Sabtu, 15 November 2014

Hancurnya Tebu Nasional

                                        Hancurnya Tebu Nasional

KA Wijaya  ;   Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Jember
JAWA POS,  14 November 2014

                                                                                                                       


”Pertebuan Indonesia sudah hancur berkeping-keping di dasar jurang.”

PERNYATAAN itu dilontarkan Arum Sabil, tokoh pertebuan nasional kondang, dalam acara Seminar Nasional Ulang Tahun Emas Universitas Jember pada Selasa, 11 November 2014, di Hotel Aston Jember. Beliau adalah tokoh yang sangat mengetahui dan menguasai betul tentang pertebuan nasional. Karena itu, pernyataannya bukan isapan jempol belaka. Pernyataan tersebut juga dikonfirmasi oleh tokoh-tokoh pertebuan lain yang juga menjadi pembicara, di antaranya Bayu Krisnamurthi, Bustanul Arifin, Nuhfil Hanani, Subiyono (Dirut PTPN X), dan Budi Hidayat (Dirut PTPN XIV).

Hancurnya pertebuan nasional diindikasikan oleh berbagai kondisi. Pertama membanjirnya gula impor. Kemudian gula rafinasi yang mestinya untuk industri makanan, minuman, dan farmasi tetapi dijual untuk konsumsi rumah tangga. Bahkan, saat ini juga didirikan beberapa pabrik gula rafinasi yang akan mengolah gula mentah impor dan ikut meramaikan pasar gula. Di sisi lain, kapasitas giling pabrik gula dinaikkan, tetapi luas lahan penanaman tebu justru semakin sempit (hanya 470 ribu hektare). Faktor lain adalah rendahnya rendemen gula (rata-rata di bawah 6 persen), tidak tersedianya pupuk saat dibutuhkan, lemahnya modal usaha petani sehingga pekerjaan klethek dan pembumbunan sering tidak bisa dilakukan, langkanya tenaga tebang dan angkut, serta rendahnya tingkat kepercayaan petani kepada pabrik gula.

Semua kondisi tersebut berpengaruh pada biaya produksi gula dalam negeri sehingga jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan luar negeri. Akibatnya, harga pokok penjualan (HPP) gula dalam negeri di atas Rp 9 ribu per kg. Sedangkan HPP gula luar negeri bisa di bawah Rp 6 ribu per kg. Kondisi itu membuat gula dalam negeri tidak bersaing dengan gula impor. Kecuali harga, kualitas gula impor juga lebih baik daripada gula lokal sehingga konsumen rumah tangga memilih gula impor.

Kondisi pertebuan memasuki fase darurat. Kalau diibaratkan orang sakit, sudah masuk rumah sakit lewat UGD dan diteruskan ke ICU. Apabila diibaratkan rumah terbakar, seluruh atapnya sudah terbakar. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak ada tindak lanjut yang konkret untuk mengatasi kehancuran itu? Pihak Unej sebagai penyelenggara seminar pertebuan juga tidak mempunyai usulan untuk mengatasi kondisi tersebut. Seusai seminar, semua biasa-biasa saja, seolah-olah tidak ada hal gawat yang perlu dikhawatirkan.

Mestinya ada pertanyaan mendasar pada setiap orang yang berseminar, yaitu mau diapakan pertebuan kita itu? Bagaimana cara menolongnya? Tidak mengherankan, di akhir seminar, banyak peserta yang mengatakan, ”Kenapa masalah pertebuan dari dulu sampai hari ini kok itu-itu saja. Keluhan sepuluh tahun lalu masih dikeluhkan juga hari ini.” Jawabannya, karena setelah selesai seminar, kita semua lupa dan sibuk sendiri-sendiri dengan kegiatan masing-masing. Kemudian, kalau ada undangan untuk berbicara di seminar, disampaikan lagi dan lagi setiap tahun.

Setiap acara seminar pertebuan nasional pasti mengundang pihak Kementerian Pertanian dengan harapan ide-ide bagus yang terlontar selama seminar dapat direkam dan ditindaklanjuti. Tetapi, yang terjadi adalah pihak kementerian biasanya pulang meninggalkan acara seminar setelah menyampaikan pidato/makalahnya. Pejabat tinggi bolehlah meninggalkan acara lebih dulu. Tetapi, untuk merekam dan menyerap ide-ide inovatif selama seminar, semestinya ada staf yang ditugaskan dan mengikuti acara seminar sampai selesai, kemudian menyampaikannya kepada menteri agar dapat ditindaklanjuti. Dengan demikian, acara seminar akan bermanfaat.

Sangat disayangkan, biaya dan waktu yang sudah dihabiskan selama bertahun-tahun untuk berseminar pertebuan tidak menghasilkan kemajuan yang diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar