CSR
dan Pembangunan Daerah
Mustajib ; Warga
Muhammadiyah
|
HALUAN,
18 November 2014
Terdapat beberapa sumber pembiayaan pembangunan daerah yang telah diatur
oleh peraturan perundangan-undangan, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Dekonsentrasi, maupun Dana
Tugas Pembantuan. Selain itu, pemerintah daerah dapat mengeksplorasi
berbagai sumber pendapatan potensial daerahnya yang kita kenal dengan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Namun sumber-sumber pembiayaan
pembangunan yang disebutkan di atas seringkali tidak cukup memadai bagi
pemerintah daerah untuk menjalankan beberapa fungsinya seperti pembangunan
dan pelayanan.
Untuk itu, salah satu upaya
yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan entitas
bisnis dalam proses pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat melalui
Skema Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR dalam upaya
mengakselerasi pembangunan yang sedang dijalankan di daerah menjadi relevan
sebagai penyokong capital resources (sumber dana) yang bersifat non budgetary
(bukan bersumber dari APBN/APBD).
Peran CSR menjadi sangat
strategis ketika berpikir tentang pembangunan ekonomi secara agregat
(keseluruhan). Menurut Todoro dan Smith (2006) Pembangunan ekonomi berkaitan
langsung dengan keseluruhan proses politik, budaya, dan ekonomi yang
diperlukan untuk mempengaruhi transformasi struktural dan kelembagaan yang
cepat dari seluruh masyarakat melalui proses yang efisien demi menghasilkan
rentetan kemajuan ekonomi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Lebih
lanjut Todoro dan Smith menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu
proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional,
disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Melihat dimensi
pembangunan ekonomi yang sangat luas maka pembangunan jangan hanya dipandang
sebagai tanggung jawab pemerintah semata, pelaku usaha dan masyarakat tentunya
harus juga berpartisipasi aktif. Di sinilah peran dunia usaha mengambil
langkah konkrit untuk memberikan peran positif terhadap lingkungan
sekitarnya.
Secara kelembagaan (the rules of the game) CSR bagi
perusahaan di Indonesia masih terbilang relatif baru, walaupun sebenarnya
perusahaan plat merah (baca: BUMN) telah menerapkan sejak 1997. Klausul
tentang CSR dijelaskan secara singkat dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal (pasal 15 ayat b) yang berbunyi “Setiap penanam modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”, jika
tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(pasal 34 ayat 1). Sedangkan dalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas klausul ini dibahas pada bab tersendiri dan sedikit lebih
rinci dengan memakai nomenklatur Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan (Bab V
Pasal 74).
Jika Undang-undang Penanaman
Modal, CSR digunakan untuk upaya perusahaan menciptakan harmonisasi dengan
lingkungan sosial di mana beroperasi, namun di Undang-undang tentang Perseroan
Terbatas mengarahkan CSR sebagai komitmen perusahaan terkait dengan pembangunan
ekonomi berkelanjutan dalam rangka menjaga kualitas kehidupan dan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan esensinya bahwa pembangunan ekonomi di masa
mendatang sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat
ini. Di sini pemerintah sebenarnya secara eksplisit telah melibatkan
perhitungan lingkungan (environmental
accounting) sebagai upaya pelestarian yang dapat dihitung faktor penambah
kemajuan ekonomi di masa akan datang. Terkait pelaksanaan CSR, beberapa poin
yang perlu menjadi perhatian oleh pemerintah daerah maupun
perusahaan-perusahan yang terlibat sebagai upaya mengakselerasi pembangunan
ekonomi daerah, yaitu:
a) Pelaksanaan program CSR
perlu disinkronisasi dengan perencanaan pembangunan di daerah, kalau perlu
ada sistem yang terintegrasi di antara keduanya. Tujuannya agar
program-program yang berjalan tidak tumpang tindih dan menimbulkan
inefisiensi yang berlebihan. Di sini perlunya koordinasi agar tidak terjadi
salah alokasi yang ujung-ujungnya akan menimbulkan biaya oportunitas
(opportunity cost) yang seharusnya bisa dihindari. Biaya oportunitas di sini
merupakan biaya yang digunakan untuk malaksanakan program-program dengan
tujuan tertentu dan diukur manfaat yang didapatkannya, jika dibandingkan
untuk program tujuan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar penentu kebijakan
lebih berhati-hati dalam mengalokasikan sumber daya yang ada.
b) Laporan penggunaan dana
CSR harus transparan, selain ke pihak internal juga melibatkan pihak
eksternal. Setiap penggunaan dana CSR seberapun besarnya pastinya perusahaan
akan melaporkan kepada para shareholder (pemegang saham) biasanya
dipertanggungjawabkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu
yang harus diperhatikan juga adalah akuntabilitas kepada publik. Pelaporan
ini dapat diserahkan melalui pemerintah daerah karena akan jauh lebih mudah
mensosialisasikan melalui perangkat-perangkat pemerintah yang ada, sehingga
pemangku kepentingan yang lain (stakeholder)
juga akan mendapatkan informasi dengan mudah dan dapat dipertanggungjawabkan.
c) Menyamakan persepsi
bahwa CSR bukan lagi aktivitas perusahaan yang bersifat suka rela. Tanamkan
bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan
usaha. CSR harus disikapi sebagai inisiatif strategis yang dihubungkan
dengan strategi dan tujuan perusahaan untuk memperbaiki daya saing
perusahaan. Nilai-nilai tersebut perlu terus diinternalisasikan sebagai
budaya perusahaan (corporate culture),
sehingga timbul kesadaran bahwa CSR merupakan kewajiban (liability) yang bersifat “memaksa”
untuk dijalankan. Tujuannya adalah agar program-program yang dijalankan
tidak sekedar seremonial untuk menghindari sanksi saja tetapi program harus
berkualitas, bernilai tambah serta bermanfaat bagi masyarakat.
d) Program CSR dijalankan dengan
memperhatikan prinsip kepatutan dan kewajaran. Mungkin sebagian perusahaan
dengan pemberlakuan CSR akan merasa terbebani karena profit perusahaannya
akan berkurang. Menurut mereka seharusnya tidak lagi terbebani dengan
biaya-biaya lainnya karena mereka telah berkontribusi terhadap penyediaan
lapangan kerja, membayar pajak dan lain-lain. Program CSR sebenarnya sama
sekali tidak merugikan perusahaan. Jika kita membandingkan dengan
negara-negara maju, maka CSR menjadi strategis bagi perusahaan karena publik
akan menilainya yang berakibat pada kinerja saham perusahaan itu sendiri.
Dengan tidak disebutkan berapa besaran dana yang harus sisihkan, maka
sebenarnya alokasi dana CSR sangat fleksibel tergantung kemampuan
masing-masing dari perusahaan. Di sini perlunya kebijaksanaan dan kesadaran
perusahaan bahwa akibat dari beroperasinya perusahaan, masyarakat telah
menanggung ekses dari eksternalitas negatif seperti polusi udara, air, suara
dan lain-lain. Apabila ini diinternalisasi menjadi bagian biaya produksi,
berapa besar biaya yang seharusnya ditanggung perusahaan. Untuk itu,
prinsip kepatutan dan kewajaran dalam mengalokasikan dana CSR menjadi hal
penting sebagai kompensasi untuk membangun lingkungan dan masyarakat
sekitarnya.
e) CSR dapat meningkatkan
modal sosial (social capital)
dengan masyarakat di mana ia beroperasi. Perusahaan dengan budaya yang baik
akan selalu berpikir strategis, bahwa modal yang akan menghasilkan profit
yang berkelanjutan tidak hanya bersifat materi saja seperti modal-modal manufaktur
(mesin, pabrik) ataupun modal manusia (pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman). Selain itu, modal sosial harus tetap dijaga dengan memperhatikan
kearifan lokal yang ada. Program CSR yang selaras dan serasi dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat di mana ia beroperasi akan
menguatkan ikatan emosional antara perusahaan dan masyarakat sekitarnya.
Ketika masyarakat mendapatkan benefit dari keberadaan perusahaan, maka
pastinya mereka akan ikut merasa memiliki perusahaan. Suasana investasi juga
menjadi semakin kondusif karena masyarakat sekitar perusahaan akan turut ikut
serta menjaganya.
Dengan mempertimbangkan kelima
poin di atas, CSR akan menjadi program kemitraan yang strategis untuk mengakselerasi
pembangunan ekonomi daerah. Program-program CSR yang didasarkan atas
penilaian kebutuhan masyarakat akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
aktif dalam merencanakan, melaksanakan maupun memantaunya. Simbiosis
mutualisme dan terjalinnya keakraban dengan masyarakat sekitarnya akan
memberikan nilai positif bagi perusahaan. Sehingga kesan eksklusif perusahaan
serta adanya kelompok-kelompok masyarakat yang merasa termarginalkan akibat
berdirinya perusahaan-perusahaan disekitarnya akan hilang dengan
sendirinya. Akhirnya, pembangunan ekonomi daerah yang inklusif, menjangkau
dan mengangkat kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat akan lebih mudah
tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar