Hancurnya
Tebu Nasional
KA Wijaya ; Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian Universitas
Jember
|
JAWA
POS, 14 November 2014
”Pertebuan
Indonesia sudah hancur berkeping-keping di dasar jurang.”
PERNYATAAN itu dilontarkan Arum Sabil, tokoh pertebuan nasional
kondang, dalam acara Seminar Nasional Ulang Tahun Emas Universitas Jember
pada Selasa, 11 November 2014, di Hotel Aston Jember. Beliau adalah tokoh
yang sangat mengetahui dan menguasai betul tentang pertebuan nasional. Karena
itu, pernyataannya bukan isapan jempol belaka. Pernyataan tersebut juga
dikonfirmasi oleh tokoh-tokoh pertebuan lain yang juga menjadi pembicara, di
antaranya Bayu Krisnamurthi, Bustanul Arifin, Nuhfil Hanani, Subiyono (Dirut
PTPN X), dan Budi Hidayat (Dirut PTPN XIV).
Hancurnya pertebuan nasional diindikasikan oleh berbagai kondisi.
Pertama membanjirnya gula impor. Kemudian gula rafinasi yang mestinya untuk
industri makanan, minuman, dan farmasi tetapi dijual untuk konsumsi rumah
tangga. Bahkan, saat ini juga didirikan beberapa pabrik gula rafinasi yang
akan mengolah gula mentah impor dan ikut meramaikan pasar gula. Di sisi lain,
kapasitas giling pabrik gula dinaikkan, tetapi luas lahan penanaman tebu justru
semakin sempit (hanya 470 ribu hektare). Faktor lain adalah rendahnya
rendemen gula (rata-rata di bawah 6 persen), tidak tersedianya pupuk saat
dibutuhkan, lemahnya modal usaha petani sehingga pekerjaan klethek dan
pembumbunan sering tidak bisa dilakukan, langkanya tenaga tebang dan angkut,
serta rendahnya tingkat kepercayaan petani kepada pabrik gula.
Semua kondisi tersebut berpengaruh pada biaya produksi gula dalam
negeri sehingga jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan luar negeri.
Akibatnya, harga pokok penjualan (HPP) gula dalam negeri di atas Rp 9 ribu
per kg. Sedangkan HPP gula luar negeri bisa di bawah Rp 6 ribu per kg.
Kondisi itu membuat gula dalam negeri tidak bersaing dengan gula impor.
Kecuali harga, kualitas gula impor juga lebih baik daripada gula lokal
sehingga konsumen rumah tangga memilih gula impor.
Kondisi pertebuan memasuki fase darurat. Kalau diibaratkan orang sakit,
sudah masuk rumah sakit lewat UGD dan diteruskan ke ICU. Apabila diibaratkan
rumah terbakar, seluruh atapnya sudah terbakar. Yang menjadi pertanyaan,
mengapa tidak ada tindak lanjut yang konkret untuk mengatasi kehancuran itu?
Pihak Unej sebagai penyelenggara seminar pertebuan juga tidak mempunyai
usulan untuk mengatasi kondisi tersebut. Seusai seminar, semua biasa-biasa
saja, seolah-olah tidak ada hal gawat yang perlu dikhawatirkan.
Mestinya ada pertanyaan mendasar pada setiap orang yang berseminar,
yaitu mau diapakan pertebuan kita itu? Bagaimana cara menolongnya? Tidak
mengherankan, di akhir seminar, banyak peserta yang mengatakan, ”Kenapa
masalah pertebuan dari dulu sampai hari ini kok itu-itu saja. Keluhan sepuluh
tahun lalu masih dikeluhkan juga hari ini.” Jawabannya, karena setelah
selesai seminar, kita semua lupa dan sibuk sendiri-sendiri dengan kegiatan masing-masing.
Kemudian, kalau ada undangan untuk berbicara di seminar, disampaikan lagi dan
lagi setiap tahun.
Setiap acara seminar pertebuan nasional pasti mengundang pihak
Kementerian Pertanian dengan harapan ide-ide bagus yang terlontar selama
seminar dapat direkam dan ditindaklanjuti. Tetapi, yang terjadi adalah pihak
kementerian biasanya pulang meninggalkan acara seminar setelah menyampaikan
pidato/makalahnya. Pejabat tinggi bolehlah meninggalkan acara lebih dulu.
Tetapi, untuk merekam dan menyerap ide-ide inovatif selama seminar,
semestinya ada staf yang ditugaskan dan mengikuti acara seminar sampai
selesai, kemudian menyampaikannya kepada menteri agar dapat ditindaklanjuti.
Dengan demikian, acara seminar akan bermanfaat.
Sangat disayangkan, biaya dan waktu yang sudah dihabiskan selama
bertahun-tahun untuk berseminar pertebuan tidak menghasilkan kemajuan yang
diharapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar