proses pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat melalui Skema Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR dalam upaya mengakselerasi pemba­ngunan yang sedang dijalankan di daerah menjadi relevan sebagai penyokong capital resources (sumber dana) yang bersifat non budgetary (bukan bersumber dari APBN/APBD).

Peran CSR menjadi sangat strategis ketika berpikir tentang pembangunan ekonomi secara agregat (keseluruhan). Menurut Todoro dan Smith (2006) Pembangunan ekonomi berkai­tan langsung dengan kese­luruhan proses politik, budaya, dan ekonomi yang diperlukan untuk mempe­ngaruhi transfor­masi struktural dan kelemba­gaan yang cepat dari seluruh masyarakat melalui proses yang efisien demi menghasilkan rentetan kemajuan ekonomi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Lebih lanjut Todoro dan Smith menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan men­dasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akse­lerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Melihat dimensi pembangunan ekonomi yang sangat luas maka pemba­ngunan jangan hanya dipan­dang sebagai tanggung jawab pemerintah semata, pelaku usaha dan masyarakat ten­tunya harus juga berpartisipasi aktif. Di sinilah peran dunia usaha mengambil langkah konkrit untuk memberikan peran positif terhadap ling­kungan sekitarnya.

Secara kelembagaan (the rules of the game) CSR bagi perusahaan di Indonesia masih terbilang relatif baru, walaupun sebenarnya perusahaan plat merah (baca: BUMN) telah menerapkan sejak 1997. Klau­sul tentang CSR dijelaskan secara singkat dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (pasal 15 ayat b) yang berbunyi “Setiap pe­nanam mo­dal berke­wajiban me­­lak­­sa­nakan tang­gung ja­wab sosial peru­sa­haan”, jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan ter­tulis, pembatasan kegiatan usaha, pem­bekuan kegiatan us­aha dan/atau fasi­litas pena­naman modal, atau pencabutan k­e­gia­tan usaha dan/atau fasilitas pe­nanaman modal (pa­sal 34 ayat 1). Se­dang­kan dalam Un­dang-undang No. 40 tahun 2007 ten­tang Perseroan Ter­batas klausul ini dibahas pada bab tersendiri dan sedikit lebih rinci dengan memakai nomen­klatur Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan (Bab V Pasal 74).

Jika Undang-undang Pena­naman Modal, CSR digunakan untuk upaya perusahaan menciptakan harmonisasi dengan lingkungan sosial di mana beroperasi, namun di Undang-undang tentang Perse­roan Terbatas mengarahkan CSR sebagai komitmen perusa­haan terkait dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam rangka menjaga kualitas kehidupan dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan esensinya bahwa pembangunan ekonomi di masa mendatang sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat ini. Di sini peme­rintah sebenarnya secara eksplisit telah melibatkan perhitungan lingkungan (envi­ronmental accounting) sebagai upaya pelestarian yang dapat dihitung faktor penambah kemajuan ekonomi di masa akan datang. Terkait pelak­sanaan CSR, beberapa poin yang perlu menjadi perhatian oleh pemerintah daerah mau­pun perusahaan-perusahan yang terlibat sebagai upaya mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah, yaitu:

a) Pelaksanaan program CSR perlu disinkronisasi dengan perencanaan pemba­ngunan di daerah, kalau perlu ada sistem yang terintegrasi di antara keduanya. Tujuannya agar program-program yang berjalan tidak tumpang tindih dan menimbulkan inefisiensi yang berlebihan. Di sini perlunya koordinasi agar tidak terjadi salah alokasi yang ujung-ujungnya akan menim­bulkan biaya oportunitas (opportunity cost) yang seha­rusnya bisa dihindari. Biaya oportunitas di sini merupakan biaya yang digunakan untuk malaksanakan program-pro­gram dengan tujuan tertentu dan diukur manfaat yang dida­patkannya, jika dibandingkan untuk program tujuan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar penentu kebijakan lebih berhati-hati dalam mengalokasikan sumber daya yang ada.

b) Laporan penggunaan dana CSR harus transparan, selain ke pihak internal juga me­libatkan pihak eksternal. Setiap penggunaan dana CSR sebe­rapun besarnya pastinya peru­sahaan akan melaporkan kepada para shareholder (pemegang saham) biasanya dipertanggung­jawabkan melalui Rapat Umum Pemegang Sa­ham (RUPS). Selain itu yang harus diper­hatikan juga adalah akun­tabilitas kepada publik. Pelapo­ran ini dapat diserahkan melalui pemerintah daerah karena akan jauh lebih mudah mensosia­lisasikan melalui perangkat-perangkat pemerintah yang ada, sehingga pemangku kepentingan yang lain (sta­keholder) juga akan menda­patkan informasi dengan mudah dan dapat dipertang­gung­jawabkan.

c) Menyamakan persepsi bahwa CSR bukan lagi akti­vitas perusahaan yang bersifat suka rela. Tanamkan bahwa program CSR meru­pakan in­vestasi demi per­tumbuhan dan ke­berlanjutan usaha. CSR harus disikapi sebagai ini­siatif strategis yang dihu­bung­kan dengan strategi dan tujuan peru­sahaan untuk memperbaiki daya saing perusahaan. Nilai-nilai tersebut perlu terus diinternalisa­sikan sebagai budaya pe­rusahaan (corporate culture), sehingga timbul kesa­daran bahwa CSR meru­pakan kewajiban (lia­bility) yang bersifat “memaksa” untuk dijalankan. Tu­juan­nya adalah agar pro­gram-program yang dijalankan tidak se­kedar seremonial untuk meng­hindari sanksi saja tetapi program harus berkualitas, bernilai tambah serta bermanfaat bagi masyarakat.

d) Program CSR dijalankan dengan memperhatikan prinsip kepatutan dan kewajaran. Mungkin sebagian perusahaan dengan pemberlakuan CSR akan merasa terbebani karena profit perusahaannya akan berkurang. Menurut mereka seharusnya tidak lagi terbebani dengan biaya-biaya lainnya karena mereka telah berkon­tribusi terhadap penyediaan lapangan kerja, membayar pajak dan lain-lain. Program CSR sebenarnya sama sekali tidak merugikan peru­sahaan. Jika kita mem­ban­dingkan dengan negara-negara maju, maka CSR menjadi strategis bagi perusahaan karena publik akan menilainya yang berakibat pada kinerja saham perusahaan itu sendiri. Dengan tidak disebutkan berapa besaran dana yang harus sisihkan, maka sebenarnya alokasi dana CSR sangat fleksibel tergantung kemampuan masing-masing dari perusahaan. Di sini perlunya kebijaksanaan dan kesadaran perusahaan bahwa akibat dari beroperasinya perusahaan, masyarakat telah menanggung ekses dari eksternalitas negatif seperti polusi udara, air, suara dan lain-lain. Apabila ini diinternalisasi menjadi bagian biaya produksi, berapa besar biaya yang seharusnya ditang­gung perusa­haan. Untuk itu, prinsip kepatutan dan kewajaran dalam mengalokasikan dana CSR menjadi hal penting sebagai kompensasi untuk membangun lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

e) CSR dapat meningkatkan modal sosial (social capital) dengan masyarakat di mana ia bero­perasi. Perusahaan dengan budaya yang baik akan selalu berpikir strategis, bahwa modal yang akan menghasilkan profit yang berkelanjutan tidak hanya bersifat materi saja seperti modal-modal manufaktur (mesin, pabrik) ataupun modal manusia (penge­tahuan, ke­teram­pilan dan pengalaman). Selain itu, modal sosial harus tetap dijaga dengan memper­hatikan kearifan lokal yang ada. Program CSR yang selaras dan serasi dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat di mana ia bero­perasi akan menguatkan ikatan emosional antara peru­sahaan dan masya­rakat seki­tarnya. Ketika masyarakat men­dapatkan benefit dari kebe­radaan perusahaan, maka pastinya mereka akan ikut merasa memiliki peru­sahaan. Suasana investasi juga menjadi semakin kondusif karena masyarakat sekitar perusahaan akan turut ikut serta menjaganya.

Dengan mempertimbangkan kelima poin di atas, CSR akan menjadi program kemitraan yang strategis untuk mengak­selerasi pembangunan ekonomi daerah. Program-program CSR yang didasarkan atas penilaian kebutuhan masyarakat akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam merencanakan, melaksanakan maupun memantaunya. Sim­biosis mutualisme dan terja­linnya keakraban dengan masyarakat sekitarnya akan memberikan nilai positif bagi perusahaan. Sehingga kesan eksklusif perusahaan serta adanya kelom­pok-kelompok masyarakat yang merasa termarginalkan akibat ber­dirinya perusahaan-perusa­haan disekitarnya akan hilang dengan sendirinya. Akhirnya, pem­bangunan ekonomi daerah yang inklusif, menjangkau dan mengangkat kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat akan lebih mudah tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar