Poster
Bung Tomo
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 10 November 2014
"Jamput! Ujok muruki aku. Ayo siap-siap nggepuk
Inggris!"
Hasanuddin, Komandan PTKR
Foto/poster Bung Tomo berambut gondrong yang berhadapan dengan
mikrofon dengan urat muka menegang dan jari telunjuk tangan kanan menusuk
langit adalah poster yang wajar.
Tapi di sinilah masalahnya. Foto yang oleh publik kadung
dianggap sebagai sesuatu yang wajar itu menyimpan narasi yang (di)gelap(kan).
Foto itu tak pernah ada saat lima babak pertempuran Surabaya digelar: insiden
bendera Hotel Yamato (19 September 1945), rapat raksasa Tambaksari (21
september 1945), pelucutan senjata tentara Jepang (29, 30 September, dan 1
Oktober 1945), pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu Inggris (28-30
Oktober 1945), dan pertempuran 10 November 1945.
Koran dwibahasa (Indonesia-Tiongkok) Nanyang Pos pada 1947
justru memberi kesaksian yang mengagetkan. Disitir dari Yudhi Soerjoatmodjo
(2000), koran itu memuat beberapa bingkai foto Bung Tomo, di mana mikrofon,
tenda bergaris-garis, dan seragam yang dipakai sama dengan properti yang ada
dalam poster "pertempuran Surabaya". Bunyi keterangan foto itu:
"Rapat oemoem di
Malang jang baroe ini, mengoempoelkan pakaian-pakaian boeat korban-korban
Soerabaja. Jang lagi berbitjara pemimpin pemberontak toean Soetomo".
Ada yang cacat dalam
kronik poster Bung Tomo itu. Peristiwa, gambar, dan peruntukannya tidak
linier. Betapa jauh waktu antara foto pidato di Malang itu (1947) dan
"Pertempuran Surabaya" (1945). Belum lagi rambut gondrong Bung Tomo
di poster mustahil ada pada 1945, yang memang diharamkan Jepang. Nah, cacat
kronika itu menjadikan poster Bung Tomo sebagai meme heroisme yang tragis.
Dalam historiografi Pertempuran Surabaya, Bung Tomo memang bukan
faktor utama. Ia memang tukang bicara di Radio Pemberontakan, yang bekerja
sama dengan RRI mengagitasi semangat warga di kampung-kampung untuk melawan.
Masih ada sederet pemimpin-pemimpin pemuda pejuang yang berhimpun di PTKR,
TKR, Hizbullah, dan PRI.
Dalam penilaian Wakil Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat
(PTKR) Soehario Padmowiryo, justru Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang
dipimpin Soemarsono-lah yang paling getol menghimpun kekuatan pemuda-pemuda
pejuang di kampung. Bung Tomo termasuk anggota PRI (bagian penerangan)
sebelum mendirikan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Usaha Bung Tomo memecah diri itu justru dinilai sebagai tindakan
pemecah persatuan pemuda pejuang kampung yang membuat si bung nyaris
dikeroyok.
Saya berkeyakinan,
nama Bung Tomo dikerek lewat narasi dan poster sebagai siasat dan mitos dalam
kepahlawanan untuk menggelapkan arus kiri dalam Pertempuran Surabaya. Nama
seperti Soemarsono dan laskar-laskar rakyat yang terlibat dalam layar besar
pertempuran dikrop setelah Peristiwa Madiun meletus tiga tahun setelah 10
November.
Dalam historiografi yang demikian itu, Pertempuran Surabaya
mesti disucikan dari keterlibatan orang-orang komunis dan kaum kiri
progresif. Terlalu suci jihad Surabaya itu untuk kehadiran dan keterlibatan
pentolan-pentolan komunis yang dituding bikin pengkhianatan di Madiun 1948
dan Jakarta 1965.
Jadi, sejak kapan poster heroik Bung Tomo berpidato itu beredar
di halaman buku sejarah dan alam pikiran manusia Indonesia? Sejak komunisme
dan Marxisme menjadi hantu blau
dalam historiografi Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar