Antara
Hak dan Kewajiban
Indra Gunawan ; Direktur Administrasi dan Keuangan
Yayasan Keanekaragaman
Hayati Indonesia (Kehati)
|
REPUBLIKA,
13 November 2014
Tulisan Joko Widodo dengan judul "Revolusi Mental" memang
cukup menggelitik. Di sini Jokowi menyoroti paradoks yang terjadi di
Indonesia, di mana ekonomi Indonesia berkembang demikian pesat sehingga masuk
10 besar dunia.
Namun, di sisi lain banyak terjadi kegalauan masyarakat yang
dimanifestasikan dalam bentuk protes di jalanan maupun di media massa atau
sosial. Disebutkan juga bahwa sejumlah tradisi kelam masa lalu masih tumbuh
subur di alam reformasi ini, seperti misalnya, korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, rakus, dan pelecehan hukum. Jokowi mengingatkan bahwa reformasi
yang terjadi "baru" sebatas kelembagaan dan belum menyentuh sektor
individu manusianya sebagai aktor utama pembangunan.
Saya ingin mencoba menjawab tesis Jokowi ini dengan satu pendekatan
sederhana, di mana revolusi mental individu sebaiknya dimulai dengan
pemahaman yang baik dan benar mengenai hak dan kewajiban. Ada beberapa
pertanyaan sederhana untuk memulai introspeksi; apakah Anda membuang sampah
di sungai? Apakah Anda tidak mengikuti antrean dalam mengambil makanan di
suatu pesta?
Waktu naik motor, apakah Anda berhenti melebihi garis setop di lampu
merah? Apakah Anda menyedot air keran dengan pompa air? Dengan pemahaman yang
benar, tentu saja kita tidak perlu berdebat untuk mengetahui jawaban apa yang
benar dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Jika kita angkat sedikit konteks diskusi ini, begitu Anda menjadi
seseorang yang mempunyai kekuasaan besar, tentu saja pemahaman ini akan
menjadi begitu penting. Sebagai seorang pejabat, yang mesti didahulukan; kepentingan
rakyat atau kepentingan keluarga dan rekan?
Apakah anggaran atau dana yang tersedia lebih baik digunakan untuk
studi banding ke luar negeri atau untuk pembangunan masyarakat? Apakah Anda
yakin bingkisan yang Anda terima dan nikmati itu adalah hak Anda sebagai
pejabat negara?
Dari kerangka pemahaman ini, mungkin tidak sulit dimengerti mengapa
kemudian negara ini membutuhkan satu lembaga super seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (yang kemudian menjadi sedemikian sibuknya) karena
kekeliruan pemahaman konsep ini oleh para pemangku hajat negara, atau (maaf)
malah mereka secara sadar memilih untuk menikmati kekeliruan ini.
Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai hak dan kewajiban ini
merupakan tanggung jawab bersama. Tentu saja peranan orang tua sangat vital
karena mereka adalah sumber pertama dan utama pembelajaran dan pendidikan
bagi anak anak. Di garda berikutnya adalah peranan guru dan pendidik di
sekolah, baru kemudian lingkungan di mana anak-anak kita bergaul dan
berinteraksi.
Namun, bagaimana jika para orang tua ini kemudian gagal paham atau
gagal memberikan contoh penerapan yang benar kepada anak-anak mereka.
Anak-anak menyaksikan bahwa orang tua mereka tidak memakai helm atau membuang
sampah sembarangan keluar jendela mobil atau tidak mau antre dengan tertib?
Pelanggaran atas satu kewajiban mungkin satu konsep yang dapat lebih
mudah dipahami, tapi tidak demikian halnya seperti pelanggaran atas hak orang
lain (atau diri sendiri) yang konsepnya mungkin sedikit lebih halus. Tidak
memakai helm sewaktu mengendarai motor adalah satu contoh pelanggaran
kewajiban, tapi menyerobot antrean adalah pelanggaran hak orang lain.
Menikmati fasilitas yang bukan merupakan haknya juga merupakan pelanggaran,
misalnya, kendaraan pribadi yang melintasi busway supaya terhindar dari
kemacetan.
Pemahaman bahwa hak seseorang itu selalu dibatasi oleh hak orang lain,
bahkan dalam konsep menunaikan hak asasi sekalipun, merupakan kunci self
control. Bahkan, dalam konteks yang cukup global, misalnya, wacana tentang
pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka akan
lebih mudah dipahami dengan pendekatan bahwa generasi penerus kita juga
mempunyai hak yang sama besarnya untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat
beserta seluruh komponen ekosistem pendukungnya.
Dari sisi demografi, kita adalah negara dengan populasi Muslim
terbesar. Menurut sensus BPS 2010, pemeluk Islam sejumlah 207.176.162 jiwa
yang merupakan 87,18 persen dari total penduduk. Dalam ajaran Islam dikenal
istilah zalim (kata ini disebut beberapa kali dalam Alquran) yang untuk
praktisnya dapat dimaknai sebagai "meletakkan sesuatu atau perkara tidak
pada tempatnya", termasuk di antaranya melanggar hak orang lain,
menikmati sesuatu yang bukan haknya, dan tidak melaksanakan kewajiban seperti
yang diperjanjikan (lawan kata zalim adalah adil).
Konsep zalim ini seharusnya sangat relevan untuk diterapkan di
Indonesia dan tentunya cukup membuat kening kita berkerut dengan hasil satu
penelitian sosial yang berjudul "How
Islamic are Islamic countries" yang menyatakan bahwa Indonesia
adalah peringkat ke-140 dari 208 negara jika diukur dari penerapan
nilai-nilai Islami dalam beberapa indikator pengukuran. Terlepas dari alasan
sosio-religius masyarakat di negara yang berperingkat atas di hasil survei itu,
jelas situasi ini cukup memprihatinkan kita.
Kembali pada pertanyaan tanggung jawab siapa untuk membantu pemahaman
hak dan kewajiban ini, maka garda kedua yang juga sangat strategis adalah
sekolah dan pendidik atau guru. Namun, sejauh ini pemahaman moral atau budi
pekerti maupun agama tidaklah mendapatkan porsi memadai di kurikulum kita,
apalagi masuk dalam rapor penilaian anak didik.
Alangkah baiknya jika kurikulum formal kita dapat disusun dengan
mengarusutamakan pemahaman moral atau budi pekerti dalam konsep keagamaan
yang baik, yang akan mewujudkan revolusi mental manusia Indonesia yang
memahami konsep pemenuhan hak dan kewajiban di segala aspek kehidupan, dan
menerapkannya secara konsisten dan konsekuen. Ini tugas strategis dan tidak
akan selesai semalam, tapi cetak biru peradaban satu bangsa yang tinggi dan
baik harus dimulai dengan konsep pendidikan yang benar dan kokoh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar