Sabtu, 15 November 2014

Asa Nelayan vs Harga BBM

                                      Asa Nelayan vs Harga BBM

Oki Lukito  ;   Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan di Surabaya
JAWA POS,  14 November 2014

                                                                                                                       


HARAPAN memunculkan perbaikan ekonomi masyarakat pesisir di bawah kendali nakhoda Joko Widodo meredup karena rencana kenaikan harga BBM (solar). Kehidupan 7,87 juta masyarakat pesisir yang umumnya nelayan, petani tambak, petani garam, dan pengolah ikan tradisional yang selama ini termarginalkan dipastikan semakin terpuruk.

Rencana kenaikan harga solar 30 persen itu sangat menyakitkan nelayan dan memberatkan petambak tradisional. Sebagai referensi, total biaya melaut yang dibutuhkan kapal handline per trip (15 hari) dengan 6 ABK pemancing tuna, tongkol, dan cakalang, misalnya, menjadi Rp 8,9 juta dari semula Rp 7,3 juta, termasuk biaya membeli lauk-pauk, rokok, alat pancing, beras, air bersih, 200 liter solar, es balok, dan oli mesin. Padahal, ikan tangkapannya tidak lebih dari 2 ton senilai Rp 14 juta.

Demikian pula, kebutuhan operasi kapal purse-seine dengan 30 ABK yang mengandalkan alat tangkap jaring, pancing rawe, dan bubu lebih besar, walaupun durasi melautnya lebih pendek (5–7 hari), dari semula Rp 26 juta membengkak menjadi Rp 31 juta. Biaya solar saja Rp 17 juta (2.000 liter), sedangkan tangkapannya berkisar 10 ton senilai Rp 70 juta. Hasil tersebut dipotong 40 persen untuk pemilik kapal dan biaya operasi. Sisanya dibagi 30 orang.

Nelayan oneday fishing yang menjaring ikan dengan perahu seperti jukung, payang, dan jaten yang beroperasi di 4–6 mil laut yang menghabiskan 20 liter solar untuk mendapat 6 kuintal ikan tidak akan berani lagi melaut bukan karena tingginya gelombang, tetapi ditenggelamkan harga solar yang tidak terjangkau.

Kondisi ekonomi yang memprihatinkan juga akan melanda 2,67 juta petani tambak di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun, berdasar catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, hasil produksi ikan budi daya mencapai 5,20 juta ton pada 2013. Tetapi, sebagian besar hasil produksi budi daya tersebut merupakan milik pemodal atau skala industri. Petani tambak hanya menjadi buruh tambak.

Petambak udang tradisional yang mengelola sendiri lahannya atau dengan cara sewa lahan juragan tambak dengan sistem bagi hasil per musim tanam (MT) menghabiskan 1,5–2 liter solar per kilogram ikan hasil panen. Solar untuk generator dibutuhkan untuk menggerakkan kincir air yang menyuplai oksigen. Jika hasil udang 2 ton, solar yang dibutuhkan 3.000–4.000 liter atau Rp 25 juta–Rp 34 juta per MT.

Di sisi lain, para pengolah ikan tradisional (pengasap dan pemindang) yang selama ini mengalami kesulitan bahan baku ikan akan bertambah susah dengan harga ikan yang semakin mahal dampak overfishing dan pengurangan 20 persen solar nelayan. Contohnya, di Pulau Bawean, Gresik, dan Desa Lekok, Pasuruan. Di antara ratusan pemindang tradisional, hanya segelintir pemindang yang tetap bertahan.

Fakta empiris menyebutkan, usaha pemindang tradisional seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali terpuruk karena pengetatan impor ikan. Bahan baku yang selama ini dipasok nelayan turun drastis lantaran anomali cuaca. Harga ikan yang semula Rp 7.000 naik menjadi Rp 10.000 per kg, sedangkan total kebutuhan baku ikan untuk pindang nasional mencapai 157.838 ton per bulan. Sementara itu, nelayan Indonesia hanya mampu memasok kebutuhan tersebut 76.434 ton per bulan atau 48,43 persen. Artinya, pasokan masih kurang 81.405 ton per bulan (51,57 persen).

Kesulitan biaya hidup karena kenaikan harga solar akan berdampak pada kehidupan petani garam di sebelas sentra garam nasional. Nasib petani garam dimainkan kebijakan pergaraman nasional yang tidak berpihak kepada mereka. Petani garam seharusnya tidak terpuruk jika Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, serta Perdagangan yang mengurusi garam sepakat menghentikan impor garam dan mendesak PT Garam membeli produk petani tradisional minimal Rp 1.000 per kilogram.

Di tengah terpuruknya harga garam ketika musim panen, yaitu Rp 200 dari harga normal Rp 500 per kilogram, pemerintah asyik mendatangkan impor dari berbagai negara. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2013, garam impor dari Australia mencapai 128,7 ribu ton, Selandia Baru (143 ton), Jerman (35 ton), Denmark (44 ton), dan negara lain (124 ton).

Setengah Hati

Jika mencermati APBN 2015, alokasi dana untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, termasuk membiayai program bagi masyarakat pesisir, mencapai Rp 6,726 triliun. Anggaran tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan kekuatan APBN Rp 2.039,5 triliun (kurang dari 3,3 persen). Dari anggaran tersebut, tampak jelas keberpihakan pemerintah kepada masyarakat pesisir masih setengah hati.

Sebagai etalase negara poros maritim, masyarakat pesisir seharusnya mendapat perlakuan yang tidak diskriminatif. Berdasar fakta, 10.600 desa di antara 28.258 desa miskin di Indonesia yang tersebar di 241 kabupaten/kota di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah desa miskin serta tergolong daerah tertinggal.

Mereka sulit sejahtera jika persoalan mendasar yang dihadapi tidak diperhatikan, yaitu tingkat kemiskinan, kerusakan sumber daya pesisir, rendahnya kemandirian organisasi sosial desa, serta minimnya infrastruktur dan kesehatan lingkungan permukiman desa.

Isi pidato Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya yang mengundang decak kagum perlu diapresiasi karena memunculkan asa masyarakat pesisir akan adanya perubahan. Tentunya kita berharap hal itu tidak sebatas di atas kertas pidato untuk menyenangkan kaum yang tepinggirkan tersebut. Janji menyejahterakan serta tidak memunggungi laut, selat, dan teluk yang juga merupakan periuk nasi masyarakat pesisir tentunya harus dibuktikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar