Jumat, 14 November 2014

Kabinet Sarkastis Jokowi

                                         Kabinet Sarkastis Jokowi

Donny Syofyan ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
REPUBLIKA,  13 November 2014

                                                                                                                       


Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah menentukan kabinetnya. Publik berharap tinggi bahwa Jokowi betul-betul memilih menteri yang mampu menerapkan ide dan program barunya yang revolusioner.

Namun, banyak yang memberi tinta merah terhadap komposisi kabinet Jokowi sebagai kabinet kompromi: siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Sebanyak 21 dari 34 menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi jelas-jelas merupakan wakil dari partai politik atau memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh politik yang mendukung Jokowi. Belum lagi ada diskrepansi antara latar belakang ketokohan dan jabatan yang diemban.

Hal yang agak terlupakan dalam diskursus Kabinet Kerja Jokowi adalah eksposur sarkastis yang hendak dihadirkan oleh Presiden Jokowi kepada masyarakat. Ini, sebagai contoh, terlihat dari keputusan Jokowi yang bereksperimen di kabinetnya dengan menunjuk Susi Pudjiastuti, pemilik Susi Air, sebagai menteri kelautan dan perikanan. Kontroversi yang muncul terkait dengan latar belakang pendidikan Susi yang hanya tamatan sekolah menengah pertama.

Menjadi pertanyaan, apakah Jokowi ingin mencari sensasi atau menganggap latar belakang pendidikan tidak penting? Apa yang sejatinya dilakukan Jokowi adalah menjewer paradigma kita memafhumi pendidikan yang selalu diasosiakan dengan ijazah dan gelar mentereng.

Pada satu sisi, bagi Jokowi, keeksentrikan dan reputasi seorang Susi --membangun usaha maskapai penerbangan miliknya sendiri dari nol dengan susah payah hingga berkontribusi bagi penangangan bencana alam semisal tsunami di Aceh-- jauh lebih penting daripada perilaku pribadinya yang kontroversial berupa kebiasaan merokok di depan umum, prestasi di atas privasi.

Pada sisi lain, penunjukan Susi Pudjiastuti bisa ditafsirkan sebagai tamparan Jokowi terhadap tren berpikir khalayak yang telanjur mendarahdagingkan moralitas sebatas simbolisasi. Betapa banyak kaum moralis mengemis mengajukan proposal untuk bisa mendapatkan tiket gratis bepergian menghadiri acara di dalam dan luar negeri. Menteri yang selama ini dianggap bermoral ternyata koruptor dan masuk penjara. Lalu, apakah mengirimkan bala bantuan untuk anak negeri yang ditimpa bencana alam dengan pesawat pribadi bukan berada di kutub moralitas?

Sarkastisme kabinet Jokowi juga terlihat dengan sikapnya memberikan kepercayaan kepada Andrinof Chaniago, pakar kebijakan publik, sebagai kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Meskipun hanya lulusan master dalam negeri, Andrinof adalah sosok visioner.

Pemahamannya yang dalam dan keterlibatannya yang luas menyangkut desentralisasi dan kebijakan publik di daerah mengantarkannya melahirkan konsep brilian "Visi Indonesia 2033" guna menjamin distribusi yang adil bagi pembangunan di seluruh daerah. Di samping mengajar di universitas dan mendirikan lembaga riset, Andrinof berhasil mengubah ide-ide abstrak menjadi langkah-langkah konkret sehingga menjadikannya sebagai tokoh refleksi dan aksi.

Pemilihan Andrinof sebagai Kepala Bappenas sejatinya tak bisa dilepaskan dari konsep revolusi mental Jokowi. Berbasiskan Jokowinomics yang menegaskan ekonomi prorakyat, posisi Andrinof menjadi sistem peringatan dini ala Jokowi bahwa Bappenas tak bisa lagi dilihat seperti ketika ia dipimpin oleh Boediono atau Sri Mulyani Indrawati yang mengutamakan kepentingan pasar. Ini kian kentara ketika Jokowi menarik Bappenas dari koordinasi Menko Perekonomian dengan menempatkannya langsung di bawah Presiden dalam posisi setara setneg guna mengawal Nawa Cita.

Pertaruhan sarkasme Jokowi dalam menetapkan para menterinya secara khusus akan terlihat pada posisi Menko Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan yang berjuang meningkatkan SDM-nya sendiri. Sebagai seorang menteri koordinator, Puan Maharani menjadi menko termuda yang minim pengalaman yang hanya lulusan S1 dengan kualifikasi nilai yang tidak luar biasa. Ia akan mengoordinatori empat menteri pemegang gelar PhD, dua di antaranya adalah mantan rektor di perguruan tinggi terkenal. Belum lagi empat orang politisi yang kaya raya dengan pengalaman dalam membangun jaringan dan organisasi.

Menjadi sentral dalam mengeksekusi revolusi mental dalam Kabinet Kerja Jokowi bukan saja kemampuan untuk menjadi pembelajar yang aktif. Untuk memimpin lembaga birokratik yang sudah teramat lama dengan budaya feodalisme yang mengandung jaringan kejahatan yang juga aktif, semisal mafia migas, maka yang jauh lebih dibutuhkan adalah keberanian dan kecepatan bertindak agar segenap pihak mau bergerak ke tujuan yang diinginkan. Karenanya, bila seorang menteri di kabinet Jokowi masih berkata kepada bawahannya bahwa ia harus banyak belajar tentang masalah di kementeriannya, tak tahu solusi tepat yang dihadirkan atau kelewat lama memutuskan, maka dikhawatirkan Kabinet Kerja Jokowi akan layu sebelum berkembang.

Sejumlah menteri di atas, tanpa mengabaikan figur menteri lainnya, relatif cukup tegas mewartakan kepada publik bahwa Presiden Jokowi sungguh-sungguh ingin menerapkan revolusi mental yang dimulai dengan memperbaiki cara kita melihat manusia dan menegaskan pandangan dunia. Utak-atik Jokowi terhadap kemapanan berpikir kita selama ini sesungguhnya mengandung selera humor yang mendalam bahwa bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mau dan mampu menertawakan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar