Jumat, 14 November 2014

Antara Hak dan Kewajiban

                                      Antara Hak dan Kewajiban

Indra Gunawan ;   Direktur Administrasi dan Keuangan
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)
REPUBLIKA,  13 November 2014

                                                                                                                       


Tulisan Joko Widodo dengan judul "Revolusi Mental" memang cukup menggelitik. Di sini Jokowi menyoroti paradoks yang terjadi di Indonesia, di mana ekonomi Indonesia berkembang demikian pesat sehingga masuk 10 besar dunia.

Namun, di sisi lain banyak terjadi kegalauan masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk protes di jalanan maupun di media massa atau sosial. Disebutkan juga bahwa sejumlah tradisi kelam masa lalu masih tumbuh subur di alam reformasi ini, seperti misalnya, korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, rakus, dan pelecehan hukum. Jokowi mengingatkan bahwa reformasi yang terjadi "baru" sebatas kelembagaan dan belum menyentuh sektor individu manusianya sebagai aktor utama pembangunan.

Saya ingin mencoba menjawab tesis Jokowi ini dengan satu pendekatan sederhana, di mana revolusi mental individu sebaiknya dimulai dengan pemahaman yang baik dan benar mengenai hak dan kewajiban. Ada beberapa pertanyaan sederhana untuk memulai introspeksi; apakah Anda membuang sampah di sungai? Apakah Anda tidak mengikuti antrean dalam mengambil makanan di suatu pesta?

Waktu naik motor, apakah Anda berhenti melebihi garis setop di lampu merah? Apakah Anda menyedot air keran dengan pompa air? Dengan pemahaman yang benar, tentu saja kita tidak perlu berdebat untuk mengetahui jawaban apa yang benar dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Jika kita angkat sedikit konteks diskusi ini, begitu Anda menjadi seseorang yang mempunyai kekuasaan besar, tentu saja pemahaman ini akan menjadi begitu penting. Sebagai seorang pejabat, yang mesti didahulukan; kepentingan rakyat atau kepentingan keluarga dan rekan?

Apakah anggaran atau dana yang tersedia lebih baik digunakan untuk studi banding ke luar negeri atau untuk pembangunan masyarakat? Apakah Anda yakin bingkisan yang Anda terima dan nikmati itu adalah hak Anda sebagai pejabat negara?

Dari kerangka pemahaman ini, mungkin tidak sulit dimengerti mengapa kemudian negara ini membutuhkan satu lembaga super seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (yang kemudian menjadi sedemikian sibuknya) karena kekeliruan pemahaman konsep ini oleh para pemangku hajat negara, atau (maaf) malah mereka secara sadar memilih untuk menikmati kekeliruan ini.

Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai hak dan kewajiban ini merupakan tanggung jawab bersama. Tentu saja peranan orang tua sangat vital karena mereka adalah sumber pertama dan utama pembelajaran dan pendidikan bagi anak anak. Di garda berikutnya adalah peranan guru dan pendidik di sekolah, baru kemudian lingkungan di mana anak-anak kita bergaul dan berinteraksi.

Namun, bagaimana jika para orang tua ini kemudian gagal paham atau gagal memberikan contoh penerapan yang benar kepada anak-anak mereka. Anak-anak menyaksikan bahwa orang tua mereka tidak memakai helm atau membuang sampah sembarangan keluar jendela mobil atau tidak mau antre dengan tertib?

Pelanggaran atas satu kewajiban mungkin satu konsep yang dapat lebih mudah dipahami, tapi tidak demikian halnya seperti pelanggaran atas hak orang lain (atau diri sendiri) yang konsepnya mungkin sedikit lebih halus. Tidak memakai helm sewaktu mengendarai motor adalah satu contoh pelanggaran kewajiban, tapi menyerobot antrean adalah pelanggaran hak orang lain. Menikmati fasilitas yang bukan merupakan haknya juga merupakan pelanggaran, misalnya, kendaraan pribadi yang melintasi busway supaya terhindar dari kemacetan.

Pemahaman bahwa hak seseorang itu selalu dibatasi oleh hak orang lain, bahkan dalam konsep menunaikan hak asasi sekalipun, merupakan kunci self control. Bahkan, dalam konteks yang cukup global, misalnya, wacana tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka akan lebih mudah dipahami dengan pendekatan bahwa generasi penerus kita juga mempunyai hak yang sama besarnya untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat beserta seluruh komponen ekosistem pendukungnya.

Dari sisi demografi, kita adalah negara dengan populasi Muslim terbesar. Menurut sensus BPS 2010, pemeluk Islam sejumlah 207.176.162 jiwa yang merupakan 87,18 persen dari total penduduk. Dalam ajaran Islam dikenal istilah zalim (kata ini disebut beberapa kali dalam Alquran) yang untuk praktisnya dapat dimaknai sebagai "meletakkan sesuatu atau perkara tidak pada tempatnya", termasuk di antaranya melanggar hak orang lain, menikmati sesuatu yang bukan haknya, dan tidak melaksanakan kewajiban seperti yang diperjanjikan (lawan kata zalim adalah adil).

Konsep zalim ini seharusnya sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia dan tentunya cukup membuat kening kita berkerut dengan hasil satu penelitian sosial yang berjudul "How Islamic are Islamic countries" yang menyatakan bahwa Indonesia adalah peringkat ke-140 dari 208 negara jika diukur dari penerapan nilai-nilai Islami dalam beberapa indikator pengukuran. Terlepas dari alasan sosio-religius masyarakat di negara yang berperingkat atas di hasil survei itu, jelas situasi ini cukup memprihatinkan kita.
  
Kembali pada pertanyaan tanggung jawab siapa untuk membantu pemahaman hak dan kewajiban ini, maka garda kedua yang juga sangat strategis adalah sekolah dan pendidik atau guru. Namun, sejauh ini pemahaman moral atau budi pekerti maupun agama tidaklah mendapatkan porsi memadai di kurikulum kita, apalagi masuk dalam rapor penilaian anak didik.

Alangkah baiknya jika kurikulum formal kita dapat disusun dengan mengarusutamakan pemahaman moral atau budi pekerti dalam konsep keagamaan yang baik, yang akan mewujudkan revolusi mental manusia Indonesia yang memahami konsep pemenuhan hak dan kewajiban di segala aspek kehidupan, dan menerapkannya secara konsisten dan konsekuen. Ini tugas strategis dan tidak akan selesai semalam, tapi cetak biru peradaban satu bangsa yang tinggi dan baik harus dimulai dengan konsep pendidikan yang benar dan kokoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar