Kabinet
Sarkastis Jokowi
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
REPUBLIKA,
13 November 2014
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah menentukan kabinetnya.
Publik berharap tinggi bahwa Jokowi betul-betul memilih menteri yang mampu
menerapkan ide dan program barunya yang revolusioner.
Namun, banyak yang memberi tinta merah terhadap komposisi kabinet
Jokowi sebagai kabinet kompromi: siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Sebanyak 21 dari 34 menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi jelas-jelas merupakan
wakil dari partai politik atau memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh politik
yang mendukung Jokowi. Belum lagi ada diskrepansi antara latar belakang ketokohan
dan jabatan yang diemban.
Hal yang agak terlupakan dalam diskursus Kabinet Kerja Jokowi adalah
eksposur sarkastis yang hendak dihadirkan oleh Presiden Jokowi kepada
masyarakat. Ini, sebagai contoh, terlihat dari keputusan Jokowi yang
bereksperimen di kabinetnya dengan menunjuk Susi Pudjiastuti, pemilik Susi
Air, sebagai menteri kelautan dan perikanan. Kontroversi yang muncul terkait
dengan latar belakang pendidikan Susi yang hanya tamatan sekolah menengah
pertama.
Menjadi pertanyaan, apakah Jokowi ingin mencari sensasi atau menganggap
latar belakang pendidikan tidak penting? Apa yang sejatinya dilakukan Jokowi
adalah menjewer paradigma kita memafhumi pendidikan yang selalu diasosiakan
dengan ijazah dan gelar mentereng.
Pada satu sisi, bagi Jokowi, keeksentrikan dan reputasi seorang Susi
--membangun usaha maskapai penerbangan miliknya sendiri dari nol dengan susah
payah hingga berkontribusi bagi penangangan bencana alam semisal tsunami di
Aceh-- jauh lebih penting daripada perilaku pribadinya yang kontroversial
berupa kebiasaan merokok di depan umum, prestasi di atas privasi.
Pada sisi lain, penunjukan Susi Pudjiastuti bisa ditafsirkan sebagai
tamparan Jokowi terhadap tren berpikir khalayak yang telanjur
mendarahdagingkan moralitas sebatas simbolisasi. Betapa banyak kaum moralis
mengemis mengajukan proposal untuk bisa mendapatkan tiket gratis bepergian
menghadiri acara di dalam dan luar negeri. Menteri yang selama ini dianggap
bermoral ternyata koruptor dan masuk penjara. Lalu, apakah mengirimkan bala bantuan
untuk anak negeri yang ditimpa bencana alam dengan pesawat pribadi bukan
berada di kutub moralitas?
Sarkastisme kabinet Jokowi juga terlihat dengan sikapnya memberikan
kepercayaan kepada Andrinof Chaniago, pakar kebijakan publik, sebagai kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Meskipun hanya lulusan
master dalam negeri, Andrinof adalah sosok visioner.
Pemahamannya yang dalam dan keterlibatannya yang luas menyangkut
desentralisasi dan kebijakan publik di daerah mengantarkannya melahirkan
konsep brilian "Visi Indonesia 2033" guna menjamin distribusi yang
adil bagi pembangunan di seluruh daerah. Di samping mengajar di universitas
dan mendirikan lembaga riset, Andrinof berhasil mengubah ide-ide abstrak
menjadi langkah-langkah konkret sehingga menjadikannya sebagai tokoh refleksi
dan aksi.
Pemilihan Andrinof sebagai Kepala Bappenas sejatinya tak bisa
dilepaskan dari konsep revolusi mental Jokowi. Berbasiskan Jokowinomics yang menegaskan ekonomi
prorakyat, posisi Andrinof menjadi sistem peringatan dini ala Jokowi bahwa
Bappenas tak bisa lagi dilihat seperti ketika ia dipimpin oleh Boediono atau
Sri Mulyani Indrawati yang mengutamakan kepentingan pasar. Ini kian kentara
ketika Jokowi menarik Bappenas dari koordinasi Menko Perekonomian dengan
menempatkannya langsung di bawah Presiden dalam posisi setara setneg guna
mengawal Nawa Cita.
Pertaruhan sarkasme Jokowi dalam menetapkan para menterinya secara
khusus akan terlihat pada posisi Menko Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan
yang berjuang meningkatkan SDM-nya sendiri. Sebagai seorang menteri
koordinator, Puan Maharani menjadi menko termuda yang minim pengalaman yang
hanya lulusan S1 dengan kualifikasi nilai yang tidak luar biasa. Ia akan
mengoordinatori empat menteri pemegang gelar PhD, dua di antaranya adalah
mantan rektor di perguruan tinggi terkenal. Belum lagi empat orang politisi
yang kaya raya dengan pengalaman dalam membangun jaringan dan organisasi.
Menjadi sentral dalam mengeksekusi revolusi mental dalam Kabinet Kerja
Jokowi bukan saja kemampuan untuk menjadi pembelajar yang aktif. Untuk
memimpin lembaga birokratik yang sudah teramat lama dengan budaya feodalisme
yang mengandung jaringan kejahatan yang juga aktif, semisal mafia migas, maka
yang jauh lebih dibutuhkan adalah keberanian dan kecepatan bertindak agar
segenap pihak mau bergerak ke tujuan yang diinginkan. Karenanya, bila seorang
menteri di kabinet Jokowi masih berkata kepada bawahannya bahwa ia harus
banyak belajar tentang masalah di kementeriannya, tak tahu solusi tepat yang
dihadirkan atau kelewat lama memutuskan, maka dikhawatirkan Kabinet Kerja
Jokowi akan layu sebelum berkembang.
Sejumlah menteri di atas, tanpa mengabaikan figur menteri lainnya,
relatif cukup tegas mewartakan kepada publik bahwa Presiden Jokowi sungguh-sungguh
ingin menerapkan revolusi mental yang dimulai dengan memperbaiki cara kita
melihat manusia dan menegaskan pandangan dunia. Utak-atik Jokowi terhadap
kemapanan berpikir kita selama ini sesungguhnya mengandung selera humor yang
mendalam bahwa bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mau dan mampu
menertawakan dirinya sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar