Senin, 10 November 2014

Agama, Negara, dan Perkawinan

Agama, Negara, dan Perkawinan

Franz Magnis-Suseno  ;  Cendekiawan
KORAN TEMPO, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Baik agama maupun negara amat berkepentingan dalam hal perkawinan. Perkawinan sekaligus merupakan bentuk luhur realisasi seksualitas, kekuatan pemberian Tuhan untuk menjamin keturunan yang, karena dahsyatnya naluri, juga secara potensial destruktif. Perkawinan juga merupakan ruang pemantapan sikap manusia paling luhur, cinta yang mesra dan mendalam.

Semua agama yakin bahwa kekuatan itu adalah anugerah Tuhan dan, karena itu, luhur. Dan karena itu pula, pengaturan seksualitas dan pemantapan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan termasuk hal yang suci, yang diterima dari tangan Tuhan, yang karena selalu terancam dinodai oleh manusia, dilindungi serta diinisiasi dengan upacara yang resmi. Gereja saya misalnya, Gereja Katolik, hanya mengakui sah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan apabila disahkan dalam upacara pernikahan sesuai dengan aturan Gereja. Semua agama berharap hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dilaksanakan dalam bentuk yang diridai Tuhan.

Negara pun amat berkepentingan. Dalam masyarakat pra-modern, negara dan agama belum terpisah tajam. Namun pada zaman sekarang, di mana dalam suatu negara, misalnya NKRI, hidup orang dengan keyakinan beragama yang berbeda, negara sudah lama menetapkan undang-undang tentang perkawinan yang diakui sah di negara itu. Karena negara merupakan penetap dan penjamin hukum, suatu perkawinan hanya sah apabila sah menurut hukum yang berlaku dalam suatu negara.

Perkawinan sah menjadi kepentingan negara karena dua alasan. Alasan pertama adalah jaminan keturunan. Karena keturunan hanya bisa dihasilkan dari hubungan laki-laki dengan perempuan, hubungan itu perlu dilindungi. Dan karena anak yang lahir hanya akan menjadi manusia utuh kalau dia selama kurang-lebih 20 tahun menjadi dewasa dalam lingkungan sosial yang stabil, dengan acuan pada ayah dan ibu, maka negara amat berkepentingan agar orang tua--yang akan mendapat anak lagi--membentuk persatuan yang stabil. Persatuan itu disebut keluarga. (Karena pertimbangan ini, menjadi jelas juga mengapa tuntutan agar hubungan sejenis diberi kedudukan sama dengan hubungan beda jenis tidaklah masuk akal. Tanpa perlu masuk ke wilayah moralitas pun, sudah jelas bahwa--berbeda dengan hubungan keluarga beda jenis--negara tidak berkepentingan atas hubungan sejenis. Negara melindungi keluarga karena berkepentingan melindungi keturunannya.)

Alasan kedua adalah eksplosivitas seksualitas manusia. Kalau dibiarkan dilaksanakan secara anarkistik, bisa terjadi segala macam konflik dan kekacauan. Karena itu, realisasi kekuatan dahsyat yang namanya seksualitas diatur oleh semua masyarakat di dunia, tanpa kecuali.

Undang-Undang Perkawinan RI menetapkan bahwa upacara perkawinan menurut agama otomatis diakui juga sebagai upacara negara. Artinya, orang yang kawin sah menurut agama sekaligus dicatat sudah kawin sah juga oleh negara, meskipun agama bukanlah negara. Ketetapan ini sangat tepat dalam negara Pancasila, yang melihat religiositas masyarakat sebagai nilai yang perlu dijunjung tinggi.

Sayang, UU Perkawinan itu sendiri sejak semula sudah mengotori niatnya sendiri dengan membatasi perkawinan pada lima (sekarang: enam) agama "yang diakui". Dengan demikian, selama 40 tahun undang-undang ini membuat sebagian masyarakat tidak dapat menikah secara sah. Apa itu penganut agama di luar yang lima itu, apakah itu--lebih memalukan lagi--agama-agama asli (seperti Marapu atau Kaharingan), mereka tidak dapat menikah secara sah karena pernikahan menurut agama/kepercayaan/adat mereka tidak diakui negara, dan anak-anak mereka secara hukum adalah anak tidak sah. Jelas, undang-undang ini cacat berat, memalukan, dan menggerogoti Pancasila karena menistakan sebagian warga bangsa berdasarkan keyakinan religius mereka.

Lagi pula, kalaupun agama-agama hanya mengakui suatu perkawinan sah di hadapan Tuhan apabila dilakukan sesuai dengan aturannya, tidak berarti bahwa negara boleh memaksa orang menikah menurut suatu agama. Urusan akhirat bukan urusan negara. Agama, misalnya agama saya, memang mendesak umatnya untuk tidak menikah beda agama. Betul juga bahwa perbedaan dalam keyakinan beragama bisa menambah risiko kegagalan suatu perkawinan. Tapi itu tidak berarti bahwa negara boleh memaksa orang Katolik kawin menurut agama Katolik. Paksaan dalam hal agama tanpa kecuali harus ditolak. Kalau orang memang mau kawin tidak menurut aturan agamanya, negara wajib memungkinkan perkawinan itu. Segenap warga berhak kawin, entah dari sudut agama yang bersangkutan dianggap sah atau tidak.
Karena itu, dapat diharapkan bahwa pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 UU Perkawinan 1974 ditanggapi oleh MK dengan penjelasan resmi bahwa ketetapan "perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan" tidak berarti bahwa "perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan", apalagi tidak "hanya menurut hukum enam agama yang diakui". Keagamaan sepasang orang boleh didukung, tapi tidak boleh dikontrol oleh negara. Tentu, orang harus dapat kawin juga di luar konteks agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar