Perguruan
Tinggi Asing di Indonesia
Budiharjo ; Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Prof Dr Moestopo
(Beragama)
|
KORAN
SINDO, 08 Februari 2018
Perguruan tinggi (PT) asing
diperkenankan menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI. Hal itu
seperti termaktub dalam Pasal 90 Bab VI UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi.
Sesuai administratif perundang-undangan,
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara lain di Indonesia adalah
sah. Namun masalahnya, sejak UU Pendidikan Tinggi diketuk palu oleh DPR,
penolakan dari kalangan akademisi masih saja terjadi. Salah satu yang ditolak
adalah pasal yang membolehkan negara lain menyelenggarakan pendidikan tinggi
di wilayah NKRI. Terbukti, hingga kini beberapa akademisi terus menyuarakan
penolakan itu. Penulis menangkap beberapa persoalan seandainya PT asing
memang benar-benar membuka cabang di Tanah Air. Pertama, persoalan ideologi
pendidikan yang dikhawatirkan “membonceng” penyelenggaraan pendidikan tinggi
oleh negara lain di Indonesia.
Persoalan ideologi ini
bukan hal yang bisa dianggap remeh, apalagi di tengah politik dan sosial di
Indonesia yang kian menghangat belakangan ini. Dengan masih maraknya pertentangan
ideologi di tahun politik, tentunya kehadiran perguruan tinggi asing akan
semakin menambah sesak. Apalagi jika isu ini “digoreng” dan “dibumbui” dengan
berbagai tuduhan dan hoax , tentunya akan semakin memanaskan konstelasi
politik Tanah Air. Ditambah, dalam enam ayat Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi,
tidak disebutkan kewajiban PT asing tunduk pada ideologi Pancasila dan UUD
1945. Ini tentu menjadi problem dan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa
kalangan. Hanya disebutkan dalam ayat (5) “Perguruan Tinggi lembaga negara
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan
nasional.”
Klausul “kepentingan
nasional” tentu masih harus dipertegas. Kedua, penyelenggaraan pendidikan
tinggi di Tanah Air, baik negeri maupun swasta, belum memiliki kualitas
optimal. Data terbaru yang dirilis Quacquarreli Symonds (QS) World University
Ranking 2017/2018 terhadap lebih dari 959 PT di 84 negara di dunia,
menempatkan Universitas Indonesia (UI) di ranking 277 dunia. Padahal, kita
tahu UI adalah kampus paling bergengsi dan terhormat di negara ini. Ini tentu
masih dibutuhkan upaya lebih serius lagi untuk membawa kampus-kampus dalam
negeri di kancah internasional.
Ada kekhawatiran jika PT
asing beroperasi, maka itu menggerus PT dalam negeri, khususnya swasta.
Alasan tersebut masuk akal mengingat beberapa PT swasta harus menjalankan
roda pendidikan dengan kondisi keuangan yang tersengalsengal. Mereka tentu
tidak akan bisa bersaing dengan PT asing yang tentunya memiliki modal dan
jaringan kuat. Jika ini dibiarkan, maka itu sama saja “membunuh” perguruan
tinggi swasta. Ketiga , bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap P T swasta
seandainya PT asing benar-benar beroperasi di dalam negeri.
Kita tahu, akreditasi
adalah momok menakutkan bagi sebagian PT swasta karena persyaratan yang
demikian banyak, mulai dari badan penyelenggara yang nonprofit, dosen yang
memiliki NIDN, rasio dosen, luas lahan, dan syarat lain yang ketat. Tentunya,
hal yang sama juga harus diberlakukan kepada PT asing, bahkan harus lebih
ketat lagi. Tanpa keberpihakan pemerintah, maka lambat laun akan memusnahkan
PT swasta di banyak tempat, yang kita tahu napas mereka semakin
“Senin-Kamis”. Keempat , paradigma pendidikan asing yang belum tentu sama
dengan pendidikan nasional. Ini tentu harus melalui proses penyaringan yang
ketat dari Kemenristek-Dikti tentang rencana membuka PT asing di wilayah
Indonesia. Ibarat kata there’s no free lunch (tidak ada makan siang gratis).
Pemerintah harus menelisik
lebih dalam mengapa negara lain tertarik menginvestasikan uang mereka di
bidang perguruan tinggi di Indonesia. Pemerintah harus memastikan negara lain
memiliki cara pandang yang sama dengan konsep pendidikan nasional. Empat
persoalan di atas, menurut hemat penulis, harus diupayakan solusi yang tepat
dan menguntungkan semua pihak. Baik pemerintah dan kelompok yang menolak PT
asing, harus membuka diri dan menghargai argumentasi masing-masing. Jangan
dilupakan bagian ter-penting dalam tujuan utama pendidikan di tanah air,
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
Hal itu gamblang
dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan kewajiban konstitusional yang harus dijalankan oleh negara. Hal ini
merupakan perwujudan cita-cita Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Mengingat
pada zaman penjajahan, bangsa Indonesia berada dalam posisi tidak terdidik
dan pendidikan hanya diperoleh bagi kaum tertentu. Bahwa pendidikan kemudian
juga menjadi hak bagi setiap warga negara telah ditegaskan dalam Batang Tubuh
UUD 1945 pada Pasal 31 ayat (1).
Dalam norma hukum
internasional, hak warga negara memperoleh pendidikan juga termaktub dalam
Universal Declaration on Human Rights pasal 26 bahwa pendidikan yang
bertujuan untuk mengembangkan kemanusiaan, wajib diterapkan untuk dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, upaya menghadirkan
negara lain dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia harus
ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Jangan sampai kehadiran PT
asing hanya menambah kesenjangan antara kelompok terdidik dan tidak terdidik.
Hal yang harus dihindari adalah PT asing tidak boleh menjadikan Indonesia
sebagai tempat ekspansi bisnis semata yang tidak menghiraukan nilai-nilai
luhur tridarma perguruan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar