Kapal
Besar Bernama G-20
Berly Martawardaya ; Ekonom dan Pengajar Magister
Perencanaan &
Kebijakan Publik (MPKP) FEUI
|
KORAN
SINDO, 14 November 2014
G-20 adalah perkumpulan 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia
plus Uni Eropa yang menjadi wahana utama perumusan kebijakan ekonomi global.
Peran ini dahulu dilakukan oleh G-7 yang terdiri atas Amerika, Inggris,
Jepang, Prancis, Kanada, Italia, dan Uni Eropa. Perekonomian negara G- 7
merupakan lebih dari setengah perekonomian dunia pada 2012. Namun, krisis
ekonomi global 2008 membuka mata para anggota G-7 bahwa perekonomian global
sudah terlalu besar untuk hanya diatur oleh segelintir negara Barat plus
Jepang.
Tidak bisa lagi negara dengan populasi besar (Tiongkok, India, Brasil,
Indonesia), PDB tinggi (Korea Selatan, Australia, Meksiko, Arab Saudi, dan
Turki) atau perekonomian dinamik wilayah (Afrika Selatan dan Argentina) hanya
menjadi penonton pasif sehingga dibentuklah forum yang mengikutsertakan
negara-negara tersebut.
Laman resmi G-20 menyatakan bahwa entitas ini telah memimpin dunia
keluar dari krisis global menuju pemulihan. Setelah peran pemadam kebakaran
berakhir maka G-20 memfokuskan energinya pada mendorong kebijakan yang
mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Heinbecker (2011) dalam studinya berjudul “The Future of G-20 and its Place in Global Governance“
mengatakan bahwa fokus terlalu besar pada topik ekonomi membatasi potensi
kerja sama yang bisa dilakukan pada forum ini. Sering kali pembahasan terlalu
teknis yang seharusnya cukup dilakukan pada tingkat menteri keuangan.
Pada sisi lain, fokus pada ekonomi menyebabkan keanggotaan meliputi
negara yang kurang demokratis dan perbedaan nilai menyulitkan pengambilan
keputusan. Berlalunya krisis ekonomi dan membaiknya ekonomi global juga
mengurangi urgensi untuk bekerja sama.
G-20 menyediakan forum yang lebih kecil daripada PBB, tapi mewakili
berbagai wilayah di dunia sehingga interaksi bisa lebih intens dan personal
pada orang-orang yang memiliki pengaruh ekonomi besar. Para kepala
pemerintahan beserta menteri keuangan dan gubernur bank sentral bertemu
setidaknya sekali setahun untuk menetapkan agenda kerja setahun ke depan.
Pada tahun 2009 dan 2010, bahkan diselenggarakan dua kali pertemuan
karena masih dalam kondisi krisis. Keanggotaan Indonesia pada G-20 yang hanya
mengikutsertakan enam negara Asia dan tiga negara berpenduduk mayoritas
muslim cukup membanggakan dan perlu dioptimalkan manfaatnya oleh pemerintahan
Jokowi-JK.
Manfaat pertama adalah hubungan bilateral. Tanpa perlu pergi mendatangi
satu per satu, Jokowi bisa bertemu dengan kepala pemerintahan banyak negara
besar di forum G-20. Jika pada pertemuan APEC telah digunakan untuk bertemu
Obama, Xi Jinping, dan Shinzo Abe, maka Jokowi bisa bertemu dan menjalin
kerja sama bilateral di sela pertemuan multilateral dengan banyak negara
Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Selatan yang berperan besar dalam ekonomi
global.
Relasi personal dapat berperan memuluskan peningkatan hubungan ekonomi
pada tahap selanjutnya. Sebagai presiden yang baru dilantik, kesempatan ini
bisa digunakan untuk menyampaikan potensi ekonomi Indonesia, menjajaki pasar
ekspor, dan mengundang investasi pada para pengusaha.
Manfaat kedua adalah koordinasi dan formulasi kebijakan global.
Indonesia tidak lagi sebagai obyek yang menerima apa pun hasil keputusan
segelintir negara kaya, tapi sebagai subjek yang hadir dan memiliki suara
dalam meja negosiasi. Sangat penting bahwa tim yang berangkat sudah mempunyai
beberapa agenda prioritas untuk diperjuangkan di meja perundingan dan tidak
sekedar mengikuti mayoritas.
Tim negosiator perlu berbekal data empiris dan studi ilmiah untuk
meyakinkan dan mengajak negara lain untuk mendukung posisi Indonesia. Saat
ini salah satu hambatan besar bagi ekspor Indonesia adalah komoditas sawit
yang dikategorikan sebagai merusak lingkungan dan meningkatkan emisi.
Pada sektor keuangan dan perbankan, juga perlu diupayakan supaya bukan
hanya negara asing yang memiliki cabang di Indonesia, namun juga kita
dimudahkan untuk membuka serta kembangkan jasa keuangan di negara lain.
Bila saat ini poros maritim menjadi prioritas Indonesia, forum G-20
perlu digunakan untuk mengajak kerja sama negara lain yang juga berbasis
maritim seperti Inggris, Jepang, dan Amerika supaya potensi ekonomi laut
Indonesia dapat lebih cepat direalisasikan untuk meningkatkan kemakmuran
rakyat Manfaat ketiga adalah proses berbagai pengetahuan serta best practice
di berbagai negara.
Di antara agenda prioritas pertemuan G-20 di Australia adalah
perpajakan, energi, dan antikorupsi yang merupakan permasalahan besar di
Indonesia. Kita bisa belajar pada Afrika Selatan yang memiliki tax ratio jauh lebih tinggi dari
Indonesia dengan memisahkan fungsi pendapatan negara pada badan tersendiri,
padahal mereka juga negara berkembang dengan kemiskinan dan kesenjangan yang
tinggi.
Pada bidang energi, Indonesia perlu belajar banyak dari Brasil yang
berhasil mengembangkan bioenergi (terutama dari gula) sehingga mengurangi
konsumsi bahan bakar fosil dan perkuat ketahanan energi. Pertemuan para
kepala pemerintahan dan menteri di G-20 bisa menjadi awal dari kerja sama
spesifik bilateral yang berlanjut setelahnya.
Maka itu, sangat penting bahwa delegasi yang akan berangkat sudah
memiliki target dan agenda untuk diwujudkan serta negara mana saja yang perlu
didekati. Pada lain sisi, kita juga perlu berhati-hati untuk tidak diajak
menyetujui kebijakan yang merugikan Indonesia semata untuk solidaritas forum.
Akhir kata, sebagai sebuah wahana tentu G-20 memiliki kelebihan dan
kekurangan. Tapi tidak banyak forum tingkat tinggi, di mana Indonesia bisa
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara Barat.
Sebagai pemerintahan baru, Jokowi perlu mempersiapkan secara matang
sehingga partisipasi Indonesia dalam pertemuan di Australia dapat membawa
dampak yang tinggi baik melalui jalur bilateral, kesepakatan multilateral,
maupun bertukar pengalaman. Para pemimpin G- 20 adalah nakhoda dan mualim
dalam kapal besar ekonomi global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar