Rabu, 19 November 2014

Mengamankan Kartu Sakti

Mengamankan Kartu Sakti

Umi Badri  ; Widyaiswara Madya Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial
KORAN JAKARTA, 18 November 2014

                                                                                                                       

                                                                  
Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahatera (KKS) untuk rakyat rentan secara ekonomi.

Tujuannya melayani kesehatan gratis, siswa dari keluarga miskin bisa memperoleh bantuan biaya pendidikan, dan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) terbantu secara tunai. Dengan begitu, mereka setiap bulan terbantu di bidang kesehatan dan berbelanja.

Inilah bentuk jaminan sosial pemerintah kepada rakyat rentan/ rumah tangga miskin sebagaimana diperintahkan konstitusi. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 menginstruksikan, “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara.” Ayat 2 menambahkan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah yang tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Kartu “sakti” ini merupakan bentuk intervensi pemerintah bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia guna merespons harapan rakyat rentan yang selama ini masih terpinggirkan atau belum tersentuh berbagai bantuan social.

Di antaranya, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan pemerintahan lalu. Siapa pun presiden yang menggariskan kebijakan tersebut semata-mata menjalankan perintah konstitusi seperti termaktub dalam UUD Pasal 34.

Wakil rakyat atau siapa pun boleh mengkritisi KIS, KIP, dan KKS, tapi harus konstruktif dan implementatif. Rakyat bisa menikmati berbagai pelayanan secara optimal, syukur benar-benar puas. Kurang “pas” menjegal kebijakan sosial yang anti kemiskinan dalam bentuk jaminan sosial, perlindungan sosial, bantuan sosial dari pemerintah.

Bukankah subjek kebijakan seperti itu adalah janda miskin, lanjut usia miskin, siswa-mahasiswi miskin, difabel miskin agar memiliki akses berbagai instrumen? Tepatlah ungkapan Shaw (2000), “susccesful implementation of social policy depends on having suffi cient resources of governmental funding” (keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan sosial tergantung pada ketersediaan sumber dana pemerintah).

Dengan demikian, cukup mengherankan, bahkan bisa disebut tidak beralasan, bagi wakil rakyat yang sengit mempersoalkan sumber dana KIS, KIP, dan KKS. Justru yang lebih pantas seharusnya mereka memberi masukan kepada pemerintah cara membuka “keran” sumber dana.

Dengan demikian, mengalirlah dana dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan sehingga tidak satu pun rakyat miskin menderita. Sudah sewajarnya pemerintah mengintervensi dengan program bantuan sosial untuk membantu mereka. Mendikbud Anies Baswedan menemukan fakta di lapangan masih banyak siswa miskin yang belum memperoleh bantuan setelah “blusukan” ke SMA Negeri 87 di Rempoa, Tangerang Selatan.

Jika Mendikbud “blusukan” ke lebih banyak sekolah di berbagai wilayah, bakal lebih banyak temuan. Jika ditelusuri secara saksama, BSM terhempas dari tangan sejumlah siswa miskin sebagai penerima. Sumbernya internal sekolah bersangkutan karena ada KKN masih berperan dalam proses seleksi penerima sehingga datanya tidak valid.

Tidak hanya data BSM yang perlu di-update agar lebih objektif sehingga semua siswa miskin kelak terdaftar sebagai pemegang KIP. Syukurlah Badan Pusat Statistik berjanji memperbarui data pada tahun depan data rumah tangga sasaran (RTS) sebagai pemegang kartu perlindungan sosial (KPS) yang kini 86,4 juta. Ini hasil kerja BPS melalui Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.

Jangkauan KIS, KIP, dan KKS cenderung bertambah dengan hasil PPLS 2015 sehingga pemerintah berharap “kartu sakti” bisa mengeliminasi kecemburuan sosial antarrakyat rentan. Selama ini, kaum miskin yang belum tersentuh bantuan sosial menanyakan haknya.

Dengan peluncuran tiga kartu yang pertama kali untuk 19 provinsi, terdapat manfaat positif bagi rumah tangga miskin atau masyarakat rentan sebab jumlah penerima manfaat dan jangkauan kartu lebih luas. Sasaran KIS akan lebih besar dari pemegang kartu BPJS dalam peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

Demikian pula siswa penerima KIP akan lebih besar ketimbang penerima BSM. Ketiga kartu tergabung dalam program government to person (G2P) dengan sasaran warga miskin/rentan (vulnerable people). Ini adalah bantuan keluarga kurang mampu yang dulu diberikan tunai lewat kantor pos. Kini bantuan disalurkan secara nontunai melalui layanan keuangan digital (kartu).

KIS tak hanya menyasar masyarakat miskin, tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut perkiraan, kartu ini akan dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih banyak dari jumlah warga yang terdaftar sebagai peserta JKN (86,4 juta orang). Setiap pemegang KIS akan ditanggung pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Peserta KIS juga bakal dikenakan premi sebesar 19.225 rupiah setiap orang. Iuran ini ditanggung pemerintah.

KIP akan menyasar 24 juta siswa kurang mampu yang sebelumnya terdaftar sebagai penerima BSM. Tak hanya itu, peserta KIP juga bakal ditambah dari golongan anak-anak miskin tidak sekolah agar meneruskan pendidikan. Perincian KIP adalah 225 ribu/siswa/ semester (SD), 375 ribu/siswa/semester (SMP), dan 500 ribu/siswa/semester (SMA/SMK).

Pemegang KKS sekitar 15,5 juta keluarga. Setiap keluarga akan menerima 200 ribu per bulan. Kartu ini akan diisi setiap 2 bulan. Dana 6,5 triliun sudah tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Sosial TA 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar