Mengamankan
Kartu Sakti
Umi Badri ; Widyaiswara
Madya Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial
|
KORAN
JAKARTA, 18 November 2014
Presiden Joko Widodo telah
meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan
Kartu Keluarga Sejahatera (KKS) untuk rakyat rentan secara ekonomi.
Tujuannya melayani kesehatan
gratis, siswa dari keluarga miskin bisa memperoleh bantuan biaya pendidikan,
dan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) terbantu secara
tunai. Dengan begitu, mereka setiap bulan terbantu di bidang kesehatan dan
berbelanja.
Inilah bentuk jaminan sosial
pemerintah kepada rakyat rentan/ rumah tangga miskin sebagaimana
diperintahkan konstitusi. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 menginstruksikan, “Fakir
miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara.” Ayat 2 menambahkan, “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat lemah yang tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Kartu “sakti” ini merupakan
bentuk intervensi pemerintah bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia guna
merespons harapan rakyat rentan yang selama ini masih terpinggirkan atau
belum tersentuh berbagai bantuan social.
Di antaranya, Program Keluarga
Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Jaminan Kesehatan Nasional
melalui BPJS Kesehatan pemerintahan lalu. Siapa pun presiden yang
menggariskan kebijakan tersebut semata-mata menjalankan perintah konstitusi
seperti termaktub dalam UUD Pasal 34.
Wakil rakyat atau siapa pun
boleh mengkritisi KIS, KIP, dan KKS, tapi harus konstruktif dan
implementatif. Rakyat bisa menikmati berbagai pelayanan secara optimal,
syukur benar-benar puas. Kurang “pas” menjegal kebijakan sosial yang anti
kemiskinan dalam bentuk jaminan sosial, perlindungan sosial, bantuan sosial
dari pemerintah.
Bukankah subjek kebijakan
seperti itu adalah janda miskin, lanjut usia miskin, siswa-mahasiswi miskin,
difabel miskin agar memiliki akses berbagai instrumen? Tepatlah ungkapan Shaw
(2000), “susccesful implementation of
social policy depends on having suffi cient resources of governmental
funding” (keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan sosial
tergantung pada ketersediaan sumber dana pemerintah).
Dengan demikian, cukup
mengherankan, bahkan bisa disebut tidak beralasan, bagi wakil rakyat yang
sengit mempersoalkan sumber dana KIS, KIP, dan KKS. Justru yang lebih pantas
seharusnya mereka memberi masukan kepada pemerintah cara membuka “keran”
sumber dana.
Dengan demikian, mengalirlah
dana dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan sehingga tidak satu pun
rakyat miskin menderita. Sudah sewajarnya pemerintah mengintervensi dengan
program bantuan sosial untuk membantu mereka. Mendikbud Anies Baswedan
menemukan fakta di lapangan masih banyak siswa miskin yang belum memperoleh
bantuan setelah “blusukan” ke SMA Negeri 87 di Rempoa, Tangerang Selatan.
Jika Mendikbud “blusukan” ke
lebih banyak sekolah di berbagai wilayah, bakal lebih banyak temuan. Jika
ditelusuri secara saksama, BSM terhempas dari tangan sejumlah siswa miskin
sebagai penerima. Sumbernya internal sekolah bersangkutan karena ada KKN
masih berperan dalam proses seleksi penerima sehingga datanya tidak valid.
Tidak hanya data BSM yang perlu
di-update agar lebih objektif
sehingga semua siswa miskin kelak terdaftar sebagai pemegang KIP. Syukurlah
Badan Pusat Statistik berjanji memperbarui data pada tahun depan data rumah
tangga sasaran (RTS) sebagai pemegang kartu perlindungan sosial (KPS) yang
kini 86,4 juta. Ini hasil kerja BPS melalui Pendataan Perlindungan Sosial
(PPLS) 2011.
Jangkauan KIS, KIP, dan KKS
cenderung bertambah dengan hasil PPLS 2015 sehingga pemerintah berharap
“kartu sakti” bisa mengeliminasi kecemburuan sosial antarrakyat rentan. Selama
ini, kaum miskin yang belum tersentuh bantuan sosial menanyakan haknya.
Dengan peluncuran tiga kartu
yang pertama kali untuk 19 provinsi, terdapat manfaat positif bagi rumah
tangga miskin atau masyarakat rentan sebab jumlah penerima manfaat dan jangkauan
kartu lebih luas. Sasaran KIS akan lebih besar dari pemegang kartu BPJS dalam
peserta Jaminan Kesehatan Nasional.
Demikian pula siswa penerima KIP
akan lebih besar ketimbang penerima BSM. Ketiga kartu tergabung dalam program
government to person (G2P) dengan
sasaran warga miskin/rentan (vulnerable
people). Ini adalah bantuan keluarga kurang mampu yang dulu diberikan
tunai lewat kantor pos. Kini bantuan disalurkan secara nontunai melalui
layanan keuangan digital (kartu).
KIS tak hanya menyasar masyarakat
miskin, tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut perkiraan, kartu ini akan
dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih banyak dari jumlah warga yang
terdaftar sebagai peserta JKN (86,4 juta orang). Setiap pemegang KIS akan
ditanggung pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Peserta KIS juga bakal
dikenakan premi sebesar 19.225 rupiah setiap orang. Iuran ini ditanggung
pemerintah.
KIP akan menyasar 24 juta siswa
kurang mampu yang sebelumnya terdaftar sebagai penerima BSM. Tak hanya itu,
peserta KIP juga bakal ditambah dari golongan anak-anak miskin tidak sekolah
agar meneruskan pendidikan. Perincian KIP adalah 225 ribu/siswa/ semester
(SD), 375 ribu/siswa/semester (SMP), dan 500 ribu/siswa/semester (SMA/SMK).
Pemegang KKS sekitar 15,5 juta
keluarga. Setiap keluarga akan menerima 200 ribu per bulan. Kartu ini akan
diisi setiap 2 bulan. Dana 6,5 triliun sudah tersedia dalam Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Sosial TA 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar