Asa
Nelayan vs Harga BBM
Oki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan di
Surabaya
|
JAWA
POS, 14 November 2014
HARAPAN memunculkan perbaikan ekonomi masyarakat pesisir di bawah
kendali nakhoda Joko Widodo meredup karena rencana kenaikan harga BBM
(solar). Kehidupan 7,87 juta masyarakat pesisir yang umumnya nelayan, petani
tambak, petani garam, dan pengolah ikan tradisional yang selama ini
termarginalkan dipastikan semakin terpuruk.
Rencana kenaikan harga solar 30 persen itu sangat menyakitkan nelayan
dan memberatkan petambak tradisional. Sebagai referensi, total biaya melaut
yang dibutuhkan kapal handline per
trip (15 hari) dengan 6 ABK pemancing tuna, tongkol, dan cakalang, misalnya,
menjadi Rp 8,9 juta dari semula Rp 7,3 juta, termasuk biaya membeli
lauk-pauk, rokok, alat pancing, beras, air bersih, 200 liter solar, es balok,
dan oli mesin. Padahal, ikan tangkapannya tidak lebih dari 2 ton senilai Rp
14 juta.
Demikian pula, kebutuhan operasi kapal purse-seine dengan 30 ABK yang
mengandalkan alat tangkap jaring, pancing rawe, dan bubu lebih besar,
walaupun durasi melautnya lebih pendek (5–7 hari), dari semula Rp 26 juta
membengkak menjadi Rp 31 juta. Biaya solar saja Rp 17 juta (2.000 liter),
sedangkan tangkapannya berkisar 10 ton senilai Rp 70 juta. Hasil tersebut
dipotong 40 persen untuk pemilik kapal dan biaya operasi. Sisanya dibagi 30
orang.
Nelayan oneday fishing yang menjaring ikan dengan perahu seperti jukung,
payang, dan jaten yang beroperasi di 4–6 mil laut yang menghabiskan 20 liter
solar untuk mendapat 6 kuintal ikan tidak akan berani lagi melaut bukan
karena tingginya gelombang, tetapi ditenggelamkan harga solar yang tidak
terjangkau.
Kondisi ekonomi yang memprihatinkan juga akan melanda 2,67 juta petani
tambak di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun, berdasar
catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, hasil produksi ikan budi daya
mencapai 5,20 juta ton pada 2013. Tetapi, sebagian besar hasil produksi budi
daya tersebut merupakan milik pemodal atau skala industri. Petani tambak
hanya menjadi buruh tambak.
Petambak udang tradisional yang mengelola sendiri lahannya atau dengan
cara sewa lahan juragan tambak dengan sistem bagi hasil per musim tanam (MT)
menghabiskan 1,5–2 liter solar per kilogram ikan hasil panen. Solar untuk
generator dibutuhkan untuk menggerakkan kincir air yang menyuplai oksigen.
Jika hasil udang 2 ton, solar yang dibutuhkan 3.000–4.000 liter atau Rp 25
juta–Rp 34 juta per MT.
Di sisi lain, para pengolah ikan tradisional (pengasap dan pemindang)
yang selama ini mengalami kesulitan bahan baku ikan akan bertambah susah
dengan harga ikan yang semakin mahal dampak overfishing dan pengurangan 20
persen solar nelayan. Contohnya, di Pulau Bawean, Gresik, dan Desa Lekok,
Pasuruan. Di antara ratusan pemindang tradisional, hanya segelintir pemindang
yang tetap bertahan.
Fakta empiris menyebutkan, usaha pemindang tradisional seperti di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali terpuruk karena pengetatan impor
ikan. Bahan baku yang selama ini dipasok nelayan turun drastis lantaran
anomali cuaca. Harga ikan yang semula Rp 7.000 naik menjadi Rp 10.000 per kg,
sedangkan total kebutuhan baku ikan untuk pindang nasional mencapai 157.838
ton per bulan. Sementara itu, nelayan Indonesia hanya mampu memasok kebutuhan
tersebut 76.434 ton per bulan atau 48,43 persen. Artinya, pasokan masih
kurang 81.405 ton per bulan (51,57 persen).
Kesulitan biaya hidup karena kenaikan harga solar akan berdampak pada
kehidupan petani garam di sebelas sentra garam nasional. Nasib petani garam
dimainkan kebijakan pergaraman nasional yang tidak berpihak kepada mereka.
Petani garam seharusnya tidak terpuruk jika Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Perindustrian, serta Perdagangan yang mengurusi garam sepakat
menghentikan impor garam dan mendesak PT Garam membeli produk petani
tradisional minimal Rp 1.000 per kilogram.
Di tengah terpuruknya harga garam ketika musim panen, yaitu Rp 200 dari
harga normal Rp 500 per kilogram, pemerintah asyik mendatangkan impor dari
berbagai negara. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2013, garam impor
dari Australia mencapai 128,7 ribu ton, Selandia Baru (143 ton), Jerman (35
ton), Denmark (44 ton), dan negara lain (124 ton).
Setengah
Hati
Jika mencermati APBN 2015, alokasi dana untuk Kementerian Kelautan dan
Perikanan, termasuk membiayai program bagi masyarakat pesisir, mencapai Rp
6,726 triliun. Anggaran tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan
kekuatan APBN Rp 2.039,5 triliun (kurang dari 3,3 persen). Dari anggaran
tersebut, tampak jelas keberpihakan pemerintah kepada masyarakat pesisir
masih setengah hati.
Sebagai etalase negara poros maritim, masyarakat pesisir seharusnya
mendapat perlakuan yang tidak diskriminatif. Berdasar fakta, 10.600 desa di
antara 28.258 desa miskin di Indonesia yang tersebar di 241 kabupaten/kota di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah desa miskin serta tergolong
daerah tertinggal.
Mereka sulit sejahtera jika persoalan mendasar yang dihadapi tidak
diperhatikan, yaitu tingkat kemiskinan, kerusakan sumber daya pesisir,
rendahnya kemandirian organisasi sosial desa, serta minimnya infrastruktur
dan kesehatan lingkungan permukiman desa.
Isi pidato Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya yang mengundang
decak kagum perlu diapresiasi karena memunculkan asa masyarakat pesisir akan
adanya perubahan. Tentunya kita berharap hal itu tidak sebatas di atas kertas
pidato untuk menyenangkan kaum yang tepinggirkan tersebut. Janji menyejahterakan
serta tidak memunggungi laut, selat, dan teluk yang juga merupakan periuk
nasi masyarakat pesisir tentunya harus dibuktikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar