Senin, 10 November 2014

Penjaga Fatwa Resolusi Jihad

Penjaga Fatwa Resolusi Jihad

Sumiati Anastasia  ;  Kolumnis dan Muslimah di Balikpapan
JAWA POS, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


JELANG Hari Pahlawan, tepatnya pada 7 November 2014, sebutan pahlawan tanpa gelar bagi KH Abdul Wahab Hasbullah resmi berakhir. Sebab, pada tanggal itu presiden baru Indonesia, Jokowi, memberikan gelar pahlawan nasional kepada beberapa nama, antara lain Kiai Wahab, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.

Kiai Wahab sangat layak mendapat gelar pahlawan nasional. Dia dilahirkan di Tambakberas, Jombang, 31 Maret 1888, dan wafat 29 Desember 1971. Sepanjang hayatnya, dia mendedikasikan diri sebagai ulama sekaligus aktivis dengan mendirikan berbagai organisasi untuk kebangkitan umat Islam, khususnya kaum nahdliyin,agar tidak makin terpuruk di tengah kondisi bangsa yang terjajah, mulai penjajahan oleh Belanda, Jepang, atau sesama bangsa sendiri.

Simak ketika kembali dari Makkah 1914, Kiai Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Dia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang terbelakang. Melihat kondisi itu, pada 1916 dia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathan (kebangkitan negeri) untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.

Untuk memperkuat gerakannya itu, pada 1918 bersama Kiai Hasyim Asy'ari, Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Jadi, berdagang atau entrepreneurship tidak dilarang dalam Islam karena Nabi Muhammad juga pernah berdagang.

Sadar akan kekuatan dahsyat media, Kiai Wahab juga merintis beberapa majalah dan surat kabar. Antara lain, Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, dan Duta Masyarakat.

Mencermati gerakan Islam yang intoleran pada 1919, Kiai Wahab juga memberikan respons tepat. Seperti diketahui, ketika itu terjadi ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah pada 1924 dan menaklukkan Madinah pada 1925. Gerakan tersebut hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan eksklusif. Sementara mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali yang hidup berdampingan di Tanah Suci itu tidak diperkenankan lagi. Lantas, Kiai Wahab bersama kiai lain mendirikan Komite Hijaz untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala.

Namun, karena Komite Hijaz dinilai kurang kuat, karena yang diperlukan organisasi yang kuat dan besar, bersama KH Hasyim Asy’ari, didirikan Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. Lalu, Kiai Wahab bersama Syekh Ghonaim Al Misri atas nama NU menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Hasil pertemuan itu membuat makam Nabi Muhammad dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta praktik mazhab yang beragam diizinkan di Arab Saudi, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.

Keberhasilan Kiai Wahab itu mencerminkan ajaran ahlussunnah wal jamaah yang sudah dirintis Wali Sanga. Dengan demikian, Islam sungguh menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin). Maka, di tengah kebangkitan radikalisme yang alergi terhadap perbedaan seperti sekarang, spirit dan cara-cara beragama Kiai Wahab yang moderat masih sangat relevan. Lagi pula, NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam terbesar yang moderat.

Dalam menghadapi berbagai kesulitan berhubungan dengan pemerintah kolonial, Kiai Wahab selalu mampu mengatasinya. Lewat kemampuan melempar humor sebagai alat diplomasi, sebagaimana Gus Dur, Kiai Wahab jago melobi sehingga NU mampu mengatasi setiap kendala komunikasi dengan penjajah.

Ketika penjajahan Jepang, Kiai Wahab menghadapi para kiai yang belum paham cara berpolitik dengan Jepang. Para kiai itu tidak bersedia menjadi anggota Jawa Hokokai, semacam perhimpunan rakyat Jawa untuk mendukung Jepang. ”Para kiai tidak susah-susah mencari dalil menjadi anggota Jawa Hokokai. Masuk saja dulu. Tenang saja, di dalam badan tersebut ada Bung Karno. Beliau tidak mungkin mencelakakan bangsa sendiri,” kata Kiai Wahab kepada para kiai.

Namun, Kiai Wahab bukanlah sosok yang lembek dan tunduk pada setiap kemauan penjajah. Dialah penjaga fatwa Resolusi Jihad di lapangan. Seperti diketahui, fatwa itu dikeluarkan Rais Akbar PB NU KH Hasyim Asy'ari dalam pertemuan ulama dan konsul-konsul NU se-Jawa serta Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, pada 22 Oktober 1945. Ketika itu Kiai Wahab menjadi khatib am PB NU yang bertugas mengawal implementasi dan pelaksanaan di lapangan. Fatwa itulah yang memotivasi arek-arek Suroboyo untuk bertempur habis-habisan pada 10 November guna mengusir Belanda yang membonceng NICA (sekutu). Saking heroiknya, 10 November lalu dinyatakan sebagai Hari Pahlawan.

Dengan dinyatakan sebagai pahlawan, Kiai Wahab menyusul KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) yang sudah dinyatakan sebagai pahlawan. Kita tinggal berharap KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009, tahun depan akan digelari pahlawan, menyusul tiga tokoh tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar