Agama,
Negara, dan Perkawinan
Franz Magnis-Suseno ; Cendekiawan
|
KORAN
TEMPO, 10 November 2014
Baik agama maupun negara amat berkepentingan dalam hal
perkawinan. Perkawinan sekaligus merupakan bentuk luhur realisasi
seksualitas, kekuatan pemberian Tuhan untuk menjamin keturunan yang, karena
dahsyatnya naluri, juga secara potensial destruktif. Perkawinan juga
merupakan ruang pemantapan sikap manusia paling luhur, cinta yang mesra dan
mendalam.
Semua agama yakin bahwa kekuatan itu adalah anugerah Tuhan dan,
karena itu, luhur. Dan karena itu pula, pengaturan seksualitas dan pemantapan
hubungan laki-laki dengan perempuan dalam perkawinan termasuk hal yang suci,
yang diterima dari tangan Tuhan, yang karena selalu terancam dinodai oleh
manusia, dilindungi serta diinisiasi dengan upacara yang resmi. Gereja saya
misalnya, Gereja Katolik, hanya mengakui sah hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan apabila disahkan dalam upacara pernikahan sesuai
dengan aturan Gereja. Semua agama berharap hubungan seksual antara laki-laki
dan perempuan dilaksanakan dalam bentuk yang diridai Tuhan.
Negara pun amat berkepentingan. Dalam masyarakat pra-modern,
negara dan agama belum terpisah tajam. Namun pada zaman sekarang, di mana
dalam suatu negara, misalnya NKRI, hidup orang dengan keyakinan beragama yang
berbeda, negara sudah lama menetapkan undang-undang tentang perkawinan yang
diakui sah di negara itu. Karena negara merupakan penetap dan penjamin hukum,
suatu perkawinan hanya sah apabila sah menurut hukum yang berlaku dalam suatu
negara.
Perkawinan sah menjadi kepentingan negara karena dua alasan.
Alasan pertama adalah jaminan keturunan. Karena keturunan hanya bisa
dihasilkan dari hubungan laki-laki dengan perempuan, hubungan itu perlu
dilindungi. Dan karena anak yang lahir hanya akan menjadi manusia utuh kalau
dia selama kurang-lebih 20 tahun menjadi dewasa dalam lingkungan sosial yang
stabil, dengan acuan pada ayah dan ibu, maka negara amat berkepentingan agar
orang tua--yang akan mendapat anak lagi--membentuk persatuan yang stabil.
Persatuan itu disebut keluarga. (Karena
pertimbangan ini, menjadi jelas juga mengapa tuntutan agar hubungan sejenis
diberi kedudukan sama dengan hubungan beda jenis tidaklah masuk akal. Tanpa
perlu masuk ke wilayah moralitas pun, sudah jelas bahwa--berbeda dengan
hubungan keluarga beda jenis--negara tidak berkepentingan atas hubungan sejenis.
Negara melindungi keluarga karena berkepentingan melindungi keturunannya.)
Alasan kedua adalah eksplosivitas seksualitas manusia. Kalau
dibiarkan dilaksanakan secara anarkistik, bisa terjadi segala macam konflik
dan kekacauan. Karena itu, realisasi kekuatan dahsyat yang namanya
seksualitas diatur oleh semua masyarakat di dunia, tanpa kecuali.
Undang-Undang Perkawinan RI menetapkan bahwa upacara perkawinan
menurut agama otomatis diakui juga sebagai upacara negara. Artinya, orang
yang kawin sah menurut agama sekaligus dicatat sudah kawin sah juga oleh
negara, meskipun agama bukanlah negara. Ketetapan ini sangat tepat dalam
negara Pancasila, yang melihat religiositas masyarakat sebagai nilai yang
perlu dijunjung tinggi.
Sayang, UU Perkawinan itu sendiri
sejak semula sudah mengotori niatnya sendiri dengan membatasi perkawinan pada
lima (sekarang: enam) agama "yang diakui". Dengan demikian,
selama 40 tahun undang-undang ini membuat sebagian masyarakat tidak dapat
menikah secara sah. Apa itu penganut agama di luar yang lima itu, apakah
itu--lebih memalukan lagi--agama-agama asli (seperti Marapu atau Kaharingan),
mereka tidak dapat menikah secara sah karena pernikahan menurut
agama/kepercayaan/adat mereka tidak diakui negara, dan anak-anak mereka
secara hukum adalah anak tidak sah. Jelas,
undang-undang ini cacat berat, memalukan, dan menggerogoti Pancasila karena
menistakan sebagian warga bangsa berdasarkan keyakinan religius mereka.
Lagi pula, kalaupun agama-agama hanya mengakui suatu perkawinan
sah di hadapan Tuhan apabila dilakukan sesuai dengan aturannya, tidak berarti
bahwa negara boleh memaksa orang menikah menurut suatu agama. Urusan akhirat
bukan urusan negara. Agama, misalnya agama saya, memang mendesak umatnya
untuk tidak menikah beda agama. Betul juga bahwa perbedaan dalam keyakinan
beragama bisa menambah risiko kegagalan suatu perkawinan. Tapi itu tidak
berarti bahwa negara boleh memaksa orang Katolik kawin menurut agama Katolik.
Paksaan dalam hal agama tanpa kecuali harus ditolak. Kalau orang memang mau
kawin tidak menurut aturan agamanya, negara wajib memungkinkan perkawinan
itu. Segenap warga berhak kawin, entah dari sudut agama yang bersangkutan
dianggap sah atau tidak.
Karena itu, dapat diharapkan bahwa pengajuan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 UU Perkawinan 1974 ditanggapi oleh
MK dengan penjelasan resmi bahwa ketetapan "perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan" tidak berarti bahwa "perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan", apalagi tidak "hanya menurut hukum enam agama yang
diakui". Keagamaan sepasang orang boleh didukung, tapi tidak boleh
dikontrol oleh negara. Tentu, orang harus dapat kawin juga di luar konteks
agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar